Minggu, 23 Februari 2014

Seberkas Cahaya Untuk Riko


Dipekatnya malam, aku duduk bertemankan sepi. Lampu di kamar ku biarkan mati. Suasana ini yang aku cari. Gelap. Tak ada yang bisa dilakukan dalam pekat seperti ini. Bahkan cicak di dinding yang kebetulan lewat mugkin tak akan sadar kalau ada orang dalam kamar ini, cahaya matanya saja tidak dapat menangkap kehadiranku. Karena memang ini yang aku cari. Aku tak ingin terlihat oleh siapapun. Siapapun, tak terkecuali semut dan kecoa yang sudah menjadi penghuni tetap kamarku. Bahkan aku sendiri tak sudi melihat diriku sendiri. 

“Kau bikin malu keluarga, dasar anak tidak tahu diuntung! Praakk!” sebuah tamparan keras melayang di pipi kiriku.

“Tenang pak, tenang..,” Ibu berusaha membelaku, menahan tangan ayah.

“Kamu tak perlu membela anak tak tahu diri ini. Karena kelakuan bejatnya, harga diriku di kantor jadi turun. Minggir jangan halangi aku!!” 

Akibat emosi yang tak terbendung, ayah mendorong ibu dengan keras hingga ibu terjatuh dan kepalanya terbentur meja dengan sangat keras dan akhirnya terhuyung dengan lemas di lantai. Ayah tak peduli, ia terus meneror aku yang tampak syok melihat kondisi ibu. Aku ingin berlari menghampiri ibu, namun tinju ayah yang kuat, lebih cepat mendarat diperut dan mukaku. Aku pun terkulai, lemah. Darah dari mulut mulai mengalir. Puas sudah ayah melampiaskan kebenciannya. Air mataku satu per satu jatuh. Hatiku sakit, sakit ditusuk rasa bersalah yang mendalam. Luka lebam di wajah dan badan tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan hatiku. 

Serpihan-serpihan keping hatiku mulai retak dan berjatuhan disekelilingku saat aku melihat wanita itu masih menatapku dengan senyum yang sangat tulus. Tidak ada kebencian di sana. Sama sekali tidak ada. Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggerakkan mulutnya. Susah! Dia berusaha, terus terusaha hingga aku mendengar dia memanggil namaku. “Riko, kemari nak..” Sangat pelan, namun masih bisa ditangkap oleh telingaku.

Dalam ketidakberdayaan aku berusaha bangun. Dia saja masih bisa bertahan, masih kuat memanggil anaknya. Maka, aku juga harus bisa. Aku harus mampu menggapai tangan itu, tangan yang sudah berkorban demi anak durhaka seperti diriku. Aku tak kuat untuk bangun, rupanya ayah memukul sangat keras hingga aku benar-benar tak bisa memaksa badanku untuk berdiri. Aku menyerah. Ku padangi wajah itu sekali lagi, dia masih menatapku. Darah yang mengalir mengenai wajahnya tak ia pedulikan, ia terus memandangiku. Sakit. Bertambah rasa sakit di hatiku. Aku sakit melihat darah itu harus mengalir di wajah wanita tak berdosa ini, dan lebih sakit lagi ketika aku hanya bisa melihat dan tak mampu menghapus darah itu dari wajahnya. Sungguh, sakitnya bukan main. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku benar-benar payah. Tak berguna. 

Aku melihat sekeliling, sepi. Lelaki idiot itu sudah pergi. Ya, idiot. Suami macam apa yang tega menyiksa istrinya seperti ini. Wajar kalau ia membenci dan memukulku, bahkan membunuhku pun itu wajar, karena aku telah membuatnya malu. Tapi wanita itu tidak. Dia tidak melakukan kesalahan apapun. Dia hanya mencoba menenangkan lelaki itu agar bisa bicara dengan tenang. Dalam hati aku terus mengutuki lelaki yang tak punya hati itu. Aku benar-benar menyesal harus terlahir dari ayah macam dia. Jujur, aku sangat menyesal. 

Aku kembali menatap nanar wajah ibu, senyum itu masih merekah. Senyum itu membuatku tersadar, “aku tak boleh menyerah” pikirku. Aku memaksakan diri untuk merayap, walau tak kuat merangkul dan menghapus darah di wajahnya, mungkin aku bisa menggenggam tangannya, memberi dia kekutan walau aku sendiri nampaknya sudah tak kuat, walau sebenarnya aku yang butuh kekuatan. Apapun alasannya, aku hanya ingin menggapai tangan itu, tangan yang sudah terulur dari tadi. Lengan menjadi pengganti kaki, aku terus merayap seperti seekor ulat walau tak sempurna. Dengan terus berusaha hingga akhirnya aku bisa menyentuh ujung jari ibu. 

“Kamu berhasil, nak..” kata ibu lagi, nyaris tak terdengar.

“Aaa.. aku akan menolong ibu,” seruku dengan lirih sambil berusaha meraih jari ibu.

“Terima kasih, tapi tak perlu nak, ibu sudah tak kuat lagi, ibu.. uhuukk.. uhuukk…” 

Aku makin syok, apa arti kata-kata ibu barusan. Aku panik mendengar suara batuk ibu yang mulai melemah.

“Ibu,,, ibuuuu….” Teriakku berusaha mendekat. 

kurasakan genggaman erat tangan ibu, ia kembali menatapku dan berucap dalam senyum yang ia paksakan. 

“Ibu sayang kamu, Riko..” 

Aku terisak. Aku terus memanggil nama ibu, aku terus menggenggam jari ibu yang semakin melemah, terus melemah hingga terasa dingin. Matanya tak lagi menatapku, matanya telah terpejam, ibu telah tidur. Tidur untuk selamanya.

“Arrggghhh!!!!” 

Teriakku dalam kepekatan kamar. Memori itu tersimpan rapi dalam benakku, dan selalu berputar kapanpun dia mau. Aku benci lelaki itu. Bahkan aku tak sudi menyebutnya ayah. Dia telah membunuh ibu, dia tak pantas menjadi ayah dan juga suami, dia pembunuh. Mafia yang harus dimusnakan dari bumi, yang bahkan tak punya tempat di akherat. 

Sebulan sudah kepergian ibu dan aku masih mendekam dalam kamar ini. Aku benci melihat siang, aku benci pada cahaya. Entah apa wujud cahaya dan matahari aku sudah lupa, yang aku ingat sampai saat ini aku masih membenci diriku sendiri. Dalam kegelapan seperti ini aku tak akan pernah bisa melihat wujudku, dan aku merasa lebih baik seperti ini. 

“Riko, mau berapa lama kamu mendekam terus dalam kamar?” 

Suara itu terdengar lagi. Sebulan sudah, ia datang dan mengucapkan kalimat itu berkali-kali, apa ia tak bosan? Aku diam, pura-pura tak mendengar.

“Riko, aku tahu kamu mendengarku. Bolehkah aku masuk?” 

“Pergi kamu!!” 

“Riko, apa enaknya hidup dalam kegelapan? Hampa.”

“Pergiii..!!!”

“Riko kamu tak harus menghukum dirimu seperti ini. Dendam dan rasa bersalah yang berlebihan hanya akan menyiksa diri,” 

“Jangan sok menasihati aku. Tahu apa kamu tentang hidup, melihat dunia saja kamu tidak bisa.”

Geny, tetangga dan temanku waktu kecil. Keluargaku dan keluarganya sangat dekat karena ayah kami bekerja di perusahan yang sama. Tapi aku tak pernah menganggapnya ada karena dia itu buta. Apa yang bisa dilakukan orang buta? Tidak ada. Bisanya hanya merepotkan orang, bahkan cenderung bergantung pada orang. Aku pernah melihat dia kesulitan mencari boneka yang jatuh dari pangkuannya, dia meraba-raba dan mencari-cari. Melihat itu aku tertawa sinis, dia bahkan tidak tahu kalau boneka yang dicarinya sudah ada ditanganku. Aku pernah memberinya kodok ketika ia meminta tongkatnya. Aku juga pernah membawanya ke depan rumahnya Pak Gandong yang mempunyai seekor herder yang sangat galak, ketika ibu menyuruku mengantarkan dia pulang ke rumahnya usai pesta ulang tahun. Aku beri dia air garam saat dia minta minum, aku tertawa saat dia menangis meminta barang mainannya yang aku rampas. 

“Riko, kamu tahu, ada penglihatan yang lebih tajam dari mata dan ada pula pendengaran yang lebih pekah dari telinga.” 

Aku tersentak mendengar kata-kata itu. Aku terbangun dari lamunan masa kecilku. Siapa yang mengucapkan kata-kata barusan? 

“Apa yang kau katakan?” 

“Aku berbicara tentang hati, Riko. Aku memang buta, tapi dengan hati aku bisa melihat dan merasakan luka yang kau alami. Itulah mengapa aku terus ke sini selama sebulan, karena hatiku mampu melihat dan mendengar deruh dendam dan penyesalan dalam dadamu.”

Aku terpaku seribu bahasa dalam kagum yang tak berujung, pada seorang Geny yang ku pandang sebelah mata selama ini. 

“Sampai kapan kamu bersembunyi dalam gelap, Riko?” 

Ia kembali mencambukku dengan pertanyaan itu. Namun kali ini aku merasakan cambukkannya melemah, bukan lemah, tapi lembut, sangat lembut dan tulus.

“Tak usah kau mencampuri urusanku, ini hidupku. Tinggalkan aku sendiri!!” 

“Tapi kau tak hidup sendiri di dunia ini, dan kau tak akan pernah hidup sendiri.”

“Tak ada yang peduli dengan hidupku, Geny. Bahkan satu-satunya orang yang peduli pada hidupku sudah aku bunuh. Maka, biarlah gelap ini membunuhku juga,”

“Berhenti menyalahkan diri atas kematian ibumu, itu takdir Riko.”

“Aku gak percaya takdir, Geny”

“Mulai sekarang kamu harus mempercayainya. Riko, Hanya seorang pengecut yang berlari dan bersembunyi dalam gelap,”

Aku terdiam mendengar perkataan Geny. Kali ini cambukkannya tepat mengenai hatiku hingga gemuruh dalam dadaku bergejolak sangat cepat. Lututku lemas, mulut terkatup. ‘Pengecut’ kata itu berhasil membunuhku.

“Riko, selama 21 tahun aku hidup dalam kegelapan, itulah mengapa aku tahu bahwa hidup dalam kegelapan itu tidak membuat kita bahagia, tidak sama sekali.”

“Tapi terang juga tak mampu membuat aku bahagia, Geny. Ia membuat berantakan hidupku.”

“Bukan masalah terang dan gelapnya, Riko. Sudahkah kau berdamai dengan hatimu? Sudahkah kau mensyukuri sebuah nafas yang kau rasakan setiap bangun pagi? Sudahkah itu kau lakukan?”

“Untuk apa aku lakukan? Memangnya ia akan merubah hidupku? Kau tentu sudah melakukannyakan? Kenapa kau masih saja buta? Kenapa tidak ada yang berubah?”

“Iya Riko, aku sudah melakukannya dan aku merasakan perubahan dalam hidupku. Perubahan itu tak harus dilihat semua orang Riko, cukup kita yang merasakan. Saat kau telah berdamai dengan hatimu, maka kau akan merasakan perubahan itu. Lihat aku, sekarang aku lebih bisa menerima keadaanku yang seperti ini dan aku mensyukuri setiap kekurangan yang aku miliki. Dibalik kekuranganku, aku punya kelebihan yang orang normal seperti kamu tak bisa lakukan. Kamu mau tahu apa itu, Riko?”

“Apa Geny?”

“Buka hati kamu, dan dengarkan,”

Aku mendengar suara petikan gitar. Salah satu alat musik yang paling aku suka. Sayang, sampai sekarang aku tidak bisa memainkan alat itu. Tapi Geny, dia bisa melakukannya. Dengar, petikannya sangat indah, sungguh lebih dari indah. Benarkah dia yang melakukan ini? diakan buta, bagaimana mungkin ia bermain sebaik ini dengan mata yang tak bisa melihat kunci-kuncinya? Dengar, ia mulai bernyanyi. Suaranya indah, merdu, tenang dan menghipnotis ragaku. Aku terdiam mendengar lagu itu, You Are Love’d yang dipopulerkan Josh Gorban

Don't give up It's just the hurt that you hide
When you lost inside I...I will be there to find you
Don't give up Because you want to burn bright
If darkness blinds you I...I will shine to guide you

Mataku mulai berkaca-kaca. 

Everybody wants to be understood Well I can hear you
Everybody wants to be loved Don't give up
Because you are loved

Lagu ini berhasil menyentuh sekaligus membuka mata hatiku. Hati yang gelap, penuh dengan dendam dan amarah juga penyesalan dan kebencian pada diri sendiri. Aku terhenyak, seperti luruh dalam riak pesona yang mengulum debar tanpa mampu memaparkan logika di kepala. Aku mulai terisak, marah, kecewa dan mengutuki diri yang nyaris tak mampu lagi menggenggam apa yang telah menjadi pijakan pada barisan waktu yang telah terulur panjang di belakang. 

You are loved Don't give up
It's just the weight of the world
Don't give up Every one is to be heard
You are loved

Dengan tertatih, perlahan-lahan aku meraih kunci yang masih bertengger di engsel pintu. Ku putar dua kali dan kubiarkan terbuka. Aku terpaku memandangi gadis cantik dengan jari yang indah sedang duduk manis memainkan gitar di depan kamarku. Sadarkah dia bahwa aku sekarang sudah di depannya? Sedang mengagumi kehebatannya? Tidak, dia tak menyadari kehadiranku, dia sedang terbuai dalam permainannya demi menghibur hatiku. Tanpa berkedip, aku terus menatap kagum sosok indah di hadapanku. Dia persis seperti malaikat, aku benar-benar mengaguminya sekarang. Sebulan aku tak melihatnya, sekarang ia nampak berbeda. Dia tidak terlihat cacat sedikitpun, aku yang merasa cacat saat ini. 

“Aku senang kamu akhirnya mau keluar.” 

Aku terhipnotis mengaguminya hingga tak sadar bahwa ia telah selesai berdendang, dan sungguh ajaib, dia bisa merasakan kehadiranku di sini. Ternyata benar, hatinya lebih tajam daripada mata.

“Geny, vidio itu bukan…”

“Sssttt, aku sudah tahu yang sebenarnya. Marko kan pelakunya?”

“Kamu tahu darimana, Geny?”

“Panjang ceritanya, yang jelas kami semua sudah tahu bahwa kamu dijebak dan vidio itu hasil rekayasa Marko karena ia ingin menjatuhkan kamu dan keluargamu. Ayahnya dipecat oleh ayahmu dari perusahaan, sehingga ia dendam pada ayahmu dan kamu yang menjadi korbannya. Aku sudah berbicara pada pihak kepolisian untuk menghapus vidio itu dari semua jejaring yang sudah mengunduh vidio tersebut. Kata ayah, seminggu setelah penangkapan Marko, vidio itu sudah tidak terlihat di internet.”

“Geny, kamukah yang melakukan ini semua? Untuk apa?”

“Kamu tahu arti teman, Riko? Atas dasar itulah aku melakukan ini. Bukan saja teman, kaupun sudah aku anggap bagian dari keluargaku.”
Aku langsung merangkul Geny, merangkulnya sangat erat. Kata-katanya membuat damai hatiku. Dalam dekapannya aku merasa nyaman, tenang. Dia ikut mendekapku, jarinya yang indah membelai lembut rambutku. Sungguh aku merasakan kasih sayang yang luar biasa. Aku ingat, terkahir kali aku diperlakukan seperti ini oleh ibu waktu aku kelas 6 SD, sejak itu aku tak pernah lagi mendapat perlakuan itu, karena sikap ayah yang tiba-tiba berubah, status ibu yang adalah istri berganti menjadi budak ayah. Aku diterlantarkan, masuk SMA aku mulai belajar jadi pemberontak, minuman beralkohol dan rokok adalah surga duniaku. Aku benci kedua orang tuaku. Aku benci ayah yang sibuk dengan kerjanya hingga lupa kalau ia mempunyai anak dan istri. Aku juga benci pada ibu, karena ia tak punya keberanian menolak keinginan dan perlakuan kasar ayah. “hanya ini satu-satunya cara mempertahankan pernikahan” begitu jawabannya ketika Ibu Geny menyarankan untuk bercerai saja dengan lelaki itu. Aku tidak punya tempat berlari ketika saat itu, dan alkohol merupakan pelampiasan paling memuaskan hingga aku terjebak dan akhirnya vidio mesumku bersama seorang gadis yang tak ku kenal beredar ke mana-mana, yang mengakibatkan emosi ayah memuncak. Karena malu, gengsi dan egonya yang besar, ia melampiaskan kegeramannya tanpa mempedulikan keselamatan korban. Aku ingin menjelaskan kalau aku dijebak dalam vidio itu, aku tak pernah melakukan hal biadab itu, namun kuasa ayah sangat tinggi hingga tak akan ada waktu untuk melakukan pembelaan. 

Tidak terasa air mataku jatuh, mengenai pundak Geny.

“Kamu kangen ibu?” tanya Geny tiba-tiba.

“Aku nyesal kenapa ibu tak menceraikan saja lelaki sialan itu, kalau saja ibu melaksanakan itu dari dulu, ibu mungkin masih ada dan mungkin akan tertawa bersamaku saat ini,”

“Kalau seandainya ibu melakukan itu, kamu yang akan menderita, Riko.”

“Apa maksud kamu, geny?”

“Kalau ibu dan ayah kamu cerai, akan ada satu hal yang perlu diperjelas yaitu hak asuh anak. Ibu tahu ayahmu punya kuasa penuh, sehingga hak asuh anak akan jatuh ke tangannya, dan ketika itu terjadi, maka kamu yang akan menderita. Ibumu bisa saja cerai dan hidup dalam dunianya sendiri tanpa mempedulikan kamu dan ayahmu, namun ibumu sangat menyayangi kamu, Riko. Ia tak ingin kau menderita sehingga ia rela melakukan apapun agar kamu tak dilukai ayahmu sendiri walaupun kadang ia harus mengabaikanmu dan memilih melayani suaminya.”

Doorrr, sebuah peluru menancap dalam dadaku. Sesak.

“Apakah seperti itu, Geny? Apakah ibuku semulia itu? Akh, kemana saja aku hingga tak mampu membaca gurat-gurat derita dan pengorbanan wanita itu? Geny, apakah aku anak yang durhaka?”

“Ibumu sungguh mulia, Riko. Dia benci kamu menyalahkan diri terus, dia benci kamu sembunyi terus dalam kegelapan. Dia membela kamu bukan untuk bersembunyi, tapi untuk berjuang, menjadi orang yang berguna yang kelak membuatnya tersenyum di surga. Berhenti menyalahkan diri Riko dan berdamailah dengan hatimu, Ibumu tak ingin kamu seperti ini terus. Dia ingin kamu terlahir kembali, menjadi pribadi yang baru, yang mau hidup dalam damai, bukan dalam amarah dan dendam. Apakah kamu mau berubah? Apakah kamu siap terlahir kembali?”

“Aku siap Geny, sangat siap.”

“Bagus. Itu artinya kamu bukan anak yang durhaka, tapi anak yang berbakti. Buktikan!” 

Aku berjanji dalam hati bahwa aku akan jadi anak yang berbakti, anak yang mampu membuat ibu tersenyum di Surga sana, seperti kata Geny. 

“Ketika aku terlahir kembali, maukah kau berada di sampingku dan terus membelai rambutku seperti ini? Apakah kamu mau Geny?”

Geny tersenyum sambil mengangguk membuat dia terlihat makin cantik. Aku langsung merangkulnya lagi dengan erat, tulus, penuh cinta dan kasih sayang. Sekarang hatiku sudah semakin baik walaupun belum semuanya pulih. Butuh waktu untuk menghilangkan rasa dendam dan penyesalan yang telah terpupuk selama sebulan. Meskipun sampai sekarang aku tidak tahu kabar ayah, tapi aku berusaha untuk memaafkannya, walau bagaimanapun dia tetap ayah biologisku, seperti kata Geny.

 “Terima kasih Geny buat seberkas cahaya yang kau pancarkan dalam hidupku”.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design