Berkorban demi anak yang di sayangi. Segala
macam cara dilakukan agar anaknya tidak menderita, bahkan kelaparan pun tak kan
sempat singgahi kehidupan anaknya. Begitulah yang ada dibenak orang tua. Mereka
tak pernah memikirkan kebahagian mereka sendiri, karena semata-mata kebahagiaan
anaknya lah kebahagiaan mereka. Tapi apakah kita sebagai anak telah
mensyukurinya? Mensyukuri setiap pengorbanan yang orang tua telah berikan
kepada kita? Pernahkah kita mengirim sms kepada ibu dan ayah kita untuk sekedar
menanyakan kabar mereka? Untuk sekedar memberikan kekuatan kepada mereka untuk
terus berjuang menempu kerasnya hidup. Sudahkah itu kita lakukan? Kapan
terakhir kali kita menelpon mereka? Atau kita hanya menelpon atau mengirim sms
disaat kita membutuhkan uang? Hanya itukah peran orang tua bagi hidup kita?
Apakah kita hanya menganggap orang tua adalah mesin ATM yang perlu kita
kunjungi saat kita membutuhkan uang?
Aku sangat menyesal karena sebagai anak, aku
belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tua dan mereka sudah pergi
meninggalkan aku. Dulu setelah ayah telah dipanggil yang Maha Esa tepat saat aku
beranjak SMA, aku berjanji akan terus berada disamping ibu dan bercita-cita
menjadi wanita tegar yang bisa membahagiakan ibu dan membuat ayah tersenyum di
surga, tapi belum sempat aku menyelesaikan studi di jenjang perguruan tinggi,
ibu malah pergi menyusul ayah dan mereka meninggalkan aku sendiri dalam langkah
dan arah yang tidak pasti. Padahal aku berjanji kelak akan membawa ibu ke kota
ini, ke Yogyakarta untuk menyaksikan keberhasilanku, walaupun aku sadar bahwa
keberhasilanku pun tidak sebanding dengan pengorbanan ibu. Aku hanya ingin ibu
melihat bahwa hasil kerja kerasnya selama ini demi aku, tidak sia-sia. Namun
itu semua tinggal mimpi, mimpi yang bahkan tidak tersampaikan saat ibu hendak
menutup mata untuk terakhir kalinya karena aku tak berada di sampingnya. Aku
telah mengingkari janjiku pada ayah untuk terus berada di samping ibu hingga
saat di mana ia menutup mata. Maaf ayah, karena ketika aku pulang, jasad ibulah
yang aku temukan terbaring lemas dalam peti mati. Tapi dia tersenyum
menyambutku. Iya, aku bisa merasakan senyum itu. Dan entah mengapa, senyuman
itu malah mencambukku. Maaf ayah, ibu, sampai sekarang pun aku belum menjadi
apa-apa. Belum ada sesuatu yang berharga yang aku buat. Aku masih seperti dulu,
anak yang manja dan cengeng.
Dalam kesunyian kamar aku menitikkan air mata
membayangkan lelaki itu berani mengkhianati orang tuanya. Aku, dalam hati
berharap masih memiliki orang tua di dunia ini, yang setiap hari cerewet
mengingatkan agar aku menghargai uang, agar aku tetap menjadi wanita yang baik,
agar aku berjalan dalam terang bukan dalam gelap, berjalan dengan hati bukan
dengan nafsu dan ambisi. Aku berharap masih memiliki orang tua yang peduli padaku
seperti kedua orang tuaku yang sekarang sudah berada di surga. Tapi lelaki itu
tak punya hati. Ia mengkhianati kedua orang tuanya, orang tua yang sangat
menyayangi dan selalu menyanjungnya sebagai lelaki hebat. Orang tua yang telah
bersusah paya berkorban demi anak sulung mereka itu. Tapi lelaki itu otaknya
bebal, ia malah memanfaatkan kasih sayang dan kepercayaan orang tuanya untuk
memeras mereka dengan sangat kejam. Orang tua mengirimnya ke sini untuk kuliah,
untuk menjadi orang yang berguna kelak. Tapi apa yang ia lakukan di sini? Ia
malah berfoya-foya dengan uang yang dikirim orang tuanya, ia menjadi orang yang
sombong dan angkuh. Memamerkan kehebatannya karena sudah berhasil mengibuli
orang tuanya dengan kejam. Ia belagak seperti raja yang terus dilayani, dan
dimanja karena apapun yang ia minta selalu dikabulkan oleh orang tuanya.
Mulutnya serakah, penuh tipu muslihat, ia menggunakan kuliah sebagai alasan
untuk memeras orang tua padahal di sini ia tidak pernah menginjak kampus, ia
tidak lagi menjadi mahasiswa entah sejak semester berapa, dan yang mengenaskan
karena tempat tinggal pun ia tak punya.
Sekarang orang tuanya sakit. Sakit karena semua
pengorbanan mereka tidak terbalas sedikit pun. Sedikitpun tidak. Dengan semua
pengorbanan yang sudah dipertaruhkan, hanya sakit hati yang mereka dapatkan.
Bukan akhir ini yang orang tuanya inginkan. Mereka tak pernah bermimpi bahwa pengorbanan
untuk anak sulung mereka itu akan berakhir dengan pengkhianatan seperti ini.
Air susu di balas dengan air tuba. Peribahasa itulah yang cocok untuk
menggambarkan perbuatan busuk lelaki itu.
Aku berharap ia cepat menyadari perbuatannya. Ia
tak punya hati selama ini sehingga ia menjadi durhaka. Aku berharap ia lekas
mencari hatinya yang sudah berkelana entah kemana. Aku berharap ia merenungkan
semua pengorbanan orang tuanya sehingga itu menjadi motivasi dia untuk menyesal
dan kembali menata hidup dan perlahan-lahan bangkit menjadi anak dengan pribadi
baru dan kembali pulang membawa keberhasilan dengan satu tekad mengangkat
kembali nama keluarga yang telah ia nodai dengan kejam.
Aku hanya berdoa semoga ia kelak menjadi
kebanggaan orang tuanya, menjadi abang dan teladan yang baik untuk
adik-adiknya.
Bagi kalian yang sekarang masih memiliki orang
tua, sayangi orang tua kalian, jangan pernah mengkhianati mereka sedikitpun.
Seburuk apapun mereka, mereka adalah malaikat, merekalah yang membuat kalian
menjadi pria yang tampan dan wanita yang cantik. Peliharalah kepercayaan yang
mereka berikan kepada kalian, dan jangan pernah mencoba untuk menggunakan kasih
sayang mereka untuk memeras dan memperbudak mereka. Ingat, orang tua adalah
Allah kedua, hormati kedua orang tuamu maka akan panjang umurmu di tanah yang
sudah diberikan Tuhan untukmu.