Sabtu, 23 April 2016

With You The First Time


Indah. Sejuk. Penuh cinta. Bersama senja aku lukiskan perasaan yang menyembul saat pertama kali melihatmu muncul dengan metik warna hijau cerah. Lewat senyum manis yang merekah di setiap untaian kata yang terucap dari bibir indah. Aku bahagia. Ya, aku merasa ada sesuatu yang menggelitiki hatiku saat pertama kali duduk tepat di sampingmu.

Ah, andai malam ini bisa kuhentikan. Aku ingin selamanya berada dalam suasana ini. Duduk berdua denganmu bercerita seadanya, menatap keindahan alam yang terpampang di depan kita dan yang terpenting melihatmu tertawa dan tersenyum. Manis. 

Hey langit, tahukah kamu bahwa salah satu bintangmu telah jatuh tepat di sampingku? Aku berharap kamu takkan pernah tahu. Karena aku ingin memenjarakan dia di hatiku, supaya tak bisa lagi kembali ke pangkuanmu. Dia manis, indah dan aku suka dia. 

With you the first time, and I’m in love at the first sight...

Senin, 18 April 2016

COKELAT STRAWBERRY


Kapan terakhir kali kau tersenyum? Seminggu yang lalu? Sebulan yang lalu? Setahun yang lalu?

*****

Ada sebuah kenangan yang tak ingin kukenang saat kapanpun. Entah karena ego yang kian membesar, namun kenangan itu ingin aku lupakan. Aku ingin hidup tanpa bayangan wajah mereka yang ku panggil ayah dan ibu, tanpa senyum manis dan rangkulan penuh kehangatan dari mereka. Sejujurya, aku ingin hidup tanpa terlahir dari keluarga ini.

*****

“Ket, aku punya kejutan untukmu. Tebak apa yang membuatku sangat bahagia hari ini,” seruku penuh antusias pada gadis berlesung pipi di sampingku.
Namanya Ketrin. Sulit aku mendeskripsikan hubungan kami. Teman? Tapi tak pernah ada teman yang sedekat kami. Sahabat? Tapi tak ada sahabat yang seintim kami. Pacar? Tapi kami tak punya tanggal jadian. Aku juga tak pernah memintanya untuk menjadi pacarku. Lalu hubungan yang ada diantara kami apa? Entah, tapi kenyataannya, hubungan kami lebih dekat dari sekedar teman, sahabat ataupun pacar. Bagiku, dia sangat berarti lebih dari apapun dan siapapun.

“Coba aku tebak. Kamu baru saja menemukan harta karun milik Golden D Roger!” balasnya tak kalah antusias. 

“Lebih dari itu. Haha!”

“Aku penasaran. Aku menyerah..”

“Aku mendapat beasiswa untuk kuliah musik di Australia,” jawabku girang.

Lihat, wajahnya berubah berseri-seri, penuh kebahagiaan.

“Se.. serius?? Kamu sedang tidak bercanda, kan?” kagetnya setengah tidak percaya.

“Baca ini!” Aku menyodorkan selembar kertas. Ia mengamati kertas itu kemudian manggut-manggut tanda mengerti. 

“Sebenarnya aku tak perlu kaget. Kamu kan memang pintar musik, mustahil kalau tidak diterima.” Jawabnya dengan pandangan masih tak lepas dari kertas itu. 

“Kita akan sama-sama lagi. Kemarin aku sedih, aku pikir kita akan berpisah. Tapi ternyata kita berada di Negara yang sama. Walaupun mungkin tempatnya berbeda. Yang jelas, kita akan sama-sama ke Australia. Mon, apa kamu juga bahagia?” sambungnya sambil menatapku dengan senyum, memperlihatkan kemolekan dua lesung yang terpampang manis di pipi indahnya.
 
“Sangat. Saking bahagianya aku sampai tidak tahu cara mengekspresikannya. Kita memang tidak bisa dipisahkan.” Aku menggenggam erat jemarinya.

“Mondy. Kamu selalu punya cara untuk membuatku tersenyum bahagia.” Balasnya sambil bersandar di bahuku. Aku membalasnya dengan mengecup keningnya. 

Lama kami berdua terdiam dalam perasaan yang kami sama-sama tahu yaitu bahagia. Menatap indah sunset yang sedang memamerkan keelokannya. 

“By the way, o… orang tuamu sudah tau ini?” Tanyanya setengah berbisik, penuh hati-hati.

Seketika wajahku berubah. Senyum yang barusan mengembang mendadak hilang. Hatiku tiba-tiba panas. Kenapa pertanyaan itu yang harus terdengar lagi?

Ia paham kondisi ini, sehingga perlahan-lahan ia membelai rambutku, menatapku penuh cinta dan berbisik lembut “Kamu tahu Mon, kamu tak bisa selamanya seperti ini. Sudah setahun, berdamailah dengan hatimu,” aku merasakan telapak tangannya melekat tepat dihatiku. 

Sesak, makin sesak rasanya. Nafasku memburu. Entah perasaan marah atau rindu yang sudah tertahan dan begitu egois untuk aku ungkapkan. Entah rasa penyesalan dalam hati karena aku sudah terlahir dari seorang ayah yang transgender. Entah rasa malu pada diri sendiri yang begitu lemah di depan sosok gadis cantik yang selalu mengingatkanku pada ‘orang tua’. Entah, aku seperti mati rasa.

“Ketrin, please. Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan ini lagi. Aku ke sini untuk memberikan kejutan bahagia, bukan membahas hal-hal seperti ini.” Hanya kata-kata itu yang berhasil keluar dari mulutku.

“Aku paham, Mon” katanya lagi sambil membelai lembut rambutku. “Apa kamu tidak kangen sama orang tua kamu? Sudah setahun kamu menghilang dari rumah. Membuat ibu kamu harus ke sana kemari mencari keberadaan kamu. Mondy, Kamu ingat gak yang dulu ngajarin kamu musik siapa? Yang punya bakat musik di keluarga kamu siapa?” ia berbicara sangat tenang, tak peduli dengan ekspresiku yang sudah tak bersahabat.

“Mengingatnya, membuatku benci harus terlahir dari keluarga itu.” Jawabku sambil beranjak. Tapi tangannya terlalu cepat menahanku. Seperti sudah membaca gerikku. Aku kembali terduduk di sampingnya. 

“Mon, aku tahu apa yang ada di sini (ia menunjuk hatiku) getaran rasa rindu yang sangat besar setiap kali aku menyebut orang tuamu selalu aku rasakan. Aku tahu apa yang di hatimu. Apakah setahun itu tidak cukup membuat mereka merasa bersalah? Apa yang terjadi pada ayahmu itu bukan keinginan ibumu. Oke, kamu merasa tertekan mengetahui yang sebenarnya bahwa ayahmu transgender, tapi percayalah ibumu lebih tertekan dan lebih sakit dari rasa sakit yang kamu rasakan. Kali ini, tolong dengarkan aku. Kamu harus kembali. Mon…”

“Ket, kamu sudah sering mengucapkam kalimat-kalimat itu. Apakah kamu tidak bosan? Aku saja yang mendengarnya sungguh sangat bosan.”

“Demi Tuhan, Mon. Aku tak akan pernah bosan mengingatkanmu untuk kembali. Karena aku tahu, di dalam lubuk hati kamu yang paling dalam, ayah dan ibu adalah dua sosok yang sangat kamu sayangi dan rasa rindumu sangat besar terhadap mereka, aku bisa merasakannya, Mondy. Hanya saja kamu tak pernah mau jujur dengan hatimu. Rasa benci membuatmu menjadi seperti ini.”

Aku seperti terserang arus listrik. Seluru badanku panas dan rasanya hatiku sedikit lagi meledak. Air mataku mengalir dengan sendirinya. Sungguh tak bisa aku hentikan deru di dada yang semakin menjadi. Aku sadar aku pengecut. Ibu sudah menjelaskan dengan penuh air mata tentang keadaan di keluarga kami, tentang apa yang terjadi dengan ayah yang ternyata juga menyukai seorang pria, salah satu kliennya dari Amerika. Diam-diam mereka melakukan hubungan, yang akhirnya diketahui sendiri oleh ibu. Pada suatu siang, ketika ibu kembali ke rumah untuk mengambil biolanya yang ketinggalan, dengan mata kepala sendiri, ibu melihat ayah dan pria bule itu sedang berciuman di dalam kamar. Sejak kejadian itu ibu berubah, ibu juga tak pernah menceritakannya kepadaku, ibu memendamnya sediri dan memilih pergi dari rumah. Hampir sebulan aku hidup bersama ayah tanpa ibu.

Dengan kepergian ibu, bukan membuat ayah jerah. Ia malah terus mengajak pria bule itu setiap hari ke rumah dengan alasan kalau mereka sedang merencanakan sebuah bisnis besar yang tidak bisa didiskusikan di kantor. Awalnya aku tak curiga hingga suatu malam, aku mendengar ayah sedang bercakap-cakap dengan seseorang di kamar, dan itu suara laki-laki. Aku mencoba mengintip tapi tak bisa. Aku berusaha mengabaikan pendengaranku, mungkin aku yang salah dengar. Tapi malam berikutnya begitu lagi dan hampir setiap malam sejak kepergian ibu. Paginya aku ingin bertanya kepada ayah, tapi berat rasanya aku bertanya. Karena aku tak percaya pada apa yang ada dipikiranku. 

Legah rasanya ketika ibu kembali ke rumah. Entah bagaimana cara ayah membujuk, akhirnya ibu memilih kembali. Tapi tak bertahan lama, beberapa bulan kemudian ayah yang pergi dan tak pernah kembali hingga aku lulus SMP. Masuk SMA aku mulai bertanya pada ibu, mengapa ayah tak pernah pulang. Ibu selalu menjawab dengan jawaban yang sama “Mon, ayahmu sedang mengerjakan bisnis yang sangat besar di Amerika, sehingga mungkin dalam beberapa tahun ini, ayah tak akan bersama kita, tapi nanti kita akan mengunjungi ayah ke sana, kita tunggu waktu yang pas, ibu tak mau mengganggu pekerjaan ayahmu” aku sampai kenyang dan bosan dengan kalimat itu. Ibu selalu bilang kalau akan mengunjungi ayah, tapi sampai aku kelas 2 SMA saat inipun, kami belum bertemu ayah. 

Sampai suatu waktu, dengan bantuan Ketrin dan tanpa sepengetahuan ibu aku mencari tahu alamat ayah di Amerika dan aku ke sana untuk memastikan apa sebenarnya yang terjadi. Ibu tak bahagia dengan keadaan ini. Ibu hanya berusaha tersenyum di depanku. Tapi di belakangku, ibu selalu terlihat melamun dengan wajah penuh derita. Aku selalu melihat ibu seperti itu, itulah sebabnya memanfaatkan liburan semester ini, aku bersama Ketrin akan terbang ke Amerika untuk mencari ayah. 

Ketrin punya banyak jaringan di Amerika karena ayahnya juga punya andil yang cukup besar di sana sehingga kami tak kesulitan mendapatkan informasi serta menemukan tempat tinggal ayah. Namun, apa yang aku dapatkan di sana membuatku sangat-sangat menyesal telah membuang-buang waktu ke sini untuk mencari lelaki yang sebenarnya memang pantas ku buang. 

Di rumah lelaki yang kusebut ayah itu, penuh dengan foto-fotonya bersama pria bule itu. Tak ada satupun fotoku atau ibu. Aku benar-benar kehilangan akal melihat semua kenyataan itu. Aku seperti ingin membunuh laki-laki itu. Bagaimana mungkin, setelah kelahiranku dia berubah menjadi lelaki seperti ini. Tak peduli Ketrin yang berusaha menahanku, aku terus memburu setiap foto yang tertata rapi di dinding dan di meja. Semua benda-benda terkutuk itu sekarang sudah terjatuh dengan sangat berantakan di lantai. Bunyi yang sangat berisik juga sudah tak kupedulikan. Aku berubah seperti orang gila. Aku meraih setiap benda yang ada di depanku dan melemparnya ke lantai. Mataku gelap. Ingin rasanya aku membuang laki-laki ini ke dalam neraka yang paling dalam. Aku benar-benar ingin membunuh mereka berdua. 

Akh, semua kembali terngiang dalam ingatanku. Membuatku hatiku semakin panas. Aku benar-benar terbakar setiap ingat kejadian itu. Melihat ayah bersanding dengan sangat bahagia bersama pria bule itu membuatku benar-benar merasa jijik. 

“Aaaarrrrgggggghhhhhh!!!!!!!!!!!” teriakku sekencang-kencangnnya. Ketrin hanya memandangku dengan penuh ibah.

“Kenapa aku harus terlahir dari ayah macam dia, Ket? Kenapa??” aku menatap Ketrin dengan tajam. 

“Kenapa dia harus menikahi ibu kalau dia itu…. Aaakkkkhhhhh” aku tak bisa meneruskan kalimatku. Lututku lemas seketika, aku jatuh tersungkur. Aku benar-benar tak berdaya sekarang. Aku kacau, ruang kosong itu kembali muncul. Tersedak hiruk pikuk keegoan yang kian mendewasa. 

Ketrin tak bicara apapun, ia hanya terus membelai rambutku dengan semakin lembut. Aku sedikit tenang merasakan setiap belaian jemari Ketrin mengenai rambutku. Aku membiarkan angin sore menyapu wajahku dan berharap angin ini membawa pergi setiap beban derita, amarah dan kekacauan hatiku saat ini.

“Mon, kamu mau dengar sebuah cerita?” Ketrin tiba-tiba memecah kesunyian yang sudah merambati kami hampir sejam.  

Aku membalas dengan mengangguk.

“Ada seorang pemuda sebut saja namanya Jhon. Ia memiliki ibu yang lumpuh. Setiap hari Jhon merawat ibunya dengan penuh kasih sayang. Jhon adalah seorang karyawan di sebuah kantor swasta di kotanya yang terkenal sangat baik. Itulah sebabnya banyak yang ingin berteman dengan Jhon. Rumah Jhon setiap hari dikunjungi banyak teman. Selain Jhonnya baik, ibu Jhon pun pintar dan cerdas, itulah yang membuat teman-teman Jhon makin betah main ke rumah Jhon. Setiap berkunjung selalu ada ilmu yang mereka bawa pulang yang didapatkan dari ibu Jhon. Di kantor, ibu Jhon jadi bahan pembicaraan, karena walaupun beliau lumpuh, ia sangat pintar dan cerdas. 

Bukannya senang, Jhon malah merasa kesal mendengar ibunya dibicarakan setiap hari. Entah setan apa yang merasukinya, Jhon diam-diam merencanakan rencana jahat untuk membuang ibunya ke hutan. Itulah sebabnya sore ini, Jhon mengajak ibunya kluar. Tanpa tahu niat jahat anaknya, ibu ini nurut. Sesampai di hutan, Jhon menggendong ibunya memasuki hutan. Sepanjang jalan ibu ini meraih setiap ranting kayu, mematahkan dan membuangnya, hingga sampailah mereka di tengah hutan.

Jhon mendudukkan ibunya dibawah sebuah pohon yang besar, kemudian membungkuk dan berkata dengan pelan, “bu, maafkan Jhon kalau Jhon harus meninggalkan ibu di sini, Jhon sudah tak kuat lagi mengurus ibu,” “Tak apa, Nak. Ibu malah berterima kasih, karena kamu sudah merawat ibu dengan penuh kasih sayang selama ini. Kamu tak perlu minta maaf, ibu yang minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kamu sudah capek dari kerja, masih harus mengurus ibu. Memang di sinilah tempat yang tepat untuk ibu. Tak masalah, ibu akan baik-baik saja. Pulanglah, jaga kesehatan dan makanlah yang teratur. Ibu sudah mematahkan beberapa ranting dan meletakkannya di sepanjang jalan. Ikuti saja setiap ranting itu supaya kamu jangan tersesat karena hutan ini sangat besar.”

Mendengar jawaban Ibunya, Jhon langsung tersungkur penuh penyesalan. Disaat anaknya sudah membuangnya di hutan, ibu ini masih memikirkan keselamatan pulang anaknya. Jhon merangkul ibunya dengan penuh kasih sayang, dan berkata dengan penuh penyesalan, “maafkan kedurhakaanku bu, aku terlalu egois. Aku akan bawa ibu pulang, aku akan merawat ibu sampai Tuhan memisahkan kita” janji Jhon dan kembali menggendong membawa ibunya pulang.” 

Seketika itu juga, aku sangat kangen pada ibu. Rasa bersalah yang besar tiba-tiba merasuk hatiku. Aku mungkin tak paham makna dari cerita Ketrin, namun ada satu pesan tersirat yang tertancap mengenai hatiku yang membuatku sadar bahwa sesungguhnya aku sangat merindukan pelukan dan dekapan ibu.

“Ket, apa yang harus aku lakukan?” 

“Berdamailah dengan hatimu. Bukalah pintu maaf untuk orang tuamu dan terimalah apapun bentuk ayahmu saat ini. Semua sudah terjadi dan sudah seperti ini. Kamu tak akan bisa mengambil kembali mutiara yang sudah masuk ke dalam mulut babi.”

“Apakah aku masih bisa bertemu ibu?” tanyaku setengah berbisik mungkin bercampur rasa malu.

“Ibu selalu menantikan kedatanganmu” jawab Ketrin sambil menatapku tanpa keraguan sedikitpun. 

“Apa kamu yakin aku bisa melakukannya?” 

“Pahlawan selalu mempunyai tempat tersendiri dalam hati, walau hatimu penuh dengan rasa kesal dan benci. Pahlawan tetap akan menjadi satu-satunya orang yang kamu hormati, entah saat bersamanya bahkan ketika kamu sudah tak bersamanya. Mengenangnya membuat kita sadar bahwa tanpa pahlawan, kita tidak akan menjadi seperti sekarang ini.”

“Apakah pahlawan yang kau maksud itu adalah ibu?” tanyaku tak paham.

“Ayah dan ibumu, Mon…” jawab Ketrin mantap.

“Ayah? Pahlawan? Bagaimana mungkin ayah seperti dia bisa menjadi seorang pahlawan?”

“Tak harus memegang bambu runcing untuk menjadi seorang pahlawan, tak harus mengusir penjajah untuk menjadi seorang pahlawan. Setidaknya lelaki itu pernah berjuang bersama ibumu. Berkat lelaki itu, ibumu melahirkan seorang pria tampan, yang hebat bermain musik dan selalu membuatku jatuh cinta. Kalau ayah dan ibumu tak pernah bertemu, mungkin kamu tak akan ada di dunia ini dan aku tak akan pernah bertemu denganmu. Bagian mana lagi yang tak kamu paham?” 

Aku tersenyum penuh damai. Perlahan-lahan aku paham. Berkat Ketrin, aku sadar bahwa keegoisanku sudah memupuk luka yang begitu dalam bagi orang lain. Betapapun aku menyangkal, secara biologis, mereka tetap ayah dan ibuku.

Aku suka cokelat, dan aku tak suka strawberry. Sedangkan di duniaku cokelat dan strawberry menjadi dua rasa yang sangat disukai. Bagaimana jika sebuah cokelat terjatuh dalam secangkir strawberry? Bukankah akan menghasilkan sebuah rasa baru? Mungkin perpaduan dari rasa cokelat dan rasa strawberry. Betapapun kamu tak suka salah satu rasa itu, namun kamu harus tetap menikmatinya, karena didalam dua rasa itu, ada rasa yang sangat kau sukai.  
 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design