Selasa, 02 Juni 2015

A Day To Remember



“Apa kau bahagia?” akhirnya dia memecah kesunyian yang sudah merambati kami selama lima belas menit.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengatur detak jantung yang sedang berlomba sedari tadi.

“Apa kabarmu?” malah pertanyaan itu yang berhasil keluar dari mulutku.
“Haha, sejak kapan kau membalas pertanyaan dengan pertanyaan?”
Dan dengar saja, dia tertawa. Apa yang membuatnya lucu?

Aku meraih secangkir Mocchalacino, minuman favoritku setiap kali ke caffe ini, yang selalu bertengger indah dalam piring kecil berwarna putih dengan sebuah oreo di sampingnya, berdiri dengan kokoh di atas meja cokelat tanpa hiasan. Aku meneguk sedikit sembari memberi ruang untuk hatiku yang sedang sekarat dilanda rindu.

“Bahkan aku masih bisa merasakan rindu yang tak tersampaikan dibalik diammu itu”

“Omong kosong apa lagi yang ingin kau katakan?”

“Berhentilah berpura-pura, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri,” dia menatapku sangat dalam seperti sedang mencari pembenaran.

Tatapannya. Ah, aku terhempas lagi dalam perasaan ini. seperti helaan napasku sebelum-sebelumnya. Seperti merona merah wajahku sebelum-sebelumnya. Kata-kata indah itu membuatku tak bisa mengendalikan diri. Aku terlalu mudah ditebak olehnya. Gampang terbaca olehnya yang begitu sempurna di mataku.

“Apa pedulimu padaku? Kau menghilang dua tahun, dan sekarang tiba-tiba kau mengajakku ke sini. Permainan apalagi yang sedang kau tunjukkan padaku?”

“Aku sangat peduli padamu, Kettie. Dua tahun berlalu tanpamu rasanya setengah hidupku sudah mati.”

“Dua tahun kau menghilang dan sekarang kau  datang dengan bualan- bualan konyolmu itu? Apa kau pikir aku akan percaya begitu saja?”

“Aku paham kalau kau menganggapku sedang membual” jawabnya tajam.

Hatiku panas. Mungkin api yang membara sedari tadi sudah meledak, menggerogoti seluruh ruang di hatiku. Pikiranku melayang kembali pada dua tahun silam. Hari disaat dia memintaku untuk memutuskan hubungan ini. 

Dia datang malam itu, menembus hujan yang sangat deras. Memintaku untuk tidak lagi menemuinya. Memintaku untuk melupakannya. Dengan satu alasan yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. “aku tidak mencintaimu lagi” alasan itu yang membuatku membencinya, membuatku mengutuki hari di mana dia menyatakan cintanya padaku. Membuatku muak dan bosan dengan hidupku.

Dua tahun berlalu, rasa benciku berkurang dan akal sehatku mulai berjalan. Rasa rindu dan sayang yang besar juga mengalahkan kebencian itu. Aku sangat mengenal dia, akupun yakin dia benar-benar mencintaiku, tidak segampang itu dia datang dan menyatakan bahwa dia tidak mencintaiku lagi. Mungkin ada yang salah. Aku ingin mengetahui alasan yang sebenarnya.

Aku menunggu, terus menunggu hingga semalam dia tiba-tiba menghubungiku dan mengajakku bertemu di caffe ini. Caffe favorit kami berdua. Kenangan itu mengalir begitu saja tanpa bisa aku hentikan. Dia yang begitu menyukai hujan dan sangat membenci matahari. Dia yang selalu mengeluarkan candaan-candaan konyol dan garing. Dia yang begitu mencintai musik. MP3nya hanya dipenuhi lagu The Passenger dan Sheila On 7.

Dia membenci sesuatu yang berkaitan dengan warna kuning. Tapi dia suka langit. Katanya, langit lebih terlihat indah jika bersanding dengan hujan. Dia pernah mengarang cerita tentang langit dan hujan. Katanya, sebenarnya langit dan hujan itu saling suka, namun mereka gengsi untuk mengakui perasaan mereka masing-masing. Untung ada si awan yang bersedia comblangin dan menjadi jembatan mereka berdua untuk saling bertemu jika merindukan satu sama lain. Layaknya manusia, kisah cinta mereka juga tidak berjalan mulus. Si petir ternyata diam-diam juga menaru hati pada langit. Makanya, dia selalu muncul saat langit dan hujan sedang berkencan, kadang ia menjadi sangat ganas kalau terbakar cemburu melihat langit dan hujan sedang memadu kasih.

Aku terlalu terbuai hingga tidak menyadari titik-titik kecil dari kelopak mata menetes mengenai pipi. Entah ini perasaan kesal, kecewa, marah, sedih, senang, aku tak bisa lagi merasakan. Seperti mati rasa.

“Gomennasai...” ucapnya lirih.

“Aku paham bahwa perasaan memang tidak bisa dipaksakan, William. Tapi alasanmu meninggalkanku membuatku tak puas. Aku merasa tidak melakukan kesalahan. Sehari sebelum kau memutuskan hubungan ini kita masih baik-baik saja. Lalu setan apa yang membuatmu tiba-tiba berubah? Apakah hujan memberi pandangan baru tentang cinta kepadamu? Apakah tetesan-tetesan hujan telah merasuki otakmu sehingga kau meninggalkanku dengan alasan yang begitu menyakitkan itu?”

"Kettie..” dia berusaha menghentikanku yang seperti terserang aliran listrik. 

Seperti mendapat kekuatan yang membara. Seperti ingin menumpahkan semua kekesalan dan amarah yang kusimpan selama ini.

Bulshit! Kau bilang bahwa aku satu-satunya wanita yang kau cintai. Kau manja aku dengan semua perlakuan sayangmu, kau beriku rasa nyaman. Kau membuatku tergila-gila dengan cinta sederhana yang kau berikan. Kalau kau ingin meninggalkanku, kenapa kau datang dengan ketulusan? Dan ketika aku sudah jatuh dan terbuai dalam indah cinta yang kau tawarkan itu, kau malah mencampakkanku. Apakah aku serendah itu di matamu?”

Aku rasakan tangannya menyentuh ujung jariku. Sekarang dia menggenggam jariku. Kurasakan tangannya gemetar.


“Cukup, please. Jangan bicara lagi. Jangan bunuh aku lagi dengan kata-katamu. Aku sudah cukup sekarat saat ini.” ucapnya lirih.

Aku terkejut melihat perubahan yang terjadi padanya. Tatapannya berubah nanar, bibirnya pucat. Aku tidak pernah melihat dia yang seperti ini sebelumnya.

“Kettie, ma.. maaf aku tak bisa mengantar ka.. kamu pulang. Be.. besok tolong temui aku di.. di rumah. Ak... aku tunggu.” Katanya dengan terbata-bata. Kemudian beranjak mendekatiku dan membungkuk membisik, “ma.. maaf sudah menyakitimu."

Aku diam mematung. Seluruh tubuhku membeku. Bibirku tak mampu kugerakkan. Detak jantungku memburu tak karuan. Mata lurus ke depan memandangi sosok yang sepertinya sangat kukenal tapi begitu asing dalam beberapa detik. Apakah dia benar-benar Williamku? William yang sudah mencampakkanku dan masih sangat ku sayangi? Begitu banyak pertanyaan hingga aku tak punya kuasa untuk mengejarnya atau setidaknya membantunya berjalan karena entah mengapa aku melihat dia kesusahan berjalan, seperti lagi menjunjung beban seberat 10 ton.

*****

Aku pernah sangat menyayangi namun akhirnya dicampakkan. Aku pernah berusaha memperbaiki hubungan yang tiba-tiba terputus tanpa alasan yang jelas namun akhirnya aku diacuhkan. Aku pernah berusaha mencari jawaban dari semua ketidakjelasan cinta, mencari pembenaran arti hadirnya cinta sejati, namun akhirnya aku malah mendapat pertanyaan lain yang membuatku melupakan semua kejadian dua tahun lalu yang membuatku setengah gila. Apakah dia benar-benar Williamku yang dulu?

Pukul 01:30. Aku belum bisa tidur. William, dia masih berkeliaran dalam pikiranku. Dia berubah, itu kesan pertama diakhir pertemuanku di Caffe semalam. Dari cara dia berbicara yang tersendat-sendat, raut wajah kecewa dan gelisah juga terbesit penyesalan, mata yang berkaca-kaca, tangan yang gemetar. Seperti sedang berusaha melawan sesuatu yang tak sepantasnya dia lawan. Dari sudut pandangku, dia terlihat seperti seseorang yang bersedih. Apa yang terjadi padanya?

Aku berusaha tidur, memeluk boneka Teddy Bear biru hadiah ulang tahun terakhir darinya sebelum dia datang dan memutuskan hubungan kami. Pikiranku masih melayang, dan semakin banyak pertanyaan dibenakku. Namun lepas dari semua itu, satu yang aku tahu pasti, aku masih sangat merindukan William. Haruskah aku menemuinya besok?

*****

Ketika kau sudah dicampakkan, apakah kau masih mengharapkan sebuah kesempatan dari orang yang sudah mencampakkanmu? Apakah kau masih bermimpi bahwa suatu saat kau dan dia akan bersama lagi, sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai? Apakah orang yang sudah mencampakkanmu masih kau percaya untuk memiliki hatimu? Apakah aku salah jika meneteskan air mata untuk orang yang sudah mencampakkanku? Jika kau jadi aku, apakah kau hanya akan berdiam diri di sini dan terus bertanya apakah? Apakah? Dan apakah?

“janganlah menangis wahai hatiku...” aku baca sebuah note kecil yang pernah dia tulis dan selipkan di dompetku. Ketika aku bertanya alasan dia menuliskan kalimat itu, dia jawab “kau akan mengerti suatu saat nanti.” Apakah ini maksudnya? Apakah dia sudah berniat menyakitiku? Ah, bahkan dia sudah merencanakan ini semua, bagaimana mungkin dia masih berani mengatakan ‘jangan menangis’ kepadaku? Lalu apa yang harus aku lakukan? ‘jangan menangis’ tapi ‘bunuh diri’ saja? Sial, dia sudah terlanjur tahu bahwa aku wanita lemah yang air matanya gampang sekali menetes.
*****
“Aku sekarat ketika kau mencintai hujan dan membenci diriku. Bukankah aku dan hujan itu sepaket? Mengapa kau begitu tidak adil?” dia menyambutku dengan pertanyaan itu.

Aku tak mengenal sosok di depanku saat ini. Mereka menyebutnya William, dan seharusnya aku sadari bahwa dia memang William. Aku terlalu terkejut untuk percaya. Wajar saja kalau sampai saat ini aku masih terpaku, mungkin seperti patung hidup yang berdiri tak jauh dari seseorang yang seperti mayat hidup.


“Kettie, bisahkan kau berhenti membenciku? Karena itu semakin membuatku sekarat,”

Ah ini hanya mimpi, pikirku. Aku terlalu merindukannya, wajar kalau aku bermimpi seperti ini. aku terus mendekat ke orang itu, aku pasti bisa melewatinya. Inikan hanya mimpi. Aku terus melangkah, namun tertahan oleh sebuah ranjang. Aku memaksakan diri menembus ranjang itu. Ini hanya mimpi, sebentar lagi aku akan bangun. Ranjang dan orang yang berbaring di atasnya akan menghilang dari hadapanku. Namun, semakin aku berusaha melewati ranjang itu, semakin jelas aku melihat sosok lemah yang berbaring di situ. Sangat jelas, sehingga untuk pura-pura tak mengenalnya pun membuatku sakit. Aku menempuk pipi kiri dan kanan, mencubit kulit lengan. Mengapa aku tak bangun-bangun?


“Aku takut, Kettie. Aku takut kamu terluka jika mengetahui sakitku ini makanya aku berusaha menyembunyikan darimu. Aku bermaksud membahagiakanmu. Tapi, seorang penderita gagal hati stadium akhir tidak punya harapan untuk membahagiakan orang yang disayanginya. Aku tidak bisa menjanjikan masa depan untukmu. Aku takut meninggalkanmu, meninggalkan orang-orang yang aku sayangi. Aku takut mati, Kettie.”

Suaranya bergetar, entah oleh amarah, kesedihan atau rasa takut itu sendiri.

“Aku minta maaf telah membuatmu terluka. Gomennasai, Kettie...”

Aku langsung berbaur memeluknya. Diapun memelukku, membiarkanku menumpahkan semua kekesalan dan kerinduanku. Dan kurasakan satu tetes air matanya mengenaiku. Setelah itu, dia memegang kedua lenganku dan menatapku dengan tenang, “aku mencintaimu, Kettie!”

“Kenapa kau lakukan ini?” aku balas menatapnya dengan mata masih berkaca-kaca.

Dia membelai wajahku, dan berucap lirih “ketika aku berjalan dan menemukan sebuah lubang, aku akan berhenti dan menutup lubang itu sehingga orang-orang yang aku tinggalkan di belakangku tidak terjatuh ke dalam lubang itu,”

“Perumpamaan macam apa itu? Tidakkah kau berpikir bahwa seseorang sudah berjalan mendahuluimu dan sudah terjatuh dalam lubang itu?”

“Itu tidak akan terjadi, karena aku tidak akan membiarkan seseorang itu mendahuluiku, dia harus tetap di belakangku,”

“Egois!!”

“Aku tahu, supaya tidak melukaimu aku harus egois”

“Tidak melukaiku? Kau bilang tidak melukaiku?” aku menatapnya tajam kali ini.

“Woo.. woo, dua tahun tanpaku membuat kau benar-benar berubah seperti macan, haha” tangannya mengacak-ngacak pelan kepalaku sambil tertawa kecil.

“Aku membencimu...” jawabku sambil melototinya

“Haha aku tahu, itulah sebabnya aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu karena kau membenciku.” Ia menjawab dengan tertawa kecil lagi, menatapku dengan tatapan seakan dia tidak takut aku melototinya.

“Kau sekarat, tapi masih bisa tertawa dan mengejekku?”

“Kau di sini, apa lagi yang membuatku sedih? Jangan menangis lagi, simpan air matamu itu. Belum saatnya kau menangisiku.”

“Berhentilah mengucapkan kalimat-kalimat bodoh itu. Berharaplah untuk sembuh.”

“Dua tahun sudah kulewati dengan harapan akan sembuh, tapi kenyataannya aku tetap harus pergi. Lagian aku juga sudah lelah menanggung sakit ini.”

“Apakah aku tak bisa menolongmu?”

“Kau ingin menolongku?”

“Ia, aku ingin sekali menolongmu”


“Jangan membenci hujan karena disetiap tetesannya ada rindu yang kusisipkan untukmu. Jika kau tak keberatan, biarkan tetesan itu jatuh di telapak tanganmu, mengenai wajah manismu dan membasuh tubuh indahmu. Akulah hujan, biarkan aku membelaimu lewat tetesan-tetesan itu.”

Aku tertunduk, air mata ini mengalir lagi. Dia bicara begitu tenang. Dia benar-benar sudah siap untuk pergi.

“Jangan menangis wahai hatiku...” jemarinya mendarat diwajahku. Telunjuknya kembali menari dipipiku, menghapus genangan kecil yang membasahi pipiku.

“Kau benar-benar kuat, William. Kau terlihat begitu tenang,”

“Itu karena ada kau di sampingku. Tetaplah di sampingku, tunggu sampai aku benar-benar pergi,”

“Bagaimana rasanya menanggung ini sendiri, William?”

“Rasanya seperti kau ingin melamar seekor macan,”

“William, aku tak bercanda,”


“Dengarkan ini,” dia menyalahkan MP3nya, mengambil headset, kemudian menyerahkan bagian yang satu kepadaku da bagian yang lain di telinganya,

My love, there's only you in my life
The only thing that's bright
My first love, you're every breath that I take
You're every step I make

And I, I want to share
All my love with you
No one else will do 


“Sejak kapan MP3mu punya lagu Diana Ross?”

“Sejak aku kehilanganmu, dua tahun lalu. Simpan MP3 ini dan dengarlah ketika kau merindukanku,”

Aku hanya mengangguk pelan.

And your eyes, your eyes, your eyes
They tell me how much you care
Oh yeah, you will always be
My endless love  


“Kettie, apa yang dilakukan Kaito saat Hatsune Miku meninggal?”

Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Aku menatapnya miris, namun dia membalas dengan senyum, tenang.

“Apa yang dilakukan Kaito saat Hatsune Miku meninggal?” tanya dia sekali lagi, kali ini sambil menatapku.

“Ia terjun dari atas gedung,” jawabku pelan. 

“Haha, konyol sekali. Kau tahu, itu bukan cinta, Kettie. Itu sebuah kebodohan.”

“Tapi akhirnya mereka bertemu, William. Mereka berpelukan. Mereka berdua hidup bersama di dunia lain, dunia mereka yang baru.”

“Apa kau berniat melakukan itu?”

Lihat saja, dia menantangku dengan pertanyaan yang seperti itu. Bagaimana aku harus menjawabnya? Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? Dia seperti sedang berusaha menyampaikan sesuatu.

“Kau seharusnya istrahat, William. Aku tak seharusnya mengganggumu,”
“Sebentar lagi aku akan istrahat, Kettie. Istrahat yang banyak. Jadi, kau tak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah mempersiapkan diri.”

“Tapi bagaimana caranya mempersiapkan diri untuk kehilangan orang yang paling kita sayangi? Tidak akan pernah ada momen saat kita siap untuk hal semacam itu, William! Bagaimana cara caranya untuk kembali tersenyum, saat air mata mendesak ingin keluar? Bagaimana caranya berharap, ketika kegelapan itu sebentar lagi menghampiri kita? Aku capek pura-pura, William. Jujur aku takut kehilanganmu, melihatmu yang tenang membuatku semakin sedih. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa menghadapimu, aku seperti tak mengenal diriku sendiri saat ini.”

“Saat kau melihat matahari terbit, rasakan seperti mendapat harapan baru, bahwa kemarin telah berlalu dan hari yang baru akan di mulai. Pahami itu, percayalah semuanya akan terasa indah, kau hanya perlu sedikit bersantai,”


“Bolehkah aku melihat senyum indahmu itu? Sudah dua tahun aku tak melihatnya.

Aku memandanginya sambil tersenyum.

“Sampai sekarangpun aku masih bisa menebakmu. Berhenti memberikan senyum palsumu itu, hanya membuatku sakit hati saja”

“William, maafkan sikapku. Aku hanya belum siap kehilanganmu” aku memeluknya, membiarkan kepalaku bersandar di dadanya, hingga aku mendengar jantungnya yang sudah tak sekencang dulu.

“Semuanya akan baik-baik saja, sayang...” bisiknya pelan sambil membelai rambutku.

“William, saat kau pergi nanti. Aku akan selalu menantikan hujan. Aku akan menari ditengah hujan dan aku yakin kau disitu memelukku. Karena aku percaya, kaulah hujan itu.”

William tersenyum. Akupun tersenyum, kali ini aku memberikan senyum yang tulus.

“Tersenyumlah saat kau mengingatku karena saat itu aku sangat merindukanmu, menangislah saat kau merindukanku karena saat itu aku tak berada di sampingmu, tapi pejamkan mata indahmu itu karena saat itu aku akan terasa berada di dekatmu karena aku telah ada di hatimu, selamanya. Cintamu akan tetap tinggal bersamaku sampai akhir hayatku, bahkan setelah kematianku.”

Aku tertunduk. Air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku sudah berusaha tegar di hadapannya. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku baik-baik saja dengan pertemuan terakhir ini. tapi, aku tidak bisa. Kenapa harus hari ini terakhir kalinya aku bertemu dia? Kenapa tidak seminggu lagi atau sebulan, setahun? Tuhan, beri kesempatan kami bersama, setidaknya untuk mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut dua tahun lalu. Beri kesempatan aku merawatnya, Tuhan. Beri kesempatan aku menghiburnya. Dua tahun dia dalam penderitaan melawan penyakitnya. Sedangkan aku, dua tahun itu aku dalam kebencian yang besar kepadanya. Ini tidak adil, Tuhan. Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Beri aku kesempatan, satu kali saja. Walau harus ditukar dengan nyawaku aku ikhlas, asal beri aku kesempatan, Tuhan.

“Kettie, apa yang diucapkan orang ketika hendak berpamitan untuk pergi?”

“William, apa yang kau katakan?" Aku panik. Jangan, jangan sekarang. Jantungku berburu tak karuan. Tuhan, tolong jangan sekarang.

“Aku ingin pulang, Kettie. Aku sudah tak punya kekuatan untuk bertahan”

“Kau punya. Kau punya kekuatan itu, William. Tatap aku, ayo kita sama-sama melawan penyakit ini. Aku bisa memberikan hatiku untukmu” aku menggenggam jarinya erat, tak ingin melepasnya.

“Jangan bodoh, Kettie. Jaga hatimu untuk aku. Aku sudah siap untuk pergi. Terima kasih sudah datang ke sini, menghantarku pulang. Aku tidak akan pernah melupakan hari ini, aku akan ingat hari ini Kettie, selamanya.”

“William, apa yang kau katakan? Ini rumahmu, kau tak akan pulang ke mana-mana. Aku ke sini untuk bertemu  denganmu, untuk menyampaikan bahwa aku sangat mencintaimu. Tidak ada yang berubah setelah dua tahun lalu. Aku masih sangat menyayangimu. Jadi, ayo kita sama-sama berjuang melawan penderitaan ini,” aku terus berbicara tak peduli air mata yang berlomba ingin keluar. Aku terus menggenggam jarinya dengan erat.


“Kau belum menjawab pertanyaanku, Kettie. Apa yang dikatakan orang ketika berpamintan untuk pergi?”

“Williamm....” tangisku meledak. Aku benar-benar tidak kuat lagi. aku merebahkan tubuku, memeluknya erat. Aku merasakan badannya melemah. tidak, tidak. Jangan sekarang. “William, ayo kita melawan penyakit ini sama-sama. Jangan menyerah, sayang. Aku di sini sekarang. Aku akan berjuang bersamamu.” Badannya semakin lemah. Aku merasakan detak jantungnya juga mulai melemah.

Tuhan, lakukan sesuatu. Jangan Kau ambil Williamku sekarang. Bukankah aku tadi meminta kesempatan? Beri aku kesempatan Tuhan. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku janji.

“Kettie, diantara kalimat ‘selamat tinggal’ dan ‘sampai berjumpa lagi’ mana yang ingin kau dengarkan?”

“William, berhenti berkata seperti itu. Saat ini aku tak ingin mendengar kedua-duanya. Kita berdua ada di rumahmu, kita tidak akan kemana-mana. Jadi, tak perlu kamu mengucapkan dua kalimat itu.”

“Tapi aku harus mengucapkannya Kettie, waktuku tinggal sedikit,”

Aku menangis sesegukan. “William, kau akan terus hidup. Aku akan terus memelukmu, memberikan kehangatan kepadamu. Kau akan tetap di sini, di pelukanku.

“Kettie...” dia memanggilku. Suaranya lemah, nyaris tak terdengar.

“William, jangan bicara apa-apa. Kau aman dalam pelukanku,”

“Kettie, maaf kalau yang kau dengar adalah sesuatu yang tak kau inginkan,”

“Maka jangan mengucapkan apa-apa. Kau cukup diam dalam pelukanku”

“Kettiee...”

“Jangan... jangan mengucapkan sepatah katapun, William” suaraku nyaris tak terdengar dalam tangis.

“Se.. selamat tinggal, Kettie. Aku menyayangimu...” 

“Williiiaammmmm......” teriakku histeris. “Wiiiillllliiaammmm......!!!!!!!!!!!”

*****

Hari ini pemakanam William. Setelah pemakaman hujan pun turun. Aku merentangkan tangan, merasakan setiap tetesannya. Hujan itu William, dia benar-benar datang. Dia datang memberitahuku bahwa dia sudah sampai dengan selamat di Surga. Aku tersenyum merasakan tetesan-tetesan itu begitu bersahabat dengan telapak tanganku. Itu yang meyakinkanku bahwa hujan itu memang William.

Wil, aku akan tetap di sini, menanti hujan berikutnya...
 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design