Senin, 19 Mei 2014

Keep Calm And Say “I Love My Parent”



Berkorban demi anak yang di sayangi. Segala macam cara dilakukan agar anaknya tidak menderita, bahkan kelaparan pun tak kan sempat singgahi kehidupan anaknya. Begitulah yang ada dibenak orang tua. Mereka tak pernah memikirkan kebahagian mereka sendiri, karena semata-mata kebahagiaan anaknya lah kebahagiaan mereka. Tapi apakah kita sebagai anak telah mensyukurinya? Mensyukuri setiap pengorbanan yang orang tua telah berikan kepada kita? Pernahkah kita mengirim sms kepada ibu dan ayah kita untuk sekedar menanyakan kabar mereka? Untuk sekedar memberikan kekuatan kepada mereka untuk terus berjuang menempu kerasnya hidup. Sudahkah itu kita lakukan? Kapan terakhir kali kita menelpon mereka? Atau kita hanya menelpon atau mengirim sms disaat kita membutuhkan uang? Hanya itukah peran orang tua bagi hidup kita? Apakah kita hanya menganggap orang tua adalah mesin ATM yang perlu kita kunjungi saat kita membutuhkan uang?
 
Aku sangat menyesal karena sebagai anak, aku belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tua dan mereka sudah pergi meninggalkan aku. Dulu setelah ayah telah dipanggil yang Maha Esa tepat saat aku beranjak SMA, aku berjanji akan terus berada disamping ibu dan bercita-cita menjadi wanita tegar yang bisa membahagiakan ibu dan membuat ayah tersenyum di surga, tapi belum sempat aku menyelesaikan studi di jenjang perguruan tinggi, ibu malah pergi menyusul ayah dan mereka meninggalkan aku sendiri dalam langkah dan arah yang tidak pasti. Padahal aku berjanji kelak akan membawa ibu ke kota ini, ke Yogyakarta untuk menyaksikan keberhasilanku, walaupun aku sadar bahwa keberhasilanku pun tidak sebanding dengan pengorbanan ibu. Aku hanya ingin ibu melihat bahwa hasil kerja kerasnya selama ini demi aku, tidak sia-sia. Namun itu semua tinggal mimpi, mimpi yang bahkan tidak tersampaikan saat ibu hendak menutup mata untuk terakhir kalinya karena aku tak berada di sampingnya. Aku telah mengingkari janjiku pada ayah untuk terus berada di samping ibu hingga saat di mana ia menutup mata. Maaf ayah, karena ketika aku pulang, jasad ibulah yang aku temukan terbaring lemas dalam peti mati. Tapi dia tersenyum menyambutku. Iya, aku bisa merasakan senyum itu. Dan entah mengapa, senyuman itu malah mencambukku. Maaf ayah, ibu, sampai sekarang pun aku belum menjadi apa-apa. Belum ada sesuatu yang berharga yang aku buat. Aku masih seperti dulu, anak yang manja dan cengeng. 

Dalam kesunyian kamar aku menitikkan air mata membayangkan lelaki itu berani mengkhianati orang tuanya. Aku, dalam hati berharap masih memiliki orang tua di dunia ini, yang setiap hari cerewet mengingatkan agar aku menghargai uang, agar aku tetap menjadi wanita yang baik, agar aku berjalan dalam terang bukan dalam gelap, berjalan dengan hati bukan dengan nafsu dan ambisi. Aku berharap masih memiliki orang tua yang peduli padaku seperti kedua orang tuaku yang sekarang sudah berada di surga. Tapi lelaki itu tak punya hati. Ia mengkhianati kedua orang tuanya, orang tua yang sangat menyayangi dan selalu menyanjungnya sebagai lelaki hebat. Orang tua yang telah bersusah paya berkorban demi anak sulung mereka itu. Tapi lelaki itu otaknya bebal, ia malah memanfaatkan kasih sayang dan kepercayaan orang tuanya untuk memeras mereka dengan sangat kejam. Orang tua mengirimnya ke sini untuk kuliah, untuk menjadi orang yang berguna kelak. Tapi apa yang ia lakukan di sini? Ia malah berfoya-foya dengan uang yang dikirim orang tuanya, ia menjadi orang yang sombong dan angkuh. Memamerkan kehebatannya karena sudah berhasil mengibuli orang tuanya dengan kejam. Ia belagak seperti raja yang terus dilayani, dan dimanja karena apapun yang ia minta selalu dikabulkan oleh orang tuanya. Mulutnya serakah, penuh tipu muslihat, ia menggunakan kuliah sebagai alasan untuk memeras orang tua padahal di sini ia tidak pernah menginjak kampus, ia tidak lagi menjadi mahasiswa entah sejak semester berapa, dan yang mengenaskan karena tempat tinggal pun ia tak punya. 

Sekarang orang tuanya sakit. Sakit karena semua pengorbanan mereka tidak terbalas sedikit pun. Sedikitpun tidak. Dengan semua pengorbanan yang sudah dipertaruhkan, hanya sakit hati yang mereka dapatkan. Bukan akhir ini yang orang tuanya inginkan. Mereka tak pernah bermimpi bahwa pengorbanan untuk anak sulung mereka itu akan berakhir dengan pengkhianatan seperti ini. Air susu di balas dengan air tuba. Peribahasa itulah yang cocok untuk menggambarkan perbuatan busuk lelaki itu. 

Aku berharap ia cepat menyadari perbuatannya. Ia tak punya hati selama ini sehingga ia menjadi durhaka. Aku berharap ia lekas mencari hatinya yang sudah berkelana entah kemana. Aku berharap ia merenungkan semua pengorbanan orang tuanya sehingga itu menjadi motivasi dia untuk menyesal dan kembali menata hidup dan perlahan-lahan bangkit menjadi anak dengan pribadi baru dan kembali pulang membawa keberhasilan dengan satu tekad mengangkat kembali nama keluarga yang telah ia nodai dengan kejam.
Aku hanya berdoa semoga ia kelak menjadi kebanggaan orang tuanya, menjadi abang dan teladan yang baik untuk adik-adiknya.

Bagi kalian yang sekarang masih memiliki orang tua, sayangi orang tua kalian, jangan pernah mengkhianati mereka sedikitpun. Seburuk apapun mereka, mereka adalah malaikat, merekalah yang membuat kalian menjadi pria yang tampan dan wanita yang cantik. Peliharalah kepercayaan yang mereka berikan kepada kalian, dan jangan pernah mencoba untuk menggunakan kasih sayang mereka untuk memeras dan memperbudak mereka. Ingat, orang tua adalah Allah kedua, hormati kedua orang tuamu maka akan panjang umurmu di tanah yang sudah diberikan Tuhan untukmu.

Minggu, 04 Mei 2014

Menyebarkan Dusta


Sebenarnya gue gak ingat kapan tepatnya gue mulai memperhatikan dia. Karena waktu itu gue belum punya notes atau diary kecil untuk mengisahkan detail-detail kenangan tentang dia. Seandainya saja gue punya pikiran untuk itu, gue akan menggoreskan apa saja tentang dia, termasuk tanggal, bulan, hari, tahun hingga jam, menit, detik-nya. Gue akan goreskan semua tentang dia, tapi gue gak akan menggoreskan tinta hitam di wajahnya, karena kalo sampe itu terjadi ibunya akan menjewer telinga gue sampai lepas. Apalagi waktu itu ibunya termasuk dalam daftar guru killer yang paling ditakutkan di sekolah. Sudah dipastikan apa yang akan terjadi kalo sampai gue menodai wajah mulus anak sulungnya itu.

Gue sesali akan kelemahan otak gue berpikir jenius saat itu, hingga sekarang gue harus peras otak gue untuk mengingat keping-keping kenangan bersama dia dulu. Kasihan otak gue, dia sebenarnya lelah tapi karena ini tentang kerinduan akan masa lalu ia juga mau bekerja keras untuk kembali melangkah ke belakang, saat di mana gue masih dikatakan bocah ingusan.

Saat itu gue lagi duduk dengan teman geng gue. Bukan geng motor, atau geng pencuri ayam, apalagi geng pemalak guru. Kami adalah kumpulan anak-anak yang hati dan parasnya sama, yaitu sama-sama cantik (ehm!). Seperti biasa kalau anak-anak cewek ngumpul pasti akan membicarakan tentang lawan jenisnya. Bukan, waria. Bukan! Perlu gue perjelas bahwa geng gue termasuk geng yang akil baliknya kecepatan. Ya, kira-kira umur gue dan temen-temen 10 tahun-an. Di umur seperti itu bulu ketek udah ke mana-mana dan rasa tertarik sama lawan jenis mulai meracuni otak. Dan otak gue yang terkena racun sangat banyak. Gue udah minum anti racun, minum rinso untuk menghilangkan noda sampai mengkonsumsi obat herbal yang di miliki oleh Yao Fei di film Arrow untuk menghilangkan racun yang sudah meracuni otak gue, namun hasilnya sama saja, nihil. 

Rasa tertarik yang tinggi kepada lawan jenis meracuni otak gue hingga membuat gue menjadi orang yang tidak bisa dikendalikan. Untung racun yang masuk ke otak gue adalah racun yang baik sehingga gue cuma tertarik sama satu orang lawan jenis gue di sekolah ini. Bayangkan kalo seandainya si racun jahat yang menguasai otak gue, maka gue bisa tertarik sama semua lawan jenis di sekolah ini. Udah, gak usa dibayangin, karena gue tahu itu bakal ngeri banget. Lebih ngeri daripada meletusnya merapi di Yogyakarta yang memakan ribuan jiwa.

Saking tertariknya, gue sampai ngarang cerita tentang dia. Setiap kali ngumpul sama geng gue, pasti gue mengisahkan cerita-cerita bohong yang berkaitan dengan dia. Salah satu cerita yang masih membekas di pikiran gue adalah ketika kami akan melayat. Entah siapa yang meninggal gue lupa, yang jelas waktu itu kami lagi latihan nyanyi untuk dipersembahkan di tempat layat nanti. Jangan pernah berpikir bahwa kami akan membawakan lagunya Rihanna, atau lagunya Ahmad Dhani. Yang kami nyanyikan adalah lagu Himne Guru. Kalau gak tahu lagunya, silahkan tanya sama Mbah Google, atau guru SD, atau guru SMP atau guru SMA yang lo temui di manapun, asal jangan yang lo temui di kuburan.

Selesai acara melayat, kamipun kembali ke sekolah. Di perjalanan gue mulai mengisahkan kebohongan kepada temen geng gue. Dengan polosnya gue bercerita kalau pada saat penyiraman bunga, dia memegang tangan gue. Ya, entah darimana gue dapetin ide itu, tapi itulah yang udah gue beberkan kepada teman-teman gue, yang akhirnya berakibat naas bagi kesalamatan gue, karena tidak beberapa jam kemudian gosip itu sudah menyebar kemana-mana dan sampailah ke telinga korban. Gue malu setengah mampus. Gue merasa terhina, gue ingin gantung diri, tapi di sekolah gue banyak banget pohon yang besar sehingga gue bingung memilih gantung diri di pohon yang mana. Padahal gue ingin banget gantung diri di pohon kelapa yang ada di halaman sekolah, tapi pohon kelapa itu terlalu tinggi, selain gue gak bisa mencapainya, pohon itu juga gak punya ranting kuat yang mampu menahan beban gue yang beratnya sebelas-dua belas dengan berat anak anjing peliharaan gue di rumah. 
Gue merasa harga diri gue diinjak-injak, padahal gue belum pernah tahu harga diri gue berapa, udah keburu diinjak sama mereka. Gue depresi, gue galau tingkat internasional, gue berkepikiran untuk kabur ke Spanyol, namun untung gue cepat menyadari bahwa gue gak tahu jalan ke Spanyol. Jangankan ke Spanyol, jalan pulang ke rumah saja sekarang gue udah lupa, saking depresinya. 

Selama satu hari satu malam gue gak tidur, gue mikirin pembelaan kalo si korban meminta pertanggung jawaban atas dusta yang udah gue sebarin. Gue paksa otak gue untuk memikirkan pembelaan, hingga otak memberikan dua solusi yang menurut gue paling bijaksana. Pertama, meminta maaf. Ya, gue sudah mempersiapkan diri untuk meminta maaf padanya, anggap saja waktu gue mengucapkan dusta itu gue lagi salah makan atau karena kepanasan akibat matahari yang membakar kulit. Gue bahkan berniat meminta maaf pada bokap dan nyokapnya atau bila perlu gue akan mengadakan pidato permintaan maaf padanya. Kalo solusi pertama tidak mempan, terpaksa gue akan melaksanakan solusi ke dua, yaitu nelpon Hatsune Miku dan membawa gue kabur ke Jepang. Jangan berpikir gue melarikan diri, tidak. Gue cuma liburan ke sana sekalian minta tanda tangan Ikuta Toma

Sehari, dua hari, seminggu, sebulan dan tidak ada tanda-tanda kalau si korban akan meminta pertanggung jawaban gue. Dia biasa-biasa saja dan tidak pernah menunjukkan aksi perlawanan kepada gue. Apakah dia senang gue mengarang cerita seperti itu? Apakah dia juga diam-diam tertarik sama gue? Dalam hati gue berniat mendekati dan meminta maaf padanya, namun gue gak pernah punya waktu berdua bersama dia. Gak pernah!

Dia itu, ya elo, sosok yang pernah gue kagumi waktu kecil...
Waktu gue masih ingusan, waktu gue belum tahu kalo ngemil upil dan minum air comberan itu adalah tindakan yang paling jorok se-indonesia, bisa jadi se-internasioal, atau bahkan se-dunia. Dan sekali lo konsumsi bisa menyebabkan ketergantungan maksimal. Darius deh, eh salah duarius deh!!                    

Kamis, 01 Mei 2014

Lelaki Dalam Maya


Lelaki dalam maya..
Aku mencintai dia, aku bahkan sangat menyayangi dia
Bagai mendapat radar dari Neptunus
Begitulah rasanya saat mengenal dia.
                                                     
Lelaki dalam maya..
Cuek, polos, lucu dan sangat sulit untuk tersenyum,
“Karena gigiku aneh,” katanya
Padahal aku yakin dia memiliki senyum yang indah
Yang tak dimiliki para lelaki lain.

Lelaki dalam maya..
Dia tidak seperti lelaki pada umumnya
Tapi dia mencoba untuk jadi lelaki pada umumnya
Ku biarkan dia seperti itu
Mungkin dia tahu kalau aku juga ingin dia seperti itu
Tapi dia tak pernah tahu bahwa sebenarnya aku menerima dia apa adanya.

Lelaki dalam maya..
Cinta telah membuat aku menutup mata dan telinga
Walaupun dia tidak termasuk dalam kriteria lelaki idamanku
Yang aku sendiri  tidak tahu mengapa aku menetapkan kriteria itu,
Ku anggap saja dia sudah masuk dalam kriteria-kriteria itu.

Lelaki dalam maya..
Kapan aku jatuh cinta padanya?
Aku lupa, karena tujuanku menerima cintanya hanya untuk mengisi kekosongan hati
Yang telah berkelana dan selalu menemukan perbedaan
Karena aku terlalu terpaku pada kriteria konyol itu
Yang telah membuatku terjebak dan mengabaikan banyak hati.

Lelaki dalam maya..
Dia telah menyadarkanku bahwa cinta tak memerlukan kriteria
Atau standar atau apa pun itu namanya
Cinta hanya butuh kasih dan sayang.

Lelaki dalam maya..
Karena dia, aku mengubur dalam-dalam kriteria itu
Dan aku yakin, setelah ini aku tidak akan pernah membutuhkannya lagi.

Lelaki dalam maya..
Hari demi hari aku berjalan bersamanya dalam maya
Kutemui banyak perasaan yang mengikutiku
Senang, juga kesal, dan kudapati ada kenyamanan di dalamnya
Aku berusaha untuk tidak terjebak dan terlena
Aku terus melangkah dalam permainan hati
Hingga akhirnya aku tersadar bahwa aku telah jatuh cinta.

Lelaki dalam maya..
Sungguh aku telah jatuh cinta padanya
Entah kapan perasaan asing ini tiba, hati tak mampu menjelaskan
Dan anehnya, aku takut kehilangan dia.

Lelaki dalam maya..
Aku bahkan gelisa jika sehari saja dia tak menghubungiku
Ya, entah apa yang mendasari cinta dan sayangku pada lelaki itu
Yang ku tahu aku selalu merindukan senyumnya.

Lelaki dalam maya..
Lelaki yang akan selalu menjadi pangeran dalam hatiku
Lelaki yang akan selalu menjadi penuntun dikala aku tersesat
Lelaki yang akan selalu menjadi penenang dalam gelisaku
Lelaki yang akan selalu bersedia menghapus air mata dalam sedihku

Hei, kau lelaki dalam mayaku..
Kapan kau akan memperlihatkan wujudmu??

 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design