Bukankah sudah pernah ku katakan bahwa kau bintang kecilku? Mengapa kau juga tak paham tentang maksud dan perasaanku? Apa perlu aku membedah hatiku supaya ia dapat menjelaskan semuanya padamu? Kenapa kau tak pernah paham tentang mauku? Apakah aku terlampau sangat abstrak, hingga hatimu tak mampu menjangkau setiap detak jantungku?
Hei, bintang kecilku. Kemari, lihat bola mataku. Di sana masih
tersimpan dengan rapi sederet kata rindu yang tak mampu terucap karena
tingkahmu. Masih ada aliran bening yang membasuh sebait doa untukmu. Coba kau
tatap bening mataku, di sana masih terlihat jelas wajahmu. Utuh. Masih terlukis
indah senyummu. Menawan.
Sekarang bantu aku mencari angka yang tersisa, karena semua angka telah habis
terpakai untuk menghitung setiap detik penantianku untukmu. Namun begitu, aku
tak peduli aku masih mengeja penantian, memaknai setiap detik yang terlewatkan
sebagai bentuk ketulusan cinta untukmu. Aku tulus mencintaimu, tidak peduli kau
siapa. Kau seperti bintang Mirach tiba-tiba muncul dalam pekatnya malam,
membuatku mengagumi seberkas sinarmu. Dan tahukah kau semakin lama bukan
sekedar kagum yang kurasa, tapi ingin memiliki. Itu cinta, tulus.
Dalam kesempurnaanmu, kau datang mengisi ruang hampa dalam jiwaku. Spasi
hidup yang sudah terlampau jauh jaraknya. Memberiku kesejukan di tengah sekarat
terik kerinduan mencintai. Aku menerimamu seutuhnya, sungguh.
Tahukah kau, hei bintang kecilku bahwa ketika diburu hujan, aku tak
ingin lari atau berlindung, ku biarkan tubuhku tersapu oleh butiran-butirannya,
karena aku ingin merasakan kesejukan cinta, lalu muncul pelangi, sebagai
lambang persatuan jiwa. Atas nama tanah, air dan udara. Atas nama alam. Pelangi
indah untuk sebuah cinta suci yang tulus.
Bintang kecilku, aku masih menunggu.
Tahukah kau bahwa waktu mulai
mengejekku? Mencoba merobohkan pertahanan yang sudah kurangkai dengan sisa-sisa
cinta. tapi, tak perlu khawatir, aku tak akan goyah. Aku wanita perkasa, aku
bahkan sudah bebal dengan kata menunggu. Meskipun di ejek rembulan, di hina
mentari, dikibuli waktu, peduli setan. Aku akan tetap menunggu, hingga akhirnya
kau berpaling padaku. Lalu kita rangkai cinta kita bersama jutaan bintang di
langit, bersama kunang-kunang di malam hari. Maka rembulan akan terkagum-kagum,
mentari mulai cemburu, lalu berusaha membakar cinta kita, untunglah hujan mampu
menyiram dan memadamkannya. Cinta kita pun kembali sejuk. Lalu kita sepakat,
untuk menyatuhkan cinta kita bersama alam, kita berhasil membuat rembulan
bersemu malu. Andai semua itu benar adanya. Ah, aku bermimpi lagi.
Kasih, tidak bisakah sejenak kau datang? Bukan untuk merajut sebuah
kisah romantis. Tapi untuk menggenggam takdir, mengekor waktu dengan mata kita,
lalu kita bersorak jika ternyata waktu dan takdir yang kita tatap telah
menyerah, lalu kita saling menghukum dalam pelukan, dalam ciuman. Hukuman
terindah yang membuat kesalahan begitu indah untuk diulangi. Ah, tidak mungkin
kita bisa lakukan itu. Kau tak ada di sampingku. Kau sibuk.
Hei bintang kecilku, sampai saat ini pun kau tak juga datang. Bahkan
untuk sejenak menjamah kepalaku meski tanpa mengelus, atau tersenyum, tidak
tertawa. Atau sekedar membiarkan mataku menguliti setiap senti tubuhmu, meski
tak bisa menyentuhmu. Biarkan aku melihatmu, menikmati sisa-sisa aroma
tubuhmu, sebelum angin mencurinya dariku. Datanglah padaku, aku sudah nyaris
tak bisa bernapas. Kau telah renggut hatiku, kini nafasku, hidupku. Apa kau
terlampau sibuk? Atau kau telah menemukan bidadari lain yang mampu merajut
malam-malam gelapmu jadi indah? Kalau memang benar, aku cemburu pada bidadari
itu. Tidak juga kau paham? Aku sekarat.
0 komentar:
Posting Komentar