Dia, adalah orang yang paling aku
sayangi. Dulu, rasa ini hanya sekedar kagum. Kagum akan kepintarannya, kagum
akan kepolosannya, kagum akan sosoknya yang tenang dan penyayang. Tapi, itu
dulu waktu aku masih mengenakan pakaian putih merah. Saat aku belum mengerti
akan apa itu cinta. Saat aku belum merasakan sakit saat kehilangan. Saat aku,
dia masih polos dan lugu. Saat aku, dia dan teman-teman masih suka main
kejar-kejaran. Semua kepolosan waktu kecil masih terasa hangat dipikiranku saat
aku menulis cerita ini. Dia, bintang kecilku. Mantan terindahku.
Setelah lulus SD aku sama dia berpisah.
Terpisahkan jarak, waktu dan tempat. Semenjak itu, aku dan dia jarang bertemu.
Saat sesekali aku pulang berlibur, aku sempat bertemu dia. Namun, dia sudah
berubah. Dia yang ku kenal dulu tidak seperti yang aku kenal saat itu. Dia
tampak dingin dan tak lagi memberikan sedikit senyum saat berpapasan denganku. Apakah
waktu telah menghapus aku dari ingatannya hingga aku seperti orang asing
baginya? Sungguh hatiku saat itu teriris-iris. Rasanya sakit banget dicuekin
seperti itu. Namun, aku sadar kalau aku ini hanya temannya dulu. Dulu banget,
saat rasa itu belum menghampiriku. Mungkin hanya aku yang merasakan getaran
ini, rasa kagumku dulu kini berubah menjadi cinta. Jujur, aku jatuh cinta padanya,
aku jatuh cinta sama bintang kecilku. Semenjak perpisahan itu, semenjak aku
mengenakan seragam putih biru hingga mengganti dengan pakaian putih abu-abu aku
menunggunya, terus menunggunya, tanpa lelah dan putus asa. Mungkin baginya aku
sudah mati, namun bagiku, dia masih hidup dan selalu bersinar di hati ini. Aku
tidak pernah pacaran, karena aku hanya menginginkan dia. Setiap hari hanya dia
yang berhasil memenuhi pikiranku. Semua teman-teman cowok yang mendekatiku
datang dan berlalu tanpa sedikitpun aku pedulikan. Karena hanya dia yang aku
inginkan. Walaupun setiap pulang libur harus mendapat kesan asing darinya, aku
tetap menyayanginya. Kuakui bahwa cinta buta telah merasukiku.
Hari-hari berjalan cepat sekali, hingga
aku menyelesaikan masa studi ku di SMA. Aku akan melanjutkan kuliah di tempat
yang belum pernah aku pijaki, yang hanya dapat kukenal lewat televisi. Kota
Yogyakarta. Aku hanya berharap kota ini mau bersahabat denganku nantinya.
Kesan pertama aku di Yogyakarta ternyata
kota ini lebih indah dari yang aku lihat di televisi. Aku tidak menyesal telah
memilih kota ini untuk melanjutkan studiku. Setelah beberapa bulan di
Yogyakarta, tidak sengaja aku bertemu dia lagi. Tenyata di juga kuliah di
tempat yang sama. Walaupun kami beda kampus, namun aku senang banget ketika
tahu bahwa aku dan dia sekarang ada di tempat yang sama, ternyata dunia memang
sempit ya. Bertahun-tahun kami berpisah, akhirnya ketemu juga di kota gudeg
ini. Dia sangat beda sama dia yang dulu. Badannya tinggi, tatapannya penuh
angkuh dan terkesan dingin. Ketika aku mencoba ngobrol sama dia, kata-katanya
datar, seakan tak bersahabat banget. Namun, aku sadar akan perlakuannya seperti
itu karena kami sudah lama tidak bertemu. Mungkin baginya, aku sekarang orang
asing. Aku tak peduli dengan semua perlakuan dinginnya terhadapku, keinginanku
untuk mendekatinya semakin besar. Aku makin penasaran tentang dia yang
sekarang, yang tak lagi lugu seperti dulu. Dalam hati aku berharap semoga pertemuan
ini tidak berhenti sampai di sini. Aku yakin ada maksud dibalik pertemuan ini.
Tidak kebetulan aku bertemu dia lagi di sini semenjak 6 tahun kami berpisah.
Perasaanku semenjak memakai putih merah hingga melepas dan meraih gelar sarjana
masih sama. Aku masih mencintai dia. Aku masih menunggu dia.
Semakin-hari aku semakin dekat dengan dia.
Butuh waktu yang lama untuk mendapatkan hatinya walau hanya sebagai teman. Dan
ternyata usahaku tidak sia-sia, karena akhirnya kami bersahabat. Dia sangat
mempercayaiku, dia cerita banyak hal tentang dirinya, teman-teman masa SMA-nya,
bahkan kami sempat membicarakan teman-teman SD kami dulu. Dia juga ternyata pencinta
bola, dia sering ngomongin club sepak
bola yang sangat disukainya, dan ternyata kami punya club jagoan yang sama. Kami sama-sama menjagokan Barcelona.
Kebetulan aku juga suka bola, jadi obrolan kami setiap kali smsan atau telponan
seputar bola. Aku sangat senang mendengar setiap ceritanya. Dibalik sikap
dinginnya yang lebih kelihatan angkuh, ternyata dia orangnya baik dan asyik,
sikap penyayang dan kepolosannya dari SD masih kadang terlihat. Semua topik
yang dia ceritakan, aku selalu semangat menanggapinya. Namun, ada satu obrolan
yang paling menyebalkan kalau dia sudah mulai menceritakan. Apa lagi kalau
bukan tentang seorang cewek yang dicintainya. Sakit banget setiap kali
mendengar dia menceritakan cewek yang ditaksirnya itu. Aku pura-pura memberi
semangat bahkan menyuruh dia untuk mengutarakan perasaannya pada cewek itu.
Berat! Tapi tak ada jalan lain. Dia hanya menganggap aku sahabat, dan sebagai
sahabat yang baik, aku pantas melakukan apapun yang terbaik untuknya. Yang
penting dia bahagia. Kebahagiaanyalah yang terpenting bagiku.
Dulu dia sempat cuekin aku, namun
sekarang dia sangat perhatian terhadap aku. Tentu perhatian layaknya seorang
sahabat. Dia tak pernah menganggap aku special, seperti aku menganggap dirinya.
Namun, sekali lagi cinta membuat aku tetap menyayanginya dalam kondisi apapun.
Aku jatuh cinta sama dia. Tapi aku tidak
pernah menunjukkan perasaanku padanya. Aku berusaha menahan perasaanku setiap
kali bertemu dia, setiap kali mendengar ceritanya, aku berusaha bersikap
layaknya seorang sahabat, karena aku tahu dia mencintai orang lain, sebut saja
namanya Dinda. Setiap hari dia curhat sama aku tentang cewek yang dia sukainya yaitu
Dinda. Awalnya aku selalu memberi dukungan buat dia untuk memperjuangkan Dinda,
tapi lama kelamaan aku jadi sakit, aku kesal karena dia makin hari makin dekat
sama cewek itu. Dia tampak semangat ketika cewek itu mau diajak jalan sama dia.
Kenapa bukan aku, kenapa harus cewek itu. Seabstrak apakah aku hingga tak bisa
terlihat olehnya? Apakah perhatian dan perlakuanku selama ini belum cukup
menunjukkan rasa sayangku padanya? Hanya sahabatkah yang pantas didapatkan oleh
seseorang yang mencintainya dengan tulus, yang rela menantinya bertahun-tahun? Namun,
aku hanya bertanya dan terus bertanya tanpa ada yang sudi menjawabnya. Aku
lelah dan kesal. Aku hanya takut kalau dia jadian sama cewek itu aku jadi
terasing lagi. Aku takut kehilangan dia, takut banget.
Hari-hari terus berlalu sampai suatu
hari dia bilang ke aku kalau dia sudah jadian sama Dinda. doorr!!! kata-katanya
seperti bom yang meledak mengenai kepalaku. Sesuatu yang aku takutkan selama
ini terjadi juga. Dia sudah jadian sama cewek yang ditaksirnya, maka sebentar
lagi aku akan kembali menjadi orang yang tak dianggapnya. Aku akan kembali
asing. Dia tak akan membutuhkan aku lagi. Sudah ada cewek itu yang dengan setia
mendengar setiap ceritanya, dan aku akan kembali menjadi manusia yang tak
dikenalnya. Disaat seperti ini, aku jadi bingung harus bilang apa. Ingin
rasanya untuk menahannya untuk tidak meninggalkan aku. Namun, apa hakku? Aku
hanya seorang sahabat, yang hanya dicari saat dibutuhkan. Aku tak berhak
melarang dia untuk pacaran sama siapapun, itu haknya. Itu perasaannya. Aku tak
mau memaksakan perasaannya. Aku harus terima dan bersiap untuk pergi. Sudah
saatnya untuk mencari hati lain, namun terasa sulit untuk melupakan dia. Sungguh
sulit! Dengan berat hati aku memberi selamat sama dia. Semenjak dia jadian sama
Dinda aku mulai menghindar dan dia pun sepertinya sudah tidak pernah mencari
aku lagi.
Tiga hari kemudian dia menelpon aku
kalau dia sudah putus sama Dinda. Spontan aku kaget banget, padahal baru tiga
hari mereka jadian. Jujur aku senang banget saat itu, tapi mendadak sedih
karena dia bilang dia sakit hati. Dinda ternyata punya pacar lain selain
dirinya. Yang lebih menyakitkan lagi ternyata dirinya hanyalah pelampiasannya
saja karena waktu itu Dinda lagi berantem sama cowoknya. Aku yang mendengar itu
ikutan sedih dan kesal. Aku kesal karena orang yang aku sayangi dengan gampang
disakitin sama cewek lain.
Semenjak putus sama Dinda, dia terlihat
sedikit pendiam dari biasanya. Berbagai cara aku lakukan supaya dia tidak sedih
lagi. Jujur, walaupun aku senang dia akhirnya jomblo lagi, tapi melihat
kondisinya yang galau stadium akhir karena patah hati, aku tak tega juga. Dan
ternyata semua usahaku tidak sia-sia. Sekitar seminggu lebih dia sudah tampak
ceria dan seperti biasa lagi. Kini bahkan dia kembali heboh, nyebelin dan usil
lagi seperti dulu. Bahkan dia nyuru aku buat panggil dia “Pangeran”. Perasaanku
waktu itu bahagia banget, serasa dia memang pangeran buat aku. Dan dia sendiri manggil
aku dengan sebutan “Cony”, yang sampai sekarang aku sendiri tidak tahu arti dan
maksud dari kata Cony. Tapi nama apapun yang dia berikan buat aku selalu indah
setiap kali terucap dibibirnya. Dan mulai saat itu kami menjadi “pangeran” dan
“cony” yang semakin hari semakin dekat.
Singkat cerita, kami pun jadian. Sahabat
kini jadi kekasihku. Namun ada satu masalah yang masih mengganjal di hatiku
yang buat aku tidak nyaman menjalani hubungan sama dia. Akhir-akhir ini
hubungan abangku dengan dia yang tidak begitu baik mempengaruhi aku juga, dan
aku mengambil kesimpulan bahwa abang pasti marah kalau tahu aku pacaran sama dia.
Awal sebelum jadian, kami sudah sepakat bahwa kalau sampai abangku tahu kami
pacaran, maka kami harus akhiri hubungan ini.
Belum lama kami pacaran, aku meminta
untuk mengakhiri hubungan kami, karena aku takut abang tidak merestui hunbungan
kami ini. Dan akhirnya kamipun putus, aku sedih banget saat mengambil kesimpulan
yang bodoh itu. Aku tahu, itu sangat bodoh. Bertahun-tahun aku menunggu,
mengharapkan dia untuk memiliki hatiku. Namun, saat dia sudah berhasil mendiami
hatiku dengan bodoh aku melepaskannya. Aku sudah tak punya cara lain. Dia marah
dengan keputusanku yang menurut dia tidak masuk akal itu. Namun, aku bersikeras
untuk mengakhirinya. Entah setan apa yang sudah merasuki hatiku, aku tak tahu.
Yang jelas, aku sangat menyesal telah mengambil keputusan bodoh itu.
Semenjak putus, dia sudah tidak pernah
menghubungi aku lagi. Aku tahu dia kecewa sama aku. Seminggu setelah aku putus
sama dia tiba-tiba abang menanyakan hubungan aku sama dia, entah abang tahu
darimana aku pacaran sama dia aku tidak tahu. Aku kaget, dan dalam
kepura-puraanku aku jawab dengan nyantai kalau kami baik-baik saja. Satu
kalimat yang sepertinya menyayat hatiku, “abang senang kamu pacaran sama dia”.
Karena menurut abang, dia adalah orang yang tepat buat aku, walaupun mereka
sering beda pendapat tapi kata abangku dia orang yang baik dan sangat pantas
untuk jadi pacarku. Doorrr!!! Satu peluru lagi menancap dalam dadaku hingga
terasa sesak. Aku tidak pernah menyangka kalau abang akan berbicara seperti
ini, yang aku bayangkan selama ini, abang bakal marah besar kalau tahu aku
pacaran sama dia. Dengan nada penuh penyesalan aku jelaskan sama abang kalau
aku sudah putus sama dia. Aku jelaskan semuanya sama. Bodoh! Hanya kata itu
yang keluar dari mulut abang.
Mungkin aku adalah manusia yang paling
menyesal saat ini.
Buat kamu bintang kecilku, kalau kamu baca
ceritaku ini, aku mau minta maaf, aku sadar kalau aku yang bodoh. Akupun sangat
menyesal sudah berbuat itu kepadamu. Jujur sampai saat ini perasaanku tidak
berubah. Aku masih mencintai kamu.