“Apa kau bahagia?” akhirnya dia memecah kesunyian yang
sudah merambati kami selama lima belas menit.
Aku
menarik napas dalam-dalam, mengatur detak jantung yang sedang berlomba sedari
tadi.
“Apa
kabarmu?” malah pertanyaan itu yang berhasil keluar dari mulutku.
“Haha, sejak kapan kau
membalas pertanyaan dengan pertanyaan?”
Dan
dengar saja, dia tertawa. Apa yang membuatnya lucu?
Aku
meraih secangkir Mocchalacino, minuman favoritku setiap kali ke caffe ini, yang
selalu bertengger indah dalam piring kecil berwarna putih dengan sebuah oreo di
sampingnya, berdiri dengan kokoh di atas meja cokelat tanpa hiasan. Aku meneguk
sedikit sembari memberi ruang untuk hatiku yang sedang sekarat dilanda rindu.
“Bahkan
aku masih bisa merasakan rindu yang tak tersampaikan dibalik diammu itu”
“Omong
kosong apa lagi yang ingin kau katakan?”
“Berhentilah
berpura-pura, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri,” dia menatapku sangat
dalam seperti sedang mencari pembenaran.
Tatapannya.
Ah, aku terhempas lagi dalam perasaan ini. seperti helaan napasku
sebelum-sebelumnya. Seperti merona merah wajahku sebelum-sebelumnya. Kata-kata
indah itu membuatku tak bisa mengendalikan diri. Aku terlalu mudah ditebak
olehnya. Gampang terbaca olehnya yang begitu sempurna di mataku.
“Apa
pedulimu padaku? Kau menghilang dua tahun, dan sekarang tiba-tiba kau
mengajakku ke sini. Permainan apalagi yang sedang kau tunjukkan padaku?”
“Aku
sangat peduli padamu, Kettie. Dua tahun berlalu tanpamu rasanya setengah
hidupku sudah mati.”
“Dua
tahun kau menghilang dan sekarang kau
datang dengan bualan- bualan konyolmu itu? Apa kau pikir aku akan
percaya begitu saja?”
“Aku
paham kalau kau menganggapku sedang membual” jawabnya tajam.
Hatiku
panas. Mungkin api yang membara sedari tadi sudah meledak, menggerogoti seluruh
ruang di hatiku. Pikiranku melayang kembali pada dua tahun silam. Hari disaat
dia memintaku untuk memutuskan hubungan ini.
Dia
datang malam itu, menembus hujan yang sangat deras. Memintaku untuk tidak lagi
menemuinya. Memintaku untuk melupakannya. Dengan satu alasan yang membuat
hatiku hancur berkeping-keping. “aku tidak mencintaimu lagi” alasan itu yang
membuatku membencinya, membuatku mengutuki hari di mana dia menyatakan cintanya
padaku. Membuatku muak dan bosan dengan hidupku.
Dua
tahun berlalu, rasa benciku berkurang dan akal sehatku mulai berjalan. Rasa
rindu dan sayang yang besar juga mengalahkan kebencian itu. Aku sangat mengenal
dia, akupun yakin dia benar-benar mencintaiku, tidak segampang itu dia datang
dan menyatakan bahwa dia tidak mencintaiku lagi. Mungkin ada yang salah. Aku
ingin mengetahui alasan yang sebenarnya.
Aku
menunggu, terus menunggu hingga semalam dia tiba-tiba menghubungiku dan
mengajakku bertemu di caffe ini. Caffe favorit kami berdua. Kenangan itu
mengalir begitu saja tanpa bisa aku hentikan. Dia yang begitu menyukai hujan
dan sangat membenci matahari. Dia yang selalu mengeluarkan candaan-candaan
konyol dan garing. Dia yang begitu mencintai musik. MP3nya hanya dipenuhi lagu
The Passenger dan Sheila On 7.
Dia
membenci sesuatu yang berkaitan dengan warna kuning. Tapi dia suka langit.
Katanya, langit lebih terlihat indah jika bersanding dengan hujan. Dia pernah
mengarang cerita tentang langit dan hujan. Katanya, sebenarnya langit dan hujan
itu saling suka, namun mereka gengsi untuk mengakui perasaan mereka
masing-masing. Untung ada si awan yang bersedia comblangin dan menjadi jembatan
mereka berdua untuk saling bertemu jika merindukan satu sama lain. Layaknya
manusia, kisah cinta mereka juga tidak berjalan mulus. Si petir ternyata
diam-diam juga menaru hati pada langit. Makanya, dia selalu muncul saat langit
dan hujan sedang berkencan, kadang ia menjadi sangat ganas kalau terbakar
cemburu melihat langit dan hujan sedang memadu kasih.
Aku
terlalu terbuai hingga tidak menyadari titik-titik kecil dari kelopak mata
menetes mengenai pipi. Entah ini perasaan kesal, kecewa, marah, sedih, senang,
aku tak bisa lagi merasakan. Seperti mati rasa.
“Gomennasai...”
ucapnya lirih.
“Aku
paham bahwa perasaan memang tidak bisa dipaksakan, William. Tapi alasanmu
meninggalkanku membuatku tak puas. Aku merasa tidak melakukan kesalahan. Sehari
sebelum kau memutuskan hubungan ini kita masih baik-baik saja. Lalu setan apa
yang membuatmu tiba-tiba berubah? Apakah hujan memberi pandangan baru tentang
cinta kepadamu? Apakah tetesan-tetesan hujan telah merasuki otakmu sehingga kau
meninggalkanku dengan alasan yang begitu menyakitkan itu?”
"Kettie..”
dia berusaha menghentikanku yang seperti terserang aliran listrik.
Seperti
mendapat kekuatan yang membara. Seperti
ingin menumpahkan semua kekesalan dan amarah yang kusimpan selama ini.
“Bulshit!
Kau bilang bahwa aku satu-satunya wanita yang kau cintai. Kau manja aku dengan
semua perlakuan sayangmu, kau beriku rasa nyaman. Kau membuatku tergila-gila
dengan cinta sederhana yang kau berikan. Kalau kau ingin meninggalkanku, kenapa
kau datang dengan ketulusan? Dan ketika aku sudah jatuh dan terbuai dalam indah
cinta yang kau tawarkan itu, kau malah mencampakkanku. Apakah aku serendah itu
di matamu?”
Aku
rasakan tangannya menyentuh ujung jariku. Sekarang dia menggenggam jariku.
Kurasakan tangannya gemetar.
“Cukup,
please. Jangan bicara lagi. Jangan bunuh aku lagi dengan kata-katamu. Aku sudah
cukup sekarat saat ini.” ucapnya lirih.
Aku
terkejut melihat perubahan yang terjadi padanya. Tatapannya berubah nanar,
bibirnya pucat. Aku tidak pernah melihat dia yang seperti ini sebelumnya.
“Kettie,
ma.. maaf aku tak bisa mengantar ka.. kamu pulang. Be.. besok tolong temui aku
di.. di rumah. Ak... aku tunggu.” Katanya dengan terbata-bata. Kemudian
beranjak mendekatiku dan membungkuk membisik, “ma.. maaf sudah menyakitimu."
Aku
diam mematung. Seluruh tubuhku membeku. Bibirku tak mampu kugerakkan. Detak
jantungku memburu tak karuan. Mata lurus ke depan memandangi sosok yang
sepertinya sangat kukenal tapi begitu asing dalam beberapa detik. Apakah dia
benar-benar Williamku? William yang sudah mencampakkanku dan masih sangat ku
sayangi? Begitu banyak pertanyaan hingga aku tak punya kuasa untuk mengejarnya
atau setidaknya membantunya berjalan karena entah mengapa aku melihat dia
kesusahan berjalan, seperti lagi menjunjung beban seberat 10 ton.
*****
Aku pernah sangat menyayangi namun
akhirnya dicampakkan. Aku pernah berusaha memperbaiki hubungan yang tiba-tiba
terputus tanpa alasan yang jelas namun akhirnya aku diacuhkan. Aku pernah
berusaha mencari jawaban dari semua ketidakjelasan cinta, mencari pembenaran
arti hadirnya cinta sejati, namun akhirnya aku malah mendapat pertanyaan lain
yang membuatku melupakan semua kejadian dua tahun lalu yang membuatku setengah
gila. Apakah dia benar-benar Williamku yang dulu?
Pukul 01:30. Aku belum bisa tidur.
William, dia masih berkeliaran dalam pikiranku. Dia berubah, itu kesan pertama
diakhir pertemuanku di Caffe semalam. Dari cara dia berbicara yang
tersendat-sendat, raut wajah kecewa dan gelisah juga terbesit penyesalan, mata
yang berkaca-kaca, tangan yang gemetar. Seperti sedang berusaha melawan sesuatu
yang tak sepantasnya dia lawan. Dari sudut pandangku, dia terlihat seperti
seseorang yang bersedih. Apa yang terjadi padanya?
Aku berusaha tidur, memeluk boneka
Teddy Bear biru hadiah ulang tahun terakhir darinya sebelum dia datang dan
memutuskan hubungan kami. Pikiranku masih melayang, dan semakin banyak pertanyaan
dibenakku. Namun lepas dari semua itu, satu yang aku tahu pasti, aku masih
sangat merindukan William. Haruskah aku menemuinya besok?
*****
Ketika kau sudah dicampakkan, apakah
kau masih mengharapkan sebuah kesempatan dari orang yang sudah mencampakkanmu?
Apakah kau masih bermimpi bahwa suatu saat kau dan dia akan bersama lagi,
sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai? Apakah orang yang sudah
mencampakkanmu masih kau percaya untuk memiliki hatimu? Apakah aku salah jika
meneteskan air mata untuk orang yang sudah mencampakkanku? Jika kau jadi aku,
apakah kau hanya akan berdiam diri di sini dan terus bertanya apakah? Apakah?
Dan apakah?
“janganlah menangis wahai hatiku...”
aku baca sebuah note kecil yang pernah dia tulis dan selipkan di dompetku. Ketika
aku bertanya alasan dia menuliskan kalimat itu, dia jawab “kau akan mengerti
suatu saat nanti.” Apakah ini maksudnya? Apakah dia sudah berniat menyakitiku?
Ah, bahkan dia sudah merencanakan ini semua, bagaimana mungkin dia masih berani
mengatakan ‘jangan menangis’ kepadaku? Lalu apa yang harus aku lakukan? ‘jangan
menangis’ tapi ‘bunuh diri’ saja? Sial, dia sudah terlanjur tahu bahwa aku
wanita lemah yang air matanya gampang sekali menetes.
*****
“Aku sekarat ketika kau mencintai
hujan dan membenci diriku. Bukankah aku dan hujan itu sepaket? Mengapa kau
begitu tidak adil?” dia menyambutku dengan pertanyaan itu.
Aku tak mengenal sosok di depanku
saat ini. Mereka menyebutnya William, dan seharusnya aku sadari bahwa dia
memang William. Aku terlalu terkejut untuk percaya. Wajar saja kalau sampai saat
ini aku masih terpaku, mungkin seperti patung hidup yang berdiri tak jauh dari
seseorang yang seperti mayat hidup.
“Kettie, bisahkan kau berhenti
membenciku? Karena itu semakin membuatku sekarat,”
Ah ini hanya mimpi, pikirku. Aku
terlalu merindukannya, wajar kalau aku bermimpi seperti ini. aku terus mendekat
ke orang itu, aku pasti bisa melewatinya. Inikan hanya mimpi. Aku terus
melangkah, namun tertahan oleh sebuah ranjang. Aku memaksakan diri menembus
ranjang itu. Ini hanya mimpi, sebentar lagi aku akan bangun. Ranjang dan orang
yang berbaring di atasnya akan menghilang dari hadapanku. Namun, semakin aku
berusaha melewati ranjang itu, semakin jelas aku melihat sosok lemah yang
berbaring di situ. Sangat jelas, sehingga untuk pura-pura tak mengenalnya pun
membuatku sakit. Aku menempuk pipi kiri dan kanan, mencubit kulit lengan.
Mengapa aku tak bangun-bangun?
“Aku takut, Kettie. Aku takut kamu
terluka jika mengetahui sakitku ini makanya aku berusaha menyembunyikan darimu. Aku bermaksud membahagiakanmu. Tapi, seorang penderita gagal hati stadium akhir tidak punya harapan untuk membahagiakan orang yang disayanginya. Aku tidak bisa menjanjikan masa depan untukmu. Aku takut meninggalkanmu, meninggalkan orang-orang yang aku sayangi. Aku takut
mati, Kettie.”
Suaranya bergetar, entah oleh
amarah, kesedihan atau rasa takut itu sendiri.
“Aku minta maaf telah membuatmu
terluka. Gomennasai, Kettie...”
Aku langsung berbaur memeluknya.
Diapun memelukku, membiarkanku menumpahkan semua kekesalan dan kerinduanku. Dan
kurasakan satu tetes air matanya mengenaiku. Setelah itu, dia memegang
kedua lenganku dan menatapku dengan tenang, “aku mencintaimu, Kettie!”
“Kenapa kau lakukan ini?” aku balas
menatapnya dengan mata masih berkaca-kaca.
Dia membelai wajahku, dan berucap
lirih “ketika aku berjalan dan menemukan sebuah lubang, aku akan berhenti dan
menutup lubang itu sehingga orang-orang yang aku tinggalkan di belakangku tidak
terjatuh ke dalam lubang itu,”
“Perumpamaan macam apa itu? Tidakkah
kau berpikir bahwa seseorang sudah berjalan mendahuluimu dan sudah terjatuh
dalam lubang itu?”
“Itu tidak akan terjadi, karena aku
tidak akan membiarkan seseorang itu mendahuluiku, dia harus tetap di
belakangku,”
“Egois!!”
“Aku tahu, supaya tidak melukaimu
aku harus egois”
“Tidak melukaiku? Kau bilang tidak
melukaiku?” aku menatapnya tajam kali ini.
“Woo.. woo, dua tahun tanpaku
membuat kau benar-benar berubah seperti macan, haha” tangannya mengacak-ngacak
pelan kepalaku sambil tertawa kecil.
“Aku membencimu...” jawabku sambil
melototinya
“Haha aku tahu, itulah sebabnya aku
sangat mencintaimu. Aku mencintaimu karena kau membenciku.” Ia menjawab dengan
tertawa kecil lagi, menatapku dengan tatapan seakan dia tidak takut aku
melototinya.
“Kau sekarat, tapi masih bisa
tertawa dan mengejekku?”
“Kau di sini, apa lagi yang
membuatku sedih? Jangan menangis lagi, simpan air matamu itu. Belum saatnya kau
menangisiku.”
“Berhentilah mengucapkan
kalimat-kalimat bodoh itu. Berharaplah untuk sembuh.”
“Dua tahun sudah kulewati dengan
harapan akan sembuh, tapi kenyataannya aku tetap harus pergi. Lagian aku juga
sudah lelah menanggung sakit ini.”
“Apakah aku tak bisa menolongmu?”
“Kau ingin menolongku?”
“Ia, aku ingin sekali menolongmu”
“Jangan membenci hujan karena
disetiap tetesannya ada rindu yang kusisipkan untukmu. Jika kau tak keberatan,
biarkan tetesan itu jatuh di telapak tanganmu, mengenai wajah manismu dan
membasuh tubuh indahmu. Akulah hujan, biarkan aku membelaimu lewat tetesan-tetesan
itu.”
Aku tertunduk, air mata ini mengalir
lagi. Dia bicara begitu tenang. Dia benar-benar sudah siap untuk pergi.
“Jangan menangis wahai hatiku...”
jemarinya mendarat diwajahku. Telunjuknya kembali menari dipipiku, menghapus
genangan kecil yang membasahi pipiku.
“Kau benar-benar kuat, William. Kau
terlihat begitu tenang,”
“Itu karena ada kau di sampingku.
Tetaplah di sampingku, tunggu sampai aku benar-benar pergi,”
“Bagaimana rasanya menanggung ini
sendiri, William?”
“Rasanya seperti kau ingin melamar
seekor macan,”
“William, aku tak bercanda,”
“Dengarkan ini,” dia menyalahkan
MP3nya, mengambil headset, kemudian menyerahkan bagian yang satu kepadaku da
bagian yang lain di telinganya,
My
love, there's only you in my life
The only thing that's brightMy first love, you're every breath that I take
You're every step I make
And I, I want to share
All my love with you
No one else will do
“Sejak kapan MP3mu punya lagu Diana
Ross?”
“Sejak aku kehilanganmu, dua tahun
lalu. Simpan MP3 ini dan dengarlah ketika kau merindukanku,”
Aku hanya mengangguk pelan.
They tell me how much you care
Oh yeah, you will always be
My endless love
“Kettie, apa yang dilakukan Kaito
saat Hatsune Miku meninggal?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan
itu. Aku menatapnya miris, namun dia membalas dengan senyum, tenang.
“Apa yang dilakukan Kaito saat
Hatsune Miku meninggal?” tanya dia sekali lagi, kali ini sambil menatapku.
“Ia terjun dari atas gedung,”
jawabku pelan.
“Haha, konyol sekali. Kau tahu, itu
bukan cinta, Kettie. Itu sebuah kebodohan.”
“Tapi akhirnya mereka bertemu,
William. Mereka berpelukan. Mereka berdua hidup bersama di dunia lain, dunia
mereka yang baru.”
“Apa kau berniat melakukan itu?”
Lihat saja, dia menantangku dengan
pertanyaan yang seperti itu. Bagaimana aku harus menjawabnya? Apa yang
sebenarnya ingin dia katakan? Dia seperti sedang berusaha menyampaikan sesuatu.
“Kau seharusnya istrahat, William.
Aku tak seharusnya mengganggumu,”
“Sebentar lagi aku akan istrahat,
Kettie. Istrahat yang banyak. Jadi, kau tak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah
mempersiapkan diri.”
“Tapi bagaimana caranya
mempersiapkan diri untuk kehilangan orang yang paling kita sayangi? Tidak akan
pernah ada momen saat kita siap untuk hal semacam itu, William! Bagaimana cara
caranya untuk kembali tersenyum, saat air mata mendesak ingin keluar? Bagaimana
caranya berharap, ketika kegelapan itu sebentar lagi menghampiri kita? Aku
capek pura-pura, William. Jujur aku takut kehilanganmu, melihatmu yang tenang membuatku
semakin sedih. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa menghadapimu, aku
seperti tak mengenal diriku sendiri saat ini.”
“Saat kau melihat matahari terbit,
rasakan seperti mendapat harapan baru, bahwa kemarin telah berlalu dan hari yang baru akan di mulai. Pahami itu, percayalah semuanya akan terasa indah, kau
hanya perlu sedikit bersantai,”
“Bolehkah aku melihat senyum indahmu
itu? Sudah dua tahun aku tak melihatnya.”
Aku memandanginya sambil tersenyum.
“Sampai sekarangpun aku masih bisa
menebakmu. Berhenti memberikan senyum palsumu itu, hanya membuatku sakit hati
saja”
“William, maafkan sikapku. Aku hanya
belum siap kehilanganmu” aku memeluknya, membiarkan kepalaku bersandar di
dadanya, hingga aku mendengar jantungnya yang sudah tak sekencang dulu.
“Semuanya akan baik-baik saja,
sayang...” bisiknya pelan sambil membelai rambutku.
“William, saat kau pergi nanti. Aku
akan selalu menantikan hujan. Aku akan menari ditengah hujan dan aku yakin kau
disitu memelukku. Karena aku percaya, kaulah hujan itu.”
William tersenyum. Akupun tersenyum,
kali ini aku memberikan senyum yang tulus.
“Tersenyumlah saat kau mengingatku
karena saat itu aku sangat merindukanmu, menangislah saat kau merindukanku
karena saat itu aku tak berada di sampingmu, tapi pejamkan mata indahmu itu
karena saat itu aku akan terasa berada di dekatmu karena aku telah ada di
hatimu, selamanya. Cintamu akan tetap tinggal bersamaku sampai akhir hayatku,
bahkan setelah kematianku.”
Aku tertunduk. Air mataku mengalir
dengan sendirinya. Aku sudah berusaha tegar di hadapannya. Aku berusaha
menunjukkan bahwa aku baik-baik saja dengan pertemuan terakhir ini. tapi, aku
tidak bisa. Kenapa harus hari ini terakhir kalinya aku bertemu dia? Kenapa tidak
seminggu lagi atau sebulan, setahun? Tuhan, beri kesempatan kami bersama,
setidaknya untuk mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut dua tahun lalu.
Beri kesempatan aku merawatnya, Tuhan. Beri kesempatan aku menghiburnya. Dua
tahun dia dalam penderitaan melawan penyakitnya. Sedangkan aku, dua tahun itu
aku dalam kebencian yang besar kepadanya. Ini tidak adil, Tuhan. Tolong beri
aku kesempatan untuk memperbaikinya. Beri aku kesempatan, satu kali saja. Walau
harus ditukar dengan nyawaku aku ikhlas, asal beri aku kesempatan, Tuhan.
“Kettie, apa yang diucapkan orang
ketika hendak berpamitan untuk pergi?”
“William, apa yang kau katakan?" Aku
panik. Jangan, jangan sekarang. Jantungku berburu tak karuan. Tuhan, tolong
jangan sekarang.
“Kau punya. Kau punya kekuatan itu,
William. Tatap aku, ayo kita sama-sama melawan penyakit ini. Aku bisa
memberikan hatiku untukmu” aku menggenggam jarinya erat, tak ingin melepasnya.
“Jangan bodoh, Kettie. Jaga hatimu
untuk aku. Aku sudah siap untuk pergi. Terima kasih sudah datang ke sini,
menghantarku pulang. Aku tidak akan pernah melupakan hari ini, aku akan ingat
hari ini Kettie, selamanya.”
“William, apa yang kau katakan? Ini
rumahmu, kau tak akan pulang ke mana-mana. Aku ke sini untuk bertemu denganmu, untuk menyampaikan bahwa aku sangat
mencintaimu. Tidak ada yang berubah setelah dua tahun lalu. Aku masih sangat
menyayangimu. Jadi, ayo kita sama-sama berjuang melawan penderitaan ini,” aku
terus berbicara tak peduli air mata yang berlomba ingin keluar. Aku terus menggenggam
jarinya dengan erat.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,
Kettie. Apa yang dikatakan orang ketika berpamintan untuk pergi?”
“Williamm....” tangisku meledak. Aku
benar-benar tidak kuat lagi. aku merebahkan tubuku, memeluknya erat. Aku
merasakan badannya melemah. tidak, tidak. Jangan sekarang. “William, ayo kita
melawan penyakit ini sama-sama. Jangan menyerah, sayang. Aku di sini sekarang.
Aku akan berjuang bersamamu.” Badannya semakin lemah. Aku merasakan detak
jantungnya juga mulai melemah.
Tuhan, lakukan sesuatu. Jangan Kau
ambil Williamku sekarang. Bukankah aku tadi meminta kesempatan? Beri aku
kesempatan Tuhan. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku janji.
“Kettie, diantara kalimat ‘selamat
tinggal’ dan ‘sampai berjumpa lagi’ mana yang ingin kau dengarkan?”
“William, berhenti berkata seperti
itu. Saat ini aku tak ingin mendengar kedua-duanya. Kita berdua ada di rumahmu,
kita tidak akan kemana-mana. Jadi, tak perlu kamu mengucapkan dua kalimat itu.”
“Tapi aku harus mengucapkannya
Kettie, waktuku tinggal sedikit,”
Aku menangis sesegukan. “William,
kau akan terus hidup. Aku akan terus memelukmu, memberikan kehangatan kepadamu.
Kau akan tetap di sini, di pelukanku.
“Kettie...” dia memanggilku.
Suaranya lemah, nyaris tak terdengar.
“William, jangan bicara apa-apa. Kau
aman dalam pelukanku,”
“Kettie, maaf kalau yang kau dengar
adalah sesuatu yang tak kau inginkan,”
“Maka jangan mengucapkan apa-apa.
Kau cukup diam dalam pelukanku”
“Kettiee...”
“Jangan... jangan mengucapkan
sepatah katapun, William” suaraku nyaris tak terdengar dalam tangis.
“Se.. selamat tinggal, Kettie. Aku menyayangimu...”
“Williiiaammmmm......” teriakku
histeris. “Wiiiillllliiaammmm......!!!!!!!!!!!”
*****
Hari ini pemakanam William. Setelah
pemakaman hujan pun turun. Aku merentangkan tangan, merasakan setiap
tetesannya. Hujan itu William, dia benar-benar datang. Dia datang memberitahuku
bahwa dia sudah sampai dengan selamat di Surga. Aku tersenyum merasakan
tetesan-tetesan itu begitu bersahabat dengan telapak tanganku. Itu yang
meyakinkanku bahwa hujan itu memang William.
Wil, aku akan tetap di sini, menanti
hujan berikutnya...
0 komentar:
Posting Komentar