Sebenarnya
gue gak ingat kapan tepatnya gue mulai memperhatikan dia. Karena waktu itu gue
belum punya notes atau diary kecil untuk mengisahkan detail-detail kenangan
tentang dia. Seandainya saja gue punya pikiran untuk itu, gue akan menggoreskan
apa saja tentang dia, termasuk tanggal, bulan, hari, tahun hingga jam, menit,
detik-nya. Gue akan goreskan semua tentang dia, tapi gue gak akan menggoreskan
tinta hitam di wajahnya, karena kalo sampe itu terjadi ibunya akan menjewer
telinga gue sampai lepas. Apalagi waktu itu ibunya termasuk dalam daftar guru
killer yang paling ditakutkan di sekolah. Sudah dipastikan apa yang akan
terjadi kalo sampai gue menodai wajah mulus anak sulungnya itu.
Gue
sesali akan kelemahan otak gue berpikir jenius saat itu, hingga sekarang gue
harus peras otak gue untuk mengingat keping-keping kenangan bersama dia dulu.
Kasihan otak gue, dia sebenarnya lelah tapi karena ini tentang kerinduan akan
masa lalu ia juga mau bekerja keras untuk kembali melangkah ke belakang, saat
di mana gue masih dikatakan bocah ingusan.
Saat
itu gue lagi duduk dengan teman geng gue. Bukan geng motor, atau geng pencuri
ayam, apalagi geng pemalak guru. Kami adalah kumpulan anak-anak yang hati dan
parasnya sama, yaitu sama-sama cantik (ehm!). Seperti biasa kalau anak-anak
cewek ngumpul pasti akan membicarakan tentang lawan jenisnya. Bukan, waria.
Bukan! Perlu gue perjelas bahwa geng gue termasuk geng yang akil baliknya
kecepatan. Ya, kira-kira umur gue dan temen-temen 10 tahun-an. Di umur seperti
itu bulu ketek udah ke mana-mana dan rasa tertarik sama lawan jenis mulai
meracuni otak. Dan otak gue yang terkena racun sangat banyak. Gue udah minum
anti racun, minum rinso untuk menghilangkan noda sampai mengkonsumsi obat
herbal yang di miliki oleh Yao Fei di film Arrow untuk
menghilangkan racun yang sudah meracuni otak gue, namun hasilnya sama saja,
nihil.
Rasa
tertarik yang tinggi kepada lawan jenis meracuni otak gue hingga membuat gue
menjadi orang yang tidak bisa dikendalikan. Untung racun yang masuk ke otak gue
adalah racun yang baik sehingga gue cuma tertarik sama satu orang lawan jenis
gue di sekolah ini. Bayangkan kalo seandainya si racun jahat yang menguasai
otak gue, maka gue bisa tertarik sama semua lawan jenis di sekolah ini. Udah,
gak usa dibayangin, karena gue tahu itu bakal ngeri banget. Lebih ngeri
daripada meletusnya merapi di Yogyakarta yang memakan ribuan jiwa.
Saking
tertariknya, gue sampai ngarang cerita tentang dia. Setiap kali ngumpul sama
geng gue, pasti gue mengisahkan cerita-cerita bohong yang berkaitan dengan dia.
Salah satu cerita yang masih membekas di pikiran gue adalah ketika kami akan
melayat. Entah siapa yang meninggal gue lupa, yang jelas waktu itu kami lagi
latihan nyanyi untuk dipersembahkan di tempat layat nanti. Jangan pernah
berpikir bahwa kami akan membawakan lagunya Rihanna, atau lagunya Ahmad
Dhani. Yang kami nyanyikan adalah lagu Himne Guru. Kalau gak tahu lagunya,
silahkan tanya sama Mbah Google, atau guru SD, atau guru SMP atau guru SMA yang lo temui di
manapun, asal jangan yang lo temui di kuburan.
Selesai
acara melayat, kamipun kembali ke sekolah. Di perjalanan gue mulai mengisahkan
kebohongan kepada temen geng gue. Dengan polosnya gue bercerita kalau pada saat
penyiraman bunga, dia memegang tangan gue. Ya, entah darimana gue dapetin ide
itu, tapi itulah yang udah gue beberkan kepada teman-teman gue, yang akhirnya
berakibat naas bagi kesalamatan gue, karena tidak beberapa jam kemudian gosip
itu sudah menyebar kemana-mana dan sampailah ke telinga korban. Gue malu
setengah mampus. Gue merasa terhina, gue ingin gantung diri, tapi di sekolah
gue banyak banget pohon yang besar sehingga gue bingung memilih gantung diri di
pohon yang mana. Padahal gue ingin banget gantung diri di pohon kelapa yang ada
di halaman sekolah, tapi pohon kelapa itu terlalu tinggi, selain gue gak bisa
mencapainya, pohon itu juga gak punya ranting kuat yang mampu menahan beban gue
yang beratnya sebelas-dua belas dengan berat anak anjing peliharaan gue di
rumah.
Gue
merasa harga diri gue diinjak-injak, padahal gue belum pernah tahu harga diri
gue berapa, udah keburu diinjak sama mereka. Gue depresi, gue galau tingkat
internasional, gue berkepikiran untuk kabur ke Spanyol, namun untung gue cepat
menyadari bahwa gue gak tahu jalan ke Spanyol. Jangankan ke Spanyol, jalan
pulang ke rumah saja sekarang gue udah lupa, saking depresinya.
Selama
satu hari satu malam gue gak tidur, gue mikirin pembelaan kalo si korban
meminta pertanggung jawaban atas dusta yang udah gue sebarin. Gue paksa otak
gue untuk memikirkan pembelaan, hingga otak memberikan dua solusi yang menurut
gue paling bijaksana. Pertama, meminta maaf. Ya, gue sudah mempersiapkan diri
untuk meminta maaf padanya, anggap saja waktu gue mengucapkan dusta itu gue
lagi salah makan atau karena kepanasan akibat matahari yang membakar kulit. Gue
bahkan berniat meminta maaf pada bokap dan nyokapnya atau bila perlu gue akan
mengadakan pidato permintaan maaf padanya. Kalo solusi pertama tidak mempan,
terpaksa gue akan melaksanakan solusi ke dua, yaitu nelpon Hatsune Miku dan
membawa gue kabur ke Jepang. Jangan berpikir gue melarikan diri, tidak. Gue
cuma liburan ke sana sekalian minta tanda tangan Ikuta Toma.
Sehari,
dua hari, seminggu, sebulan dan tidak ada tanda-tanda kalau si korban akan
meminta pertanggung jawaban gue. Dia biasa-biasa saja dan tidak pernah
menunjukkan aksi perlawanan kepada gue. Apakah dia senang gue mengarang cerita
seperti itu? Apakah dia juga diam-diam tertarik sama gue? Dalam hati gue
berniat mendekati dan meminta maaf padanya, namun gue gak pernah punya waktu
berdua bersama dia. Gak pernah!
Dia
itu, ya elo, sosok yang pernah gue kagumi waktu kecil...
Waktu
gue masih ingusan, waktu gue belum tahu kalo ngemil upil dan minum air comberan
itu adalah tindakan yang paling jorok se-indonesia, bisa jadi se-internasioal,
atau bahkan se-dunia. Dan sekali lo konsumsi bisa menyebabkan
ketergantungan maksimal. Darius deh, eh salah duarius deh!!
0 komentar:
Posting Komentar