Senin, 22 September 2014

Ketika Sang Bunda Menangis

Nak..
Aku mengerti ketika kamu malu jalan bersamaku
Aku tidak marah ketika kamu selalu melarangku untuk bertemu teman-temanmu
Aku paham ketika kamu tidak menceritakan ibumu kepada mereka, layaknya mereka yang dengan bangga menceritakan kehebatan ibunya

Ibumu tidak seperti ibu mereka
Yang masih terlihat cantik walaupun usianya semakin tua
Punya uang banyak, tempat kerjanya bagus dilengkapi AC
Makanannya enak, berganti menu tiap hari dan pakaiannya bermerk.


Nak..
Ibumu hanya seorang wanita desa
Yang kerjanya di bawah terik matahari
Kulit ibu terbakar dan tak terawat
Pantas saja ibu jelek, ibu terlihat tua dari usia ibu sebenarnya

Nak..
Ibu tidak menyalahkanmu
Ibu yang salah, ibu yang tidak bisa menjadi ibu yang modern
Ibu seharusnya mengerti akan perkembangan jaman
Ibu seperti masih hidup pada jaman primitif

Ketika semua orang sudah bisa menggunakan handphone
Ketika semua orang sudah bisa menggunakan komputer
Ibu bahkan tidak tahu itu benda seperti apa

Nak..
Ibu menyadari kebodohan ibu
Oleh karena itu, ibu tidak mau kamu seperti ibu
Ibu akan berusaha semampu ibu agar kamu menjadi wanita yang cantik
Wanita yang mempunyai pekerjaan yang layak
Wanita yang modern, wanita yang tidak ketinggalan jaman
Agar anakmu nanti tidak malu memiliki ibu yang kampungan

Nak..
Maaf karena kamu terlahir dari rahim seorang ibu yang miskin
Maaf kalau kamu harus mengalami banyak penderitaan karena aku bukan ibu yang bisa memberimu segalanya

Ini air mata ibu..
Ibu menangis bukan karena ibu sedih akan sikapmu

Ibu menangis…
Karena Ibu telah membuat kau kehilangan kebahagiaan di masa muda

Ibu menangis…
karena Ibu tidak bisa membelikanmu gadget yang bermerk

Ibu menangis…
karena Ibu tidak bisa membelikanmu mobil yang bagus

Ibu menangis..
Karena Ibu tidak bisa memberikanmu uang jajan yang banyak

Ibu menangis…
Karena Ibu telah membuat kau berbeda dari mereka

Itulah, mengapa Bunda selalu menangis dalam senyum..

Senin, 08 September 2014

Untuk Sebuah Nama dalam Lukisan

Apa lagi yang tertinggal, rindukah? Kenangan? Atau hanya sebuah nama. Nama yang kau lukis pada sebuah sisi pohon di kebun ini, tempat kau dan aku sering habiskan hari bersama. Pohon tua ini adalah saksi bisu cinta tulus kita.

Dulu, aku tak pernah duduk sendiri di sini. Karena selalu ada kamu yang menemaniku. Jika angin malam datang, kau akan dekap aku dalam pelukmu. Jika gerimis mencurah kau bentangkan jemarimu di atas kepalaku, kau begitu peduli padaku.

Kau pernah melukisku di sini. “Ketzu, kamu tahu alasan aku melukis?” “Apa, Miku?” “Kamu! Kamu alasanku untuk melukis. Setiap kali melihat kamu tersenyum, aku semakin semangat untuk melukis, aku ingin melukis kamu setiap hari, Ketzu.” Itu percakapan terakhir kita, sebelum kau benar-benar pergi.  

Aku memandang lukisan di pohon itu, lukisan yang kau buat dua tahun yang lalu saat kita merayakan ulang tahun kita yang ke-21. Kau dan aku lahir di tanggal-bulan-tahun yang sama. Entah itu suatu kebetulan, namun ikatan persahabatan yang sudah terjalin selama 17 tahun telah membuktikan bahwa kau dan aku memang ditakdirkan untuk selalu bersama.

 “Ketzu, apakah aku bisa melukismu di pohon itu?” “Bisa Miku, aku yakin kamu bisa, karena di manapun  kamu melukis, kamu selalu menghasilkan lukisan yang indah,” “Apa yang membuatmu yakin, Ketzu?” “Karena kamu pelukis yang hebat.” 

Senyum canda kita terlukis indah di pohon itu, bahkan tidak terhapus oleh usia pohon yang semakin tua. 

Hati kita tidak bersatu dalam ikatan cinta, melainkan cintalah yang menyatu dalam hati kita. Tidak perlu status pacaran dalam hubungan kita, karena persahabatan yang kita bentuk telah dilandasi dengan cinta yang tulus.

Miku, apa kabarmu di Surga? Aku yakin sekarang kau sedang menatapku dari atas sana. Ke sini Miku, duduk di sampingku, temani aku habiskan hari ini. Kita bercerita lagi, kita bercanda lagi. 

Aku merasakan ada angin yang mengenai tubuhku. Aku tahu itu kamu Miku, kamu benar-benar datang menemaniku. Bahkan setelah dunia kita beda pun aku masih merasakan kehadiranmu.

Demi menyelamatkan nyawaku, kau rela mati. Kau rela mengorbankan ginjalmu demi aku padahal kau sendiri sedang menderita anemia. Kenapa kau lakukan ini padaku? Aku masih menunggu jawabanmu. Ketika kita bertemu di Surga nanti, aku ingin kamu memberikan jawabanya.



Miku, berkatmu sekarang aku sudah bisa melukis. Lihat lukisan di atas itu, aku mencoba melukismu. Ya, aku tahu ini tak sebagus lukisanmu. Kamu lihat Miku, kepalanya bahkan lebar ke samping, bibirnya… akh, sampai sekarangpun aku belum bisa melukis dengan baik. Maafkan aku Miku, karena aku melukismu tidak sebagus kamu melukisku.

Miku, aku ke sini untuk pamit. Aku akan ke Amerika, melanjutkan S2 di sana. Aku akan menjadi dokter terhebat di dunia yang bisa menyembuhkan semua penyakit, seperti janjiku padamu dulu, waktu kita masih memakai seragam putih merah. Jaga pohon ini, jaga lukisan kita ya. Suatu saat aku akan pulang untukmu, untuk lukisan kita..
 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design