Kapan
terakhir kali kau tersenyum? Seminggu yang lalu? Sebulan yang lalu? Setahun
yang lalu?
*****
Ada
sebuah kenangan yang tak ingin kukenang saat kapanpun. Entah karena ego yang
kian membesar, namun kenangan itu ingin aku lupakan. Aku ingin hidup tanpa
bayangan wajah mereka yang ku panggil ayah dan ibu, tanpa senyum manis dan
rangkulan penuh kehangatan dari mereka. Sejujurya, aku ingin hidup tanpa
terlahir dari keluarga ini.
*****
“Ket,
aku punya kejutan untukmu. Tebak apa yang membuatku sangat bahagia hari ini,”
seruku penuh antusias pada gadis berlesung pipi di sampingku.
Namanya
Ketrin. Sulit aku mendeskripsikan hubungan kami. Teman? Tapi tak pernah ada
teman yang sedekat kami. Sahabat? Tapi tak ada sahabat yang seintim kami.
Pacar? Tapi kami tak punya tanggal jadian. Aku juga tak pernah memintanya untuk
menjadi pacarku. Lalu hubungan yang ada diantara kami apa? Entah, tapi
kenyataannya, hubungan kami lebih dekat dari sekedar teman, sahabat ataupun
pacar. Bagiku, dia sangat berarti lebih dari apapun dan siapapun.
“Coba
aku tebak. Kamu baru saja menemukan harta karun milik Golden D Roger!” balasnya
tak kalah antusias.
“Lebih
dari itu. Haha!”
“Aku
penasaran. Aku menyerah..”
“Aku
mendapat beasiswa untuk kuliah musik di Australia,” jawabku girang.
Lihat,
wajahnya berubah berseri-seri, penuh kebahagiaan.
“Se..
serius?? Kamu sedang tidak bercanda, kan?” kagetnya setengah tidak percaya.
“Baca
ini!” Aku menyodorkan selembar kertas. Ia mengamati kertas itu kemudian
manggut-manggut tanda mengerti.
“Sebenarnya
aku tak perlu kaget. Kamu kan memang pintar musik, mustahil kalau tidak
diterima.” Jawabnya dengan pandangan masih tak lepas dari kertas itu.
“Kita
akan sama-sama lagi. Kemarin aku sedih, aku pikir kita akan berpisah. Tapi
ternyata kita berada di Negara yang sama. Walaupun mungkin tempatnya berbeda.
Yang jelas, kita akan sama-sama ke Australia. Mon, apa kamu juga bahagia?”
sambungnya sambil menatapku dengan senyum, memperlihatkan kemolekan dua lesung yang terpampang manis di pipi indahnya.
“Sangat.
Saking bahagianya aku sampai tidak tahu cara mengekspresikannya. Kita memang
tidak bisa dipisahkan.” Aku menggenggam erat jemarinya.
“Mondy.
Kamu selalu punya cara untuk membuatku tersenyum bahagia.” Balasnya sambil
bersandar di bahuku. Aku membalasnya dengan mengecup keningnya.
Lama
kami berdua terdiam dalam perasaan yang kami sama-sama tahu yaitu bahagia.
Menatap indah sunset yang sedang memamerkan keelokannya.
“By
the way, o… orang tuamu sudah tau ini?” Tanyanya setengah berbisik, penuh
hati-hati.
Seketika
wajahku berubah. Senyum yang barusan mengembang mendadak hilang. Hatiku
tiba-tiba panas. Kenapa pertanyaan itu yang harus terdengar lagi?
Ia
paham kondisi ini, sehingga perlahan-lahan ia membelai rambutku, menatapku
penuh cinta dan berbisik lembut “Kamu tahu Mon, kamu tak bisa selamanya seperti
ini. Sudah setahun, berdamailah dengan hatimu,” aku merasakan telapak tangannya
melekat tepat dihatiku.
Sesak,
makin sesak rasanya. Nafasku memburu. Entah perasaan marah atau rindu yang
sudah tertahan dan begitu egois untuk aku ungkapkan. Entah rasa penyesalan
dalam hati karena aku sudah terlahir dari seorang ayah yang transgender. Entah rasa malu pada diri
sendiri yang begitu lemah di depan sosok gadis cantik yang selalu
mengingatkanku pada ‘orang tua’. Entah, aku seperti mati rasa.
“Ketrin,
please. Kita sudah sepakat untuk
tidak membicarakan ini lagi. Aku ke sini untuk memberikan kejutan bahagia,
bukan membahas hal-hal seperti ini.” Hanya kata-kata itu yang berhasil keluar
dari mulutku.
“Aku
paham, Mon” katanya lagi sambil membelai lembut rambutku. “Apa kamu tidak
kangen sama orang tua kamu? Sudah setahun kamu menghilang dari rumah. Membuat
ibu kamu harus ke sana kemari mencari keberadaan kamu. Mondy, Kamu ingat gak
yang dulu ngajarin kamu musik siapa? Yang punya bakat musik di keluarga kamu
siapa?” ia berbicara sangat tenang, tak peduli dengan ekspresiku yang sudah tak
bersahabat.
“Mengingatnya,
membuatku benci harus terlahir dari keluarga itu.” Jawabku sambil beranjak.
Tapi tangannya terlalu cepat menahanku. Seperti sudah membaca gerikku. Aku
kembali terduduk di sampingnya.
“Mon,
aku tahu apa yang ada di sini (ia menunjuk hatiku) getaran rasa rindu yang sangat
besar setiap kali aku menyebut orang tuamu selalu aku rasakan. Aku tahu apa
yang di hatimu. Apakah setahun itu tidak cukup membuat mereka merasa bersalah?
Apa yang terjadi pada ayahmu itu bukan keinginan ibumu. Oke, kamu merasa tertekan
mengetahui yang sebenarnya bahwa ayahmu transgender,
tapi percayalah ibumu lebih tertekan dan lebih sakit dari rasa sakit yang kamu
rasakan. Kali ini, tolong dengarkan aku. Kamu harus kembali. Mon…”
“Ket,
kamu sudah sering mengucapkam kalimat-kalimat itu. Apakah kamu tidak bosan? Aku
saja yang mendengarnya sungguh sangat bosan.”
“Demi
Tuhan, Mon. Aku tak akan pernah bosan mengingatkanmu untuk kembali. Karena aku
tahu, di dalam lubuk hati kamu yang paling dalam, ayah dan ibu adalah dua sosok
yang sangat kamu sayangi dan rasa rindumu sangat besar terhadap mereka, aku
bisa merasakannya, Mondy. Hanya saja kamu tak pernah mau jujur dengan hatimu.
Rasa benci membuatmu menjadi seperti ini.”
Aku
seperti terserang arus listrik. Seluru badanku panas dan rasanya hatiku sedikit
lagi meledak. Air mataku mengalir dengan sendirinya. Sungguh tak bisa aku
hentikan deru di dada yang semakin menjadi. Aku sadar aku pengecut. Ibu sudah
menjelaskan dengan penuh air mata tentang keadaan di keluarga kami, tentang apa
yang terjadi dengan ayah yang ternyata juga menyukai seorang pria, salah satu
kliennya dari Amerika. Diam-diam mereka melakukan hubungan, yang akhirnya
diketahui sendiri oleh ibu. Pada suatu siang, ketika ibu kembali ke rumah untuk
mengambil biolanya yang ketinggalan, dengan mata kepala sendiri, ibu melihat
ayah dan pria bule itu sedang berciuman di dalam kamar. Sejak kejadian itu ibu
berubah, ibu juga tak pernah menceritakannya kepadaku, ibu memendamnya sediri
dan memilih pergi dari rumah. Hampir sebulan aku hidup bersama ayah tanpa ibu.
Dengan
kepergian ibu, bukan membuat ayah jerah. Ia malah terus mengajak pria bule itu
setiap hari ke rumah dengan alasan kalau mereka sedang merencanakan sebuah bisnis
besar yang tidak bisa didiskusikan di kantor. Awalnya aku tak curiga hingga suatu
malam, aku mendengar ayah sedang bercakap-cakap dengan seseorang di kamar, dan
itu suara laki-laki. Aku mencoba mengintip tapi tak bisa. Aku berusaha
mengabaikan pendengaranku, mungkin aku yang salah dengar. Tapi malam berikutnya
begitu lagi dan hampir setiap malam sejak kepergian ibu. Paginya aku ingin
bertanya kepada ayah, tapi berat rasanya aku bertanya. Karena aku tak percaya
pada apa yang ada dipikiranku.
Legah
rasanya ketika ibu kembali ke rumah. Entah bagaimana cara ayah membujuk,
akhirnya ibu memilih kembali. Tapi tak bertahan lama, beberapa bulan kemudian
ayah yang pergi dan tak pernah kembali hingga aku lulus SMP. Masuk SMA aku
mulai bertanya pada ibu, mengapa ayah tak pernah pulang. Ibu selalu menjawab
dengan jawaban yang sama “Mon, ayahmu sedang mengerjakan bisnis yang sangat
besar di Amerika, sehingga mungkin dalam beberapa tahun ini, ayah tak akan
bersama kita, tapi nanti kita akan mengunjungi ayah ke sana, kita tunggu waktu
yang pas, ibu tak mau mengganggu pekerjaan ayahmu” aku sampai kenyang dan bosan
dengan kalimat itu. Ibu selalu bilang kalau akan mengunjungi ayah, tapi sampai
aku kelas 2 SMA saat inipun, kami belum bertemu ayah.
Sampai
suatu waktu, dengan bantuan Ketrin dan tanpa sepengetahuan ibu aku mencari tahu
alamat ayah di Amerika dan aku ke sana untuk memastikan apa sebenarnya yang
terjadi. Ibu tak bahagia dengan keadaan ini. Ibu hanya berusaha tersenyum di
depanku. Tapi di belakangku, ibu selalu terlihat melamun dengan wajah penuh
derita. Aku selalu melihat ibu seperti itu, itulah sebabnya memanfaatkan
liburan semester ini, aku bersama Ketrin akan terbang ke Amerika untuk mencari
ayah.
Ketrin
punya banyak jaringan di Amerika karena ayahnya juga punya andil yang cukup
besar di sana sehingga kami tak kesulitan mendapatkan informasi serta menemukan
tempat tinggal ayah. Namun, apa yang aku dapatkan di sana membuatku
sangat-sangat menyesal telah membuang-buang waktu ke sini untuk mencari lelaki
yang sebenarnya memang pantas ku buang.
Di
rumah lelaki yang kusebut ayah itu, penuh dengan foto-fotonya bersama pria bule
itu. Tak ada satupun fotoku atau ibu. Aku benar-benar kehilangan akal melihat
semua kenyataan itu. Aku seperti ingin membunuh laki-laki itu. Bagaimana
mungkin, setelah kelahiranku dia berubah menjadi lelaki seperti ini. Tak peduli
Ketrin yang berusaha menahanku, aku terus memburu setiap foto yang tertata rapi
di dinding dan di meja. Semua benda-benda terkutuk itu sekarang sudah terjatuh
dengan sangat berantakan di lantai. Bunyi yang sangat berisik juga sudah tak
kupedulikan. Aku berubah seperti orang gila. Aku meraih setiap benda yang ada
di depanku dan melemparnya ke lantai. Mataku gelap. Ingin rasanya aku membuang
laki-laki ini ke dalam neraka yang paling dalam. Aku benar-benar ingin membunuh
mereka berdua.
Akh,
semua kembali terngiang dalam ingatanku. Membuatku hatiku semakin panas. Aku
benar-benar terbakar setiap ingat kejadian itu. Melihat ayah bersanding dengan
sangat bahagia bersama pria bule itu membuatku benar-benar merasa jijik.
“Aaaarrrrgggggghhhhhh!!!!!!!!!!!”
teriakku sekencang-kencangnnya. Ketrin hanya memandangku dengan penuh ibah.
“Kenapa
aku harus terlahir dari ayah macam dia, Ket? Kenapa??” aku menatap Ketrin
dengan tajam.
“Kenapa
dia harus menikahi ibu kalau dia itu…. Aaakkkkhhhhh” aku tak bisa meneruskan
kalimatku. Lututku lemas seketika, aku jatuh tersungkur. Aku benar-benar tak
berdaya sekarang. Aku kacau, ruang kosong itu kembali muncul. Tersedak hiruk
pikuk keegoan yang kian mendewasa.
Ketrin
tak bicara apapun, ia hanya terus membelai rambutku dengan semakin lembut. Aku
sedikit tenang merasakan setiap belaian jemari Ketrin mengenai rambutku. Aku
membiarkan angin sore menyapu wajahku dan berharap angin ini membawa pergi
setiap beban derita, amarah dan kekacauan hatiku saat ini.
“Mon,
kamu mau dengar sebuah cerita?” Ketrin tiba-tiba memecah kesunyian yang sudah
merambati kami hampir sejam.
Aku
membalas dengan mengangguk.
“Ada
seorang pemuda sebut saja namanya Jhon. Ia memiliki ibu yang lumpuh. Setiap
hari Jhon merawat ibunya dengan penuh kasih sayang. Jhon adalah seorang
karyawan di sebuah kantor swasta di kotanya yang terkenal sangat baik. Itulah
sebabnya banyak yang ingin berteman dengan Jhon. Rumah Jhon setiap hari
dikunjungi banyak teman. Selain Jhonnya baik, ibu Jhon pun pintar dan cerdas,
itulah yang membuat teman-teman Jhon makin betah main ke rumah Jhon. Setiap
berkunjung selalu ada ilmu yang mereka bawa pulang yang didapatkan dari ibu
Jhon. Di kantor, ibu Jhon jadi bahan pembicaraan, karena walaupun beliau
lumpuh, ia sangat pintar dan cerdas.
Bukannya
senang, Jhon malah merasa kesal mendengar ibunya dibicarakan setiap hari. Entah
setan apa yang merasukinya, Jhon diam-diam merencanakan rencana jahat untuk
membuang ibunya ke hutan. Itulah sebabnya sore ini, Jhon mengajak ibunya kluar.
Tanpa tahu niat jahat anaknya, ibu ini nurut. Sesampai di hutan, Jhon
menggendong ibunya memasuki hutan. Sepanjang jalan ibu ini meraih setiap
ranting kayu, mematahkan dan membuangnya, hingga sampailah mereka di tengah
hutan.
Jhon
mendudukkan ibunya dibawah sebuah pohon yang besar, kemudian membungkuk dan
berkata dengan pelan, “bu, maafkan Jhon kalau Jhon harus meninggalkan ibu di
sini, Jhon sudah tak kuat lagi mengurus ibu,” “Tak apa, Nak. Ibu malah
berterima kasih, karena kamu sudah merawat ibu dengan penuh kasih sayang selama
ini. Kamu tak perlu minta maaf, ibu yang minta maaf karena sudah merepotkanmu.
Kamu sudah capek dari kerja, masih harus mengurus ibu. Memang di sinilah tempat
yang tepat untuk ibu. Tak masalah, ibu akan baik-baik saja. Pulanglah, jaga
kesehatan dan makanlah yang teratur. Ibu sudah mematahkan beberapa ranting dan
meletakkannya di sepanjang jalan. Ikuti saja setiap ranting itu supaya kamu
jangan tersesat karena hutan ini sangat besar.”
Mendengar
jawaban Ibunya, Jhon langsung tersungkur penuh penyesalan. Disaat anaknya sudah
membuangnya di hutan, ibu ini masih memikirkan keselamatan pulang anaknya. Jhon
merangkul ibunya dengan penuh kasih sayang, dan berkata dengan penuh
penyesalan, “maafkan kedurhakaanku bu, aku terlalu egois. Aku akan bawa ibu
pulang, aku akan merawat ibu sampai Tuhan memisahkan kita” janji Jhon dan kembali
menggendong membawa ibunya pulang.”
Seketika
itu juga, aku sangat kangen pada ibu. Rasa bersalah yang besar tiba-tiba
merasuk hatiku. Aku mungkin tak paham makna dari cerita Ketrin, namun ada satu
pesan tersirat yang tertancap mengenai hatiku yang membuatku sadar bahwa
sesungguhnya aku sangat merindukan pelukan dan dekapan ibu.
“Ket,
apa yang harus aku lakukan?”
“Berdamailah
dengan hatimu. Bukalah pintu maaf untuk orang tuamu dan terimalah apapun bentuk
ayahmu saat ini. Semua sudah terjadi dan sudah seperti ini. Kamu tak akan bisa
mengambil kembali mutiara yang sudah masuk ke dalam mulut babi.”
“Apakah
aku masih bisa bertemu ibu?” tanyaku setengah berbisik mungkin bercampur rasa
malu.
“Ibu
selalu menantikan kedatanganmu” jawab Ketrin sambil menatapku tanpa keraguan sedikitpun.
“Apa
kamu yakin aku bisa melakukannya?”
“Pahlawan
selalu mempunyai tempat tersendiri dalam hati, walau hatimu penuh dengan rasa
kesal dan benci. Pahlawan tetap akan menjadi satu-satunya orang yang kamu
hormati, entah saat bersamanya bahkan ketika kamu sudah tak bersamanya.
Mengenangnya membuat kita sadar bahwa tanpa pahlawan, kita tidak akan menjadi
seperti sekarang ini.”
“Apakah
pahlawan yang kau maksud itu adalah ibu?” tanyaku tak paham.
“Ayah
dan ibumu, Mon…” jawab Ketrin mantap.
“Ayah?
Pahlawan? Bagaimana mungkin ayah seperti dia bisa menjadi seorang pahlawan?”
“Tak
harus memegang bambu runcing untuk menjadi seorang pahlawan, tak harus mengusir
penjajah untuk menjadi seorang pahlawan. Setidaknya lelaki itu pernah berjuang
bersama ibumu. Berkat lelaki itu, ibumu melahirkan seorang pria tampan, yang
hebat bermain musik dan selalu membuatku jatuh cinta. Kalau ayah dan ibumu tak
pernah bertemu, mungkin kamu tak akan ada di dunia ini dan aku tak akan pernah bertemu denganmu. Bagian mana lagi
yang tak kamu paham?”
Aku
tersenyum penuh damai. Perlahan-lahan aku paham. Berkat Ketrin, aku sadar bahwa keegoisanku sudah memupuk luka yang begitu dalam bagi orang lain. Betapapun aku menyangkal, secara biologis, mereka tetap ayah dan ibuku.
Aku suka cokelat, dan aku tak suka strawberry. Sedangkan di duniaku cokelat dan strawberry menjadi dua rasa yang sangat disukai. Bagaimana jika sebuah cokelat terjatuh dalam secangkir strawberry? Bukankah akan menghasilkan sebuah
rasa baru? Mungkin perpaduan dari rasa cokelat dan rasa
strawberry. Betapapun kamu tak suka salah satu rasa itu, namun kamu harus tetap
menikmatinya, karena didalam dua rasa itu, ada rasa yang sangat kau sukai.
Pahit banget yg dirasain Mondy. Skrang memang lgi jamannya yg suka sma yg sejenis hhh
BalasHapus