Minggu, 23 Februari 2014

Seberkas Cahaya Untuk Riko


Dipekatnya malam, aku duduk bertemankan sepi. Lampu di kamar ku biarkan mati. Suasana ini yang aku cari. Gelap. Tak ada yang bisa dilakukan dalam pekat seperti ini. Bahkan cicak di dinding yang kebetulan lewat mugkin tak akan sadar kalau ada orang dalam kamar ini, cahaya matanya saja tidak dapat menangkap kehadiranku. Karena memang ini yang aku cari. Aku tak ingin terlihat oleh siapapun. Siapapun, tak terkecuali semut dan kecoa yang sudah menjadi penghuni tetap kamarku. Bahkan aku sendiri tak sudi melihat diriku sendiri. 

“Kau bikin malu keluarga, dasar anak tidak tahu diuntung! Praakk!” sebuah tamparan keras melayang di pipi kiriku.

“Tenang pak, tenang..,” Ibu berusaha membelaku, menahan tangan ayah.

“Kamu tak perlu membela anak tak tahu diri ini. Karena kelakuan bejatnya, harga diriku di kantor jadi turun. Minggir jangan halangi aku!!” 

Akibat emosi yang tak terbendung, ayah mendorong ibu dengan keras hingga ibu terjatuh dan kepalanya terbentur meja dengan sangat keras dan akhirnya terhuyung dengan lemas di lantai. Ayah tak peduli, ia terus meneror aku yang tampak syok melihat kondisi ibu. Aku ingin berlari menghampiri ibu, namun tinju ayah yang kuat, lebih cepat mendarat diperut dan mukaku. Aku pun terkulai, lemah. Darah dari mulut mulai mengalir. Puas sudah ayah melampiaskan kebenciannya. Air mataku satu per satu jatuh. Hatiku sakit, sakit ditusuk rasa bersalah yang mendalam. Luka lebam di wajah dan badan tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan hatiku. 

Serpihan-serpihan keping hatiku mulai retak dan berjatuhan disekelilingku saat aku melihat wanita itu masih menatapku dengan senyum yang sangat tulus. Tidak ada kebencian di sana. Sama sekali tidak ada. Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggerakkan mulutnya. Susah! Dia berusaha, terus terusaha hingga aku mendengar dia memanggil namaku. “Riko, kemari nak..” Sangat pelan, namun masih bisa ditangkap oleh telingaku.

Dalam ketidakberdayaan aku berusaha bangun. Dia saja masih bisa bertahan, masih kuat memanggil anaknya. Maka, aku juga harus bisa. Aku harus mampu menggapai tangan itu, tangan yang sudah berkorban demi anak durhaka seperti diriku. Aku tak kuat untuk bangun, rupanya ayah memukul sangat keras hingga aku benar-benar tak bisa memaksa badanku untuk berdiri. Aku menyerah. Ku padangi wajah itu sekali lagi, dia masih menatapku. Darah yang mengalir mengenai wajahnya tak ia pedulikan, ia terus memandangiku. Sakit. Bertambah rasa sakit di hatiku. Aku sakit melihat darah itu harus mengalir di wajah wanita tak berdosa ini, dan lebih sakit lagi ketika aku hanya bisa melihat dan tak mampu menghapus darah itu dari wajahnya. Sungguh, sakitnya bukan main. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku benar-benar payah. Tak berguna. 

Aku melihat sekeliling, sepi. Lelaki idiot itu sudah pergi. Ya, idiot. Suami macam apa yang tega menyiksa istrinya seperti ini. Wajar kalau ia membenci dan memukulku, bahkan membunuhku pun itu wajar, karena aku telah membuatnya malu. Tapi wanita itu tidak. Dia tidak melakukan kesalahan apapun. Dia hanya mencoba menenangkan lelaki itu agar bisa bicara dengan tenang. Dalam hati aku terus mengutuki lelaki yang tak punya hati itu. Aku benar-benar menyesal harus terlahir dari ayah macam dia. Jujur, aku sangat menyesal. 

Aku kembali menatap nanar wajah ibu, senyum itu masih merekah. Senyum itu membuatku tersadar, “aku tak boleh menyerah” pikirku. Aku memaksakan diri untuk merayap, walau tak kuat merangkul dan menghapus darah di wajahnya, mungkin aku bisa menggenggam tangannya, memberi dia kekutan walau aku sendiri nampaknya sudah tak kuat, walau sebenarnya aku yang butuh kekuatan. Apapun alasannya, aku hanya ingin menggapai tangan itu, tangan yang sudah terulur dari tadi. Lengan menjadi pengganti kaki, aku terus merayap seperti seekor ulat walau tak sempurna. Dengan terus berusaha hingga akhirnya aku bisa menyentuh ujung jari ibu. 

“Kamu berhasil, nak..” kata ibu lagi, nyaris tak terdengar.

“Aaa.. aku akan menolong ibu,” seruku dengan lirih sambil berusaha meraih jari ibu.

“Terima kasih, tapi tak perlu nak, ibu sudah tak kuat lagi, ibu.. uhuukk.. uhuukk…” 

Aku makin syok, apa arti kata-kata ibu barusan. Aku panik mendengar suara batuk ibu yang mulai melemah.

“Ibu,,, ibuuuu….” Teriakku berusaha mendekat. 

kurasakan genggaman erat tangan ibu, ia kembali menatapku dan berucap dalam senyum yang ia paksakan. 

“Ibu sayang kamu, Riko..” 

Aku terisak. Aku terus memanggil nama ibu, aku terus menggenggam jari ibu yang semakin melemah, terus melemah hingga terasa dingin. Matanya tak lagi menatapku, matanya telah terpejam, ibu telah tidur. Tidur untuk selamanya.

“Arrggghhh!!!!” 

Teriakku dalam kepekatan kamar. Memori itu tersimpan rapi dalam benakku, dan selalu berputar kapanpun dia mau. Aku benci lelaki itu. Bahkan aku tak sudi menyebutnya ayah. Dia telah membunuh ibu, dia tak pantas menjadi ayah dan juga suami, dia pembunuh. Mafia yang harus dimusnakan dari bumi, yang bahkan tak punya tempat di akherat. 

Sebulan sudah kepergian ibu dan aku masih mendekam dalam kamar ini. Aku benci melihat siang, aku benci pada cahaya. Entah apa wujud cahaya dan matahari aku sudah lupa, yang aku ingat sampai saat ini aku masih membenci diriku sendiri. Dalam kegelapan seperti ini aku tak akan pernah bisa melihat wujudku, dan aku merasa lebih baik seperti ini. 

“Riko, mau berapa lama kamu mendekam terus dalam kamar?” 

Suara itu terdengar lagi. Sebulan sudah, ia datang dan mengucapkan kalimat itu berkali-kali, apa ia tak bosan? Aku diam, pura-pura tak mendengar.

“Riko, aku tahu kamu mendengarku. Bolehkah aku masuk?” 

“Pergi kamu!!” 

“Riko, apa enaknya hidup dalam kegelapan? Hampa.”

“Pergiii..!!!”

“Riko kamu tak harus menghukum dirimu seperti ini. Dendam dan rasa bersalah yang berlebihan hanya akan menyiksa diri,” 

“Jangan sok menasihati aku. Tahu apa kamu tentang hidup, melihat dunia saja kamu tidak bisa.”

Geny, tetangga dan temanku waktu kecil. Keluargaku dan keluarganya sangat dekat karena ayah kami bekerja di perusahan yang sama. Tapi aku tak pernah menganggapnya ada karena dia itu buta. Apa yang bisa dilakukan orang buta? Tidak ada. Bisanya hanya merepotkan orang, bahkan cenderung bergantung pada orang. Aku pernah melihat dia kesulitan mencari boneka yang jatuh dari pangkuannya, dia meraba-raba dan mencari-cari. Melihat itu aku tertawa sinis, dia bahkan tidak tahu kalau boneka yang dicarinya sudah ada ditanganku. Aku pernah memberinya kodok ketika ia meminta tongkatnya. Aku juga pernah membawanya ke depan rumahnya Pak Gandong yang mempunyai seekor herder yang sangat galak, ketika ibu menyuruku mengantarkan dia pulang ke rumahnya usai pesta ulang tahun. Aku beri dia air garam saat dia minta minum, aku tertawa saat dia menangis meminta barang mainannya yang aku rampas. 

“Riko, kamu tahu, ada penglihatan yang lebih tajam dari mata dan ada pula pendengaran yang lebih pekah dari telinga.” 

Aku tersentak mendengar kata-kata itu. Aku terbangun dari lamunan masa kecilku. Siapa yang mengucapkan kata-kata barusan? 

“Apa yang kau katakan?” 

“Aku berbicara tentang hati, Riko. Aku memang buta, tapi dengan hati aku bisa melihat dan merasakan luka yang kau alami. Itulah mengapa aku terus ke sini selama sebulan, karena hatiku mampu melihat dan mendengar deruh dendam dan penyesalan dalam dadamu.”

Aku terpaku seribu bahasa dalam kagum yang tak berujung, pada seorang Geny yang ku pandang sebelah mata selama ini. 

“Sampai kapan kamu bersembunyi dalam gelap, Riko?” 

Ia kembali mencambukku dengan pertanyaan itu. Namun kali ini aku merasakan cambukkannya melemah, bukan lemah, tapi lembut, sangat lembut dan tulus.

“Tak usah kau mencampuri urusanku, ini hidupku. Tinggalkan aku sendiri!!” 

“Tapi kau tak hidup sendiri di dunia ini, dan kau tak akan pernah hidup sendiri.”

“Tak ada yang peduli dengan hidupku, Geny. Bahkan satu-satunya orang yang peduli pada hidupku sudah aku bunuh. Maka, biarlah gelap ini membunuhku juga,”

“Berhenti menyalahkan diri atas kematian ibumu, itu takdir Riko.”

“Aku gak percaya takdir, Geny”

“Mulai sekarang kamu harus mempercayainya. Riko, Hanya seorang pengecut yang berlari dan bersembunyi dalam gelap,”

Aku terdiam mendengar perkataan Geny. Kali ini cambukkannya tepat mengenai hatiku hingga gemuruh dalam dadaku bergejolak sangat cepat. Lututku lemas, mulut terkatup. ‘Pengecut’ kata itu berhasil membunuhku.

“Riko, selama 21 tahun aku hidup dalam kegelapan, itulah mengapa aku tahu bahwa hidup dalam kegelapan itu tidak membuat kita bahagia, tidak sama sekali.”

“Tapi terang juga tak mampu membuat aku bahagia, Geny. Ia membuat berantakan hidupku.”

“Bukan masalah terang dan gelapnya, Riko. Sudahkah kau berdamai dengan hatimu? Sudahkah kau mensyukuri sebuah nafas yang kau rasakan setiap bangun pagi? Sudahkah itu kau lakukan?”

“Untuk apa aku lakukan? Memangnya ia akan merubah hidupku? Kau tentu sudah melakukannyakan? Kenapa kau masih saja buta? Kenapa tidak ada yang berubah?”

“Iya Riko, aku sudah melakukannya dan aku merasakan perubahan dalam hidupku. Perubahan itu tak harus dilihat semua orang Riko, cukup kita yang merasakan. Saat kau telah berdamai dengan hatimu, maka kau akan merasakan perubahan itu. Lihat aku, sekarang aku lebih bisa menerima keadaanku yang seperti ini dan aku mensyukuri setiap kekurangan yang aku miliki. Dibalik kekuranganku, aku punya kelebihan yang orang normal seperti kamu tak bisa lakukan. Kamu mau tahu apa itu, Riko?”

“Apa Geny?”

“Buka hati kamu, dan dengarkan,”

Aku mendengar suara petikan gitar. Salah satu alat musik yang paling aku suka. Sayang, sampai sekarang aku tidak bisa memainkan alat itu. Tapi Geny, dia bisa melakukannya. Dengar, petikannya sangat indah, sungguh lebih dari indah. Benarkah dia yang melakukan ini? diakan buta, bagaimana mungkin ia bermain sebaik ini dengan mata yang tak bisa melihat kunci-kuncinya? Dengar, ia mulai bernyanyi. Suaranya indah, merdu, tenang dan menghipnotis ragaku. Aku terdiam mendengar lagu itu, You Are Love’d yang dipopulerkan Josh Gorban

Don't give up It's just the hurt that you hide
When you lost inside I...I will be there to find you
Don't give up Because you want to burn bright
If darkness blinds you I...I will shine to guide you

Mataku mulai berkaca-kaca. 

Everybody wants to be understood Well I can hear you
Everybody wants to be loved Don't give up
Because you are loved

Lagu ini berhasil menyentuh sekaligus membuka mata hatiku. Hati yang gelap, penuh dengan dendam dan amarah juga penyesalan dan kebencian pada diri sendiri. Aku terhenyak, seperti luruh dalam riak pesona yang mengulum debar tanpa mampu memaparkan logika di kepala. Aku mulai terisak, marah, kecewa dan mengutuki diri yang nyaris tak mampu lagi menggenggam apa yang telah menjadi pijakan pada barisan waktu yang telah terulur panjang di belakang. 

You are loved Don't give up
It's just the weight of the world
Don't give up Every one is to be heard
You are loved

Dengan tertatih, perlahan-lahan aku meraih kunci yang masih bertengger di engsel pintu. Ku putar dua kali dan kubiarkan terbuka. Aku terpaku memandangi gadis cantik dengan jari yang indah sedang duduk manis memainkan gitar di depan kamarku. Sadarkah dia bahwa aku sekarang sudah di depannya? Sedang mengagumi kehebatannya? Tidak, dia tak menyadari kehadiranku, dia sedang terbuai dalam permainannya demi menghibur hatiku. Tanpa berkedip, aku terus menatap kagum sosok indah di hadapanku. Dia persis seperti malaikat, aku benar-benar mengaguminya sekarang. Sebulan aku tak melihatnya, sekarang ia nampak berbeda. Dia tidak terlihat cacat sedikitpun, aku yang merasa cacat saat ini. 

“Aku senang kamu akhirnya mau keluar.” 

Aku terhipnotis mengaguminya hingga tak sadar bahwa ia telah selesai berdendang, dan sungguh ajaib, dia bisa merasakan kehadiranku di sini. Ternyata benar, hatinya lebih tajam daripada mata.

“Geny, vidio itu bukan…”

“Sssttt, aku sudah tahu yang sebenarnya. Marko kan pelakunya?”

“Kamu tahu darimana, Geny?”

“Panjang ceritanya, yang jelas kami semua sudah tahu bahwa kamu dijebak dan vidio itu hasil rekayasa Marko karena ia ingin menjatuhkan kamu dan keluargamu. Ayahnya dipecat oleh ayahmu dari perusahaan, sehingga ia dendam pada ayahmu dan kamu yang menjadi korbannya. Aku sudah berbicara pada pihak kepolisian untuk menghapus vidio itu dari semua jejaring yang sudah mengunduh vidio tersebut. Kata ayah, seminggu setelah penangkapan Marko, vidio itu sudah tidak terlihat di internet.”

“Geny, kamukah yang melakukan ini semua? Untuk apa?”

“Kamu tahu arti teman, Riko? Atas dasar itulah aku melakukan ini. Bukan saja teman, kaupun sudah aku anggap bagian dari keluargaku.”
Aku langsung merangkul Geny, merangkulnya sangat erat. Kata-katanya membuat damai hatiku. Dalam dekapannya aku merasa nyaman, tenang. Dia ikut mendekapku, jarinya yang indah membelai lembut rambutku. Sungguh aku merasakan kasih sayang yang luar biasa. Aku ingat, terkahir kali aku diperlakukan seperti ini oleh ibu waktu aku kelas 6 SD, sejak itu aku tak pernah lagi mendapat perlakuan itu, karena sikap ayah yang tiba-tiba berubah, status ibu yang adalah istri berganti menjadi budak ayah. Aku diterlantarkan, masuk SMA aku mulai belajar jadi pemberontak, minuman beralkohol dan rokok adalah surga duniaku. Aku benci kedua orang tuaku. Aku benci ayah yang sibuk dengan kerjanya hingga lupa kalau ia mempunyai anak dan istri. Aku juga benci pada ibu, karena ia tak punya keberanian menolak keinginan dan perlakuan kasar ayah. “hanya ini satu-satunya cara mempertahankan pernikahan” begitu jawabannya ketika Ibu Geny menyarankan untuk bercerai saja dengan lelaki itu. Aku tidak punya tempat berlari ketika saat itu, dan alkohol merupakan pelampiasan paling memuaskan hingga aku terjebak dan akhirnya vidio mesumku bersama seorang gadis yang tak ku kenal beredar ke mana-mana, yang mengakibatkan emosi ayah memuncak. Karena malu, gengsi dan egonya yang besar, ia melampiaskan kegeramannya tanpa mempedulikan keselamatan korban. Aku ingin menjelaskan kalau aku dijebak dalam vidio itu, aku tak pernah melakukan hal biadab itu, namun kuasa ayah sangat tinggi hingga tak akan ada waktu untuk melakukan pembelaan. 

Tidak terasa air mataku jatuh, mengenai pundak Geny.

“Kamu kangen ibu?” tanya Geny tiba-tiba.

“Aku nyesal kenapa ibu tak menceraikan saja lelaki sialan itu, kalau saja ibu melaksanakan itu dari dulu, ibu mungkin masih ada dan mungkin akan tertawa bersamaku saat ini,”

“Kalau seandainya ibu melakukan itu, kamu yang akan menderita, Riko.”

“Apa maksud kamu, geny?”

“Kalau ibu dan ayah kamu cerai, akan ada satu hal yang perlu diperjelas yaitu hak asuh anak. Ibu tahu ayahmu punya kuasa penuh, sehingga hak asuh anak akan jatuh ke tangannya, dan ketika itu terjadi, maka kamu yang akan menderita. Ibumu bisa saja cerai dan hidup dalam dunianya sendiri tanpa mempedulikan kamu dan ayahmu, namun ibumu sangat menyayangi kamu, Riko. Ia tak ingin kau menderita sehingga ia rela melakukan apapun agar kamu tak dilukai ayahmu sendiri walaupun kadang ia harus mengabaikanmu dan memilih melayani suaminya.”

Doorrr, sebuah peluru menancap dalam dadaku. Sesak.

“Apakah seperti itu, Geny? Apakah ibuku semulia itu? Akh, kemana saja aku hingga tak mampu membaca gurat-gurat derita dan pengorbanan wanita itu? Geny, apakah aku anak yang durhaka?”

“Ibumu sungguh mulia, Riko. Dia benci kamu menyalahkan diri terus, dia benci kamu sembunyi terus dalam kegelapan. Dia membela kamu bukan untuk bersembunyi, tapi untuk berjuang, menjadi orang yang berguna yang kelak membuatnya tersenyum di surga. Berhenti menyalahkan diri Riko dan berdamailah dengan hatimu, Ibumu tak ingin kamu seperti ini terus. Dia ingin kamu terlahir kembali, menjadi pribadi yang baru, yang mau hidup dalam damai, bukan dalam amarah dan dendam. Apakah kamu mau berubah? Apakah kamu siap terlahir kembali?”

“Aku siap Geny, sangat siap.”

“Bagus. Itu artinya kamu bukan anak yang durhaka, tapi anak yang berbakti. Buktikan!” 

Aku berjanji dalam hati bahwa aku akan jadi anak yang berbakti, anak yang mampu membuat ibu tersenyum di Surga sana, seperti kata Geny. 

“Ketika aku terlahir kembali, maukah kau berada di sampingku dan terus membelai rambutku seperti ini? Apakah kamu mau Geny?”

Geny tersenyum sambil mengangguk membuat dia terlihat makin cantik. Aku langsung merangkulnya lagi dengan erat, tulus, penuh cinta dan kasih sayang. Sekarang hatiku sudah semakin baik walaupun belum semuanya pulih. Butuh waktu untuk menghilangkan rasa dendam dan penyesalan yang telah terpupuk selama sebulan. Meskipun sampai sekarang aku tidak tahu kabar ayah, tapi aku berusaha untuk memaafkannya, walau bagaimanapun dia tetap ayah biologisku, seperti kata Geny.

 “Terima kasih Geny buat seberkas cahaya yang kau pancarkan dalam hidupku”.

Sabtu, 15 Februari 2014

Antara Aku, Kamu dan Dia



“Din, aku mencintai kamu, tapi aku tidak mungkin meninggalkan dia, kamu bisakan ngerti’in aku?”  Akhirnya kata-kata itu muncul juga.

Deeegggg… dooorrrr!!!! Sebuah peluru seperti mendarat tepat mengenai hati Dinda. Benar-benar tidak meleset. Kata-kata yang dia takutkan selama ini sekarang terdengar seperti sayatan huruf yang begitu kejam. Dinda tertunduk lesu. "Apa arti kehadiranku selama ini bagi dirinya?" pertanyaan itu tertahan di hatinya. Bibir terkatup. Pandangan hampa. "Masihkah aku berharga untuknya?" satu pertanyaan lagi. Siapakah yang akan menjawab? ombak di laut itu pun membisu.

“Din, aku sangat mencintai kamu, aku gak mau kehilangan kamu, please ngerti’in aku…”

Dinda tidak tega melihat muka memelas orang yang sangat disayanginya itu. Dengan susah payah ia menahan amarah, menarik napas dalam-dalam dan mencoba berbicara tenang,
“Aku ngerti’in kamu Ren, tapi aku gak bisa kayak gini terus, aku juga butuh kepastian, aku pengen sayang kamu utuh buat aku, gak setengah-setengah gini, aku beneran sayang banget sama kamu, aku bela-belain mutusin semua pacarku cuma buat jadian sama kamu, masak kamu gak bisa mutusin si Sella? Aku tahu dia sahabatku, tapi gak ada salahnya kan? Kita sama-sama cinta, dia harus bisa ngerti’in kita. Ayo Rendy, buruan sekarang kamu mutusin Sella. Please Ren, aku udah gak bisa kayak gini terus..” kata-kata itu mengalir saja dengan sendirinya, tanpa dia bisa hentikan lagi. Tangis pun sudah tak terbendung. Dinda seperti orang bodoh yang memohon pada patung bernyawa. 

“Iya.. iya… aku tahu kamu sayang sama aku.  Aku pun sayang banget sama kamu. Tapi aku juga sayang sama dia. Din, Sella itu cinta pertama aku, kamu tahu itu. Aku cinta sama dia, aku juga cinta sama kamu. Please ngerti’in aku. Ini demi kita Din, apa kamu gak takut kehilangan Sella kalau seandainya aku jujur tentang hubungan backstreet kita? Ingat Din, Sella itu sahabat terbaik kamu, apa kamu mau nyakitin dia? Aku sadar aku salah, aku gak bisa tegas dalam hubungan ini, tapi aku sangat mencintai kalian berdua, aku gak mau kehilangan kalian. Mending aku mati aja kalau harus kehilangan satu aja dari kalian berdua. Kamu mau bilang aku egois? Iya! Aku emang egois, tapi ini perasaan aku. Perasaan yang tak bisa aku kendalikan. Please ya, kamu ngerti’in aku. Aku janji, semua kasih sayang yang aku beri ke Sella akan aku berikan ke kamu juga. Aku akan memperlakukan kamu seperti aku memperlakukan Sella.”

“Sampai kapan kebohongan ini akan kita jalani, aku gak mau terus-terusan hidup dalam kebohongan. Aku gak bisa menepis perasaan aku setiap kali melihat kamu berduaan sama Sella. Sakit Ren, sakiiittt….”

Krriiinnggg…. Krrriiinngggg…. Hp Rendy berdering.. 

“Din, bentar ya, Sella telpon ni..” kata Rendy

“Halo sweety, telpon jam segini pasti lagi kangen ni..”

“Iya Beb, seharian gak ketemu jadi kangen banget ni, lagi dimana Beb, keluar yuk…”

“Sama Beb, aku juga kangen banget, tapi aku gak bisa keluar sama kamu, aku lagi temenin ibu ke rumah sakit.”

“Oh, ibu kamu kontrol lagi ya, hmm cepat sembuh ya buat ibu kamu..” 

“Iya Beb, nanti aku sampein..”

“Yaudah, hati-hati di situ ya, jaga ibu baik-baik loh.. aku mau bobo dulu.. bye.. bye.. honey, love you..” 

“Iya sweety, pasti bakal aku jaga ibu baik-baik. Met bobo ya.. love you too..”

Rendy datang mendekati Dinda setelah sambungan terputus. “Kamu nangis Din?” kaget Rendy dan langsung merangkul Dinda dengan hangat.

“Ren, aku gak kuat..” tangis Dinda dalam dekapan Rendy. “Aku mohon Ren, jangan kayak gini lagi. Please, putusin Sella..” belum sempat Rendy berbicara Hp Dinda bunyi. 

"Sella telpon. Gimana nih Ren”, panik Dinda ketika tahu siapa yang menelpon. 

“Udah kamu angkat aja telponnya, tenang Din..” kata Rendy sambil terus mendekap Dinda dengan erat.

“Halo?” 

“Din, keluar yuk, bete ni aku, Rendy lagi keluar sama ibunya. Mau bobo tapi mata melek mulu, gak bisa tidur, temenin aku keluar yuk, kemana aja deh yang penting keluar..” Kata Sella dengan harapan Dinda menyetujui ajakannya.

 “A…a.. aku.. akuuu..” mulut Dinda sepertinya berat untuk mengeluarkan kata-kata. 

“Din, kamu kenapa? Kok suara kamu kayak orang yang baru habis nangis gitu?” Tanya Sella karena mendengar suara Dinda yang tak seperti biasanya.

“I..iiyaaa ni, aku lagi nonton Titanic sama Dede, jadi kebawa suasana deh, maaf ya, orangtuaku lagi keluar jadi aku temenin Dede di rumah, tahu sendirikan adikku yang satu ini paling gak bisa ditinggal sendiri.” Jawab Dinda sekenanya berharap Sella percaya.

“Yaaa gak apa-apa lah… salam ya buat si kecil bawel, hehee ” balas Sella dan kemudian sambungan terputus.

“Ren… apa yang harus aku lakukan?” kata Dinda sambil menatap Rendy. 

“Udah Din, semuanya pasti akan baik-baik saja. Ayo aku mau lihat kamu tersenyum, senyum dong..” kata Rendy sambil menghapus air mata Dinda “aku sayang kamu,” bisik Rendy. 

“Aku juga sayang kamu” balas Dinda dengan senyum penuh ketulusan. Yang terlihat sangat manis. 

Dinda dan Rendy menikmati malam itu dengan perasaan terjaga. Karena walau bagaimanapun, mereka sadari bahwa hubungan backstreet mereka merupakan suatu hal yang fatal. 
Ditengah-tengah asyiknya mereka berduaan, tiba-tiba…

“Rendy…?!!” teriak Sella.

“Oh God… Sella? Kamu kok bisa..” kaget Rendy setengah teriak.

“Kenapa? Kaget? Mana ibu? Katanya di rumah sakit, kok malah berduaan sama cewek di sini? Siapa nih cewek?” marah Sella sambil menarik cewek yang lagi berduaan sama Rendy.

“Ya Tuhan… Dinda? Benar kamu Dinda? Oh no, apa yang sudah kalian lakukan. Din, jelasin sama aku, apa maksud ini semua? Rendy please…” Sella tidak bisa menahan tangisnya. Sedangkan Dinda dan Rendy mematung.

“Din, Ren, aku gak nyangka, kalian bisa khianati aku seperti ini, aku sudah salah mempercayai kalian berdua. Makasih untuk sakit hati ini. Aku pergi..” kata Sella hendak berlalu tapi langsung dicegat sama Rendy. 

“Beb, biar aku jelasin semuanya..” 

“Lepasin! Aku gak mau dengar apa-apa, yang aku lihat tadi cukup jadi penjelasan dari semua kebusukan kalian. Aku nyesal sudah pernah kenal dan cinta sama kamu. Mulai sekarang kita putus. Pergi sana sama si pengkianat (sambil menunjuk ke arah Dinda) kalian memang sangat cocok. Sama-sama munafik!” Kata Sella sambil melepaskan genggaman Rendy dan pergi dari tempat itu, tanpa mempedulikan panggilan Dinda dan juga Rendy. 

Sepeninggal Sella, Suasana mencekam. Sepi. Tak ada yang berani angkat bicara. 

Setelah lama berdiam, Rendy mulai bicara “Din, mau aku antar pulang?”

“Gak usah, aku naik taksi aja.” 

“Din, maafin aku ya..”

“Untuk apa?” jawab Dinda datar.

“Din, jangan cuekin aku dong, aku benar-benar minta maaf..”

“Kamu hanya bisa ngomong maaf, maaf aja trus, kapan kamu mau tegas sama diri kamu sendiri? Kamu pikir dengan kata maaf kamu itu bisa ngembali’in Sella? Egois kamu..” bentak Dinda kemudian pergi meninggalkan Rendy sendirian.

Malam yang tadinya surga buat Rendy kini menjelma jadi neraka yang begitu menyiksa hati, tubuh bahkan perasaan. Dia sendiri sekarang meratapi ketidakberdayaannya dalam urusan cinta. Sesaat dia merebahkan tubuh di tempat tidur kesayangannya, mencoba memejamkan mata dan berharap ketika bangun keesokan harinya, ini hanyalah sebuah mimpi, mimpi buruk yang harus ia hindari, dan dalam hitungan detik Rendy sudah tertidur beralaskan beban cinta segitiganya antara dia, Sella dan Dinda.  

Pagi harinya Rendy terbangun dari tidurnya, “mimpi buruk” gumamnya dan meraih handphone untuk menelpon Sella. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi .” Rendy mencoba lagi, tapi hanya jawaban itu yang ia dengar. Kemudian dia mencoba menelpon Dinda. Jawaban yang sama, handphone Dinda dimatikan juga. 

“Ada apa sih sama mereka berdua? Semalam itukan cuma mimpi, kok mereka beneran menghilang?” Rendy mencoba untuk menghindari kenyataan. 

Lama Rendy membungkam memandangi handphone-nya. Setetes demi setetes air matanya jatuh. Dia tidak bisa lari lagi dari kenyataan, dia tidak bisa hindari akan apa yang sudah terjadi pada hubungannya dengan Sella maupun Dinda. Sejauh apapun dia berlari, kenyataan akan selalu membuntutinya. Tetes demi tetes itu kini berubah menjadi tangis penyesalan yang mendalam. Sedih, kecewa, putus asa, dan rasa kangen kini bercampur jadi satu yang semakin menyiksa Rendy. Gelap. Hampa. Itu yang ia rasakan sekarang. Kembali dia merebahkan diri di atas ranjangnya. Hening. 

“Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” kata Rendy tiba-tiba, ia meraih jaket dan kunci motornya dan menghambur keluar. 10 menit kemudian, dia sudah sampai di depan kost Dinda. 

“Din, bisa keluar sebentar gak, aku mau ngomong,” Rendy menampar pintu kamar Dinda sambil terus berkata setengah berteriak menyuruh Dinda keluar. Namun tak satu pun yang menyahut. Dia mencoba menelpon, tapi HP masih di luar jangkauan. Rendy memandang sekelilingnya. Ia melihat seorang teman kost Dinda.

“Maaf mbak, si Dinda gak ada di kost ya?”

“Oh, Dinda tadi pagi-pagi benar dia sudah pergi mas, gak tahu kemana. Tapi dia bawa-bawa koper gitu,” jawab teman kost Dinda. 

Tanpa menunggu lama-lama lagi Rendy langsung berlari meninggalkan temas kost Dinda yang kebingungan. 

“Tuh orang, udah dikasih tahu, bukannya terima kasih malah kabur,” gumamnya sambil memandang Rendy yang menghilang dibalik gerbang halaman kost meraka. 

Rendy menuju ke puncak, dia tahu Dinda pasti ke sana, karena dia tahu Dinda punya Villa di puncak. Kurang lebih 2 jam Rendy sudah sampai di depan Villa Dinda namun tak ada tanda-tanda kalau Villa itu berpenghuni. Rendy memanggil-manggil nama Dinda namun hampa. Tidak ada yang menyahut. Dengan putus asa Rendy kembali ke motornya. Pikirannya benar-benar kacau saat ini.
Menemui Sella ke rumahnya sama saja bunuh diri, karena ini benar-benar adalah salah dia dan Dinda, maka dia harus menemukan Dinda untuk menyelesaikan masalah ini. Untuk sementara ia mengurung diri di kamar, merenungkan apa yang sudah terjadi terhadap dirinya. Dinda adalah sahabatnya dari kecil yang sangat dia sayangi dan mereka tak perna lepas, dimana ada Rendy pasti ada Dinda. Sedangkan Sella adalah cewek yang pertama kali membuat hatinya berbunga-bunga ketika awal ia menginjakkan kaki di kampus itu.   
 
Seminggu setelah kejadian malam itu, Rendy kembali menemui Dinda di rumahnya. Dinda sangat terkejut ketika tahu yang berdiri di depan pintunya saat ini. 

“Mau apa kamu kesini?” bentak Dinda hendak menutup pintu lagi.

“Sabar, sabar Din, aku mau ngomong. Din..!!!” teriak Rendy sambil terus mendorong pintu.

“Mau omong apa lagi? Belum puas kamu merusak semuanya? Kamu cowok brengsek. Aku gak mau melihat muka kamu lagi.” Dinda masih teriak penuh amarah.

“Din, dengar dulu. Ini bukan salah aku aja. Kamu jangan egois dong, jangan buat aku merasa bersalah terus. Aku sudah cukup menanggungnya selama seminggu. Aku gak bisa makan, gak bisa tidur dengan tenang hanya karena mikirin masalah ini. Aku lelah Din, capek dengan semua ini, kita berdua yang memulai ini, masak aku sendiri yang mengakhirinya. Jangan egois dong Din. Bantu aku menyelesaikan semuanya.” Teriakan Rendy lebih terdengar seperti kata-kata permohonan. Dia sangat berharap makhluk yang berdiri di hadapannya saat ini mau membantunya menyelesaikan masalah yang telah mereka ciptakan sendiri.

Dinda terdiam, gagang pintu yang ia genggam dengan kencang perlahan-lahan dilepasnya. Pintupun terbuka dengan sendirinya. Dinda yang juga lelah memikirkan masalah yang sama mendadak lemas, lututnya menjadi kaku dan tanpa sadar ia terjatuh dengan lutut bertekuk diiringi tetesan air mata yang jatuh mengenai pipi tembemnya. Rasa bersalah yang ia rasakan sebenarnya merupakan duri yang melilit di hatinya semenjak malam itu. Semenjak Sella sahabat terbaik yang sangat disayanginya mengetahui semua kemunafikan mereka. Ia ingin mengutuki dirinya sendiri. Cinta benar-benar telah membuatnya buta. Ia berharap, kalau saja waktu bisa diputar kembali, ia tidak akan melakukan kebohohan ini. Ia akan menjaga sahabat baiknya itu. “Maafin aku Sel..” katanya pelan hingga hampir tak terdengar.

Rendy langsung meraih lengan Dinda dan memapanya menuju tempat duduk di ruang tamu. Sesaat Rendy berusaha menenangkan Dinda. Dia sangat tahu hancurnya perasaan Dinda saat ini, karena ia rasakan perasaan yang sama. Perasaan bersalahlah yang membuat mereka merasa jadi orang paling jahat se-jagat. Sella adalah sosok yang sangat baik dan sangat mempercayai mereka berdua karena ia sudah tahu mereka sahabatan dari kecil. Namun Rendy sadar, keserakahannyalah yang membuat semua ini berantakan. Dia merasa bersalah terhadap sahabat dan juga kepada orang yang sangat dicintainya. Ia sadar, ternyata rasa cinta dan sayangnya terhadap Dinda adalah rasa cinta seorang abang terhadap adiknya. Karena ia terlanjur tergantung pada Dinda, sejak kecil Dindalah yang selalu menemaninya kemanapun. Dia tidak pernah melakukan satu pekerjaan tanpa Dinda. Karena itulah Rendy tak bisa menjauh dari Dinda. Ketergantunganya terhadap perlakuan Dinda membuat dia merasa tak ingin lepas dari Dinda dan perasaan itu ia artikan sebagai cinta, karena perasaan yang samapun ia rasakan terhadap Sella. Gadis blasteran manado-philipina, yang sudah menjadi sahabat terbaik Dinda dan juga kekasih terbaiknya. 

“Din, aku mau ini segera berakhir, aku juga sakit memikirkan semuanya.” Bisik Rendy setelah Dinda merasa sedikit tenang.

“Sumpah Ren, aku benar-benar merasa seperti orang paling jahat. Aku seperti ingin mati saja,” kata Dinda lirih.

“Din, kamu gak sendirian. Ada aku di sini. Aku juga sempat berpikir begitu. Tapi coba kamu pikir lagi, apa dengan mengakhiri hidup semua akan baik-baik saja? Semua akan tambah kacau Din, please jangan putus asa ya. Kita yang memulai ini, maka kita harus berani menyelesaikannya. Apapun konsekuensinya. Kita coba menemui Sella dulu. Kita bicarakan ini baik-baik, kita gak boleh nyerah. Kamu harus kuat ya.” Kata Rendy sambil menggenggam jemari Dinda. 

“Tapi aku itu sahabat yang tak berguna Ren, aku telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Aku mengkhianati dia, aku jahat Ren, JAHAT!” teriak Dinda memukul dirinya sendiri.

“Din, ini bukan salah kamu. Seharus kamu tidak boleh menyakiti diri kamu sendiri, kalau mau, pukul aku. Pukul aku Din, aku yang menyebabkan semua ini. Aku yang serakah, aku sebenarnya yang jahat Din, kalian berdua korban keserakahanku, bunuh aku saja Din,” Rendy meraih tangan Dinda dan menghempas ke tubuhnya, namun Dinda lemas dan tak punya tenaga untuk memukul. Dinda kembali tertunduk lesu. 

“Ini salahku, bantu aku menyelesaikan semuanya,” bisik Rendy lirih.

Suasana Hening, Dinda masih memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk berdamai kembali dengan sahabatnya itu. Rendy pun demikian, dia ingin segera menemui Sella dan berharap Sella mau memaafkan mereka berdua. 

“Ren, kita harus ke rumah Sella sekarang,” kata Dinda.

Sesungguhnya kata-kata itu yang ditunggu-tunggu Rendy dari tadi. Tanpa berlama-lama mereka langsung ke rumah Sella. Beberapa menit kemudian mereka tiba di rumah Sella.

“Kak, Sellanya ada?” Tanya Dinda saat Keny kakak Sella membuka pintu.

“Ada di kamar tuh, langsung aja.” Jawab Keny sambil mempersilahkan mereka masuk. 

Dinda masih ragu untuk melangkahkan kaki ke kamar Sella. Entah ada yang menahan kakinya hingga terasa berat untuk melangkah. 

“Dek masuk aja gak apa-apa, bilang aja kemarin kalian gak datang karena sibuk, pasti Sella ngerti kok,” kata Keny lagi melihat keragu-raguan dimata Dinda.

Dinda bingung mendengar pernyataan Keny barusan. “Maksudnya? Apa hubungannnya? “ Dinda menoleh ke Rendy minta pejelasan.

“Maaf kak, kemarin kami gak ada janjian kok mau ke sini.” Kata Rendy polos.

“Loh, kemarin Sella nanyain apa kamu sama Dinda datang nyariin dia atau enggak. Dia duduk sendirian di teras menunggu kalian. Dia sampai ngambek gak makan loh karena kalian gak datang-datang, emang kalian ada masalah apa?” Tanya Keny melihat adanya yang beda diantara adiknya, Rendy dan Dinda. 

“Jadi?” Dinda langsung menghambur ke kamar Sella tanpa mempedulikan pertanyaan Keny. Rendy buru-buru menyusul. Tinggal Keny yang kebingungan memikirkan apa kelanjutan dari kata “jadi” yang diucapkan Dinda barusan.  

Diam-diam Keny membuntuti mereka.

“Sel, kamu di dalam?” Tanya Dinda begitu sampai di depan pintu kamar Sella. 

Tidak lama kemudian pintu di buka, “Din, aku kangen kamu..” teriak Sella dan langsung memeluk Dinda. Dinda mendadak kaku dengan perlakuan Sella. Rendy yang menyaksikan ikut mematung. 

“Kamu kemana aja sih, aku kesepian Din, kamu kok ngilangnya lama banget. Aku kangen tahu!” Sella malah menangis sambil memeluk Dinda makin erat. 

Dinda kehabisan kata-kata. Begitupun Rendy. Yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Yang mereka bayangkan, saat mereka datang Sella akan mengusir dan memarahi mereka habis-habisan dan pasti Sella tidak mau mengenal mereka lagi, sehingga mereka sudah menyiapkan kata-kata penyesalan yang baik demi mendapat maaf dari Sella. Namun yang terjadi saat ini membuat mulut mereka bungkam. Satu kata pun terasa berat untuk di ucapkan. Mereka seperti  berada di kutub utara. Tubuh mereka mendadak beku. Apakah ini mimpi? 

“Maafin keegoisan aku selama ini ya, padahal aku tahu kalian berdua sahabat dekat dari kecil. Masih saja aku mencurigai kalian. Aku terlalu sayang sama kalian hingga aku tak bisa lama-lama jauh dari kalian. Kalian masih mau nerima aku kan?”

Sekali lagi kata-kata Sella menusuk kalbu dua sosok yang membeku di depannya. Sella begitu polos dan penuh cinta kasih. Rasa sayangnya pada sahabat dan kekasih hatinya membutakan matanya untuk melihat lebih dalam sorot mata dua orang sahabat itu. Wajar bagi Sella jika dua orang itu saling membutuhkan mengingat persahabatan mereka yang sangat dekat mulai dari kecil sampai sekarang kuliah di kampus yang sama pula. 

“Sel, aku boleh jujur gak?” Rendy mulai angkat bicara setelah lama bungkam. 

Dinda menoleh ke arah Rendy. Dia penasaran apa yang akan dikatakan Rendy. 

“Jujur apa? Ngomong aja Ren,” sahut Sella. 

“Ngg.. sebelumnya aku mau minta maaf. Aku mau jujur sama kamu tentang semua yang terjadi selama ini. Kamu terlalu polos untuk dibohongi. Aku baru sadar kalau selama ini aku pacaran dengan seorang malaikat. Aku terlalu bodoh mengkhianati kepercayaan yang kamu berikan. Ini semua salah aku. Kamu gak salah kok, aku yang yang salah, aku yang mengkhianati kamu. Aku sama Dinda..” Rendy tidak berani melanjutkan. Dia dapat merasakan betapa sakitnya kalau sampai ia mengatakan hubungannya dengan Dinda. 

“Ren, kamu baik-baik saja?” Sella menghampiri Rendy yang berkaca-kaca dengan raut muka penuh penyesalan. 

“Kalian boleh membenci aku. Jujur aku sungguh malu terutama sama kamu Sel, tapi satu hal yang harus kamu tahu. Aku sangat mencintai kamu. Aku baru sadar ternyata rasa sayangku pada Dinda dan rasa sayangku pada kamu itu beda. Aku terlalu naif  hingga tak mampu membedakannya. Jujur aku tak mau kehilangan kalian berdua. Maafin aku kalau sudah menyakitin kalian. Sel, kalau mau marah, jangan marah sama Dinda, dia gak salah. Ini salah aku. Semua salah aku Sel, salah aku.” Rendy lemas dan tersungkur. 
Air matanya terus mengalir. Dia benar-benar tak dapat menguasai dirinya. Ia sadar kalau ia lemah dalam urusan cinta. kehilangan Sella merupakan satu-satunya hal yang paling dia takutkan. Dengan pengakuannya tadi, dia sudah yakin Sella tidak akan menerima dia lagi untuk jadi pacarnya. Apapun konsekuensinya, dia belum siap. Dia belum siap kehilangan Sella. 

“Sel, maafin aku, jujur aku masih sangat mencintai kamu. I always love you, everytime.. aku nyesal udah nyakitin kamu. Tolong kasih aku kesempatan..” Rendy kembali memohon sambil meraih tangan Sella yang membungkam. 

“Sel, Rendy emang sangat mencintai kamu, tolong kasih dia kesempatan ya, aku gak mau karena masalah ini, kalian jadi gak pacaran lagi. Kamu pernah bilang kalau kamu sangat mencintai Rendykan? Please, kasih kami kesempatan. Aku akan berusaha jadi sahabat terbaik kamu, dan Rendy akan jadi kekasih terbaik kamu. Please Sel..” kata Dinda sambil mendekati Sella.

Sella menarik napas panjang dan menghembusnya pelan-pelan. “Iya deh, jujur aku tersentak mendengar pengakuan kalian tadi, tapi semua orang pernah salah, sebagai manusia biasa kadang kita pernah lengah juga. Jadi, aku memaafkan kalian. Aku juga gak mau karena masalah ini, kita jadi musuhan. Tuhan tidak pernah mempertemukan kita untuk bermusuhan, tapi Tuhan mempertemukan kita untuk saling menyayangi. Aku kasih kalian kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” Kata Sella sambil tersenyum terharu. 

“Makasih honey, aku senang banget, aku janji akan menjadi pacar yang baik. Aku akan mempergunakan kesempatan ini baik-baik. Thanks hon, love you..” kata Rendy sambil memeluk Sella yang membalasnya dengan “love you too.”

“Makasih banyak Sel, kamu emang sahabat terbaikku,” Dinda pun langsung mendekap sahabatnya itu. Ada perasaan legah dan bahagia melihat kemesrahan dua orang sahabatnya itu. 

Mereka bertiga berpelukan. Keny, kakak Sella yang dari tadi nguping pembicaraan mereka tampak menangis terharu. “Indahnya memaafkan itu” gumamnya dalam hati.
 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design