“Din.. Dindaaa….”
Aku terus berjalan, seolah tak
mendengar apa-apa.
“Dinda, tunggu!”
Aku tak menoleh, tidak sedikit pun. Kali
ini aku berusaha mempercepat langkahku. Kenapa baru sekarang kau datang dan
memanggilku. Lalu kenapa juga aku harus menghindarimu? Kita kan cuma teman. Ya,
teman. Aku masih ingat sekali kata-katamu dulu, 3 tahun yang lalu sebelum kau
pergi meninggalkan kota ini, kata-kata yang tak ku tahu kenapa kau mengucapkan
itu padaku. Apakah kau tahu perasaanku? Katamu, kita teman, dan selamanya akan
jadi teman, itu katamu yang berhasil buat aku seperti orang bego. Belum
mengutarakan perasaanku saja kau sudah berkata seperti itu, apalagi kalau sampai
aku menyatakan perasaanku. Mungkin kau akan mempermalukanku. Ya wajar, kau dan
aku beda. Kau bekerja di sini hanya untuk menunjukkan kepada orang tuamu bahwa
kau bisa mandiri, tapi aku bekerja karena memang akulah satu-satunya tulang
punggung keluarga.
“Dinda…”
Bodoh. Kenapa kau memanggilku sekencang
itu? Lihat, bahkan kau berlari mengejarku. Apakah aku begitu penting hingga kau
tinggalkan pekerjaanmu dan mengejarku? Ya, mungkin kau lagi membutuhkan teman
saat ini. Entah apa yang menahan langkahku, aku mendadak berhenti dan menoleh.
Kau menghampiriku dengan senyum. Senyum? Kau tersenyum padaku? Tidakkah kau
marah karena sikap acuhku barusan?
“Kamu kenapa sih buru-buru? Kamu gak
dengar aku panggil dari tadi?” katamu setelah berhasil berdiri di hadapanku.
“Maaf, aku gak dengar,”
Bohong. Kenapa aku harus bohong? Kenapa tidak berterus terang?
“Gitu ya, eh, nanti malam aku jemput
ya, kita jalan-jalan keliling Jogja, semenjak aku pulang dari Surabaya kita
udah gak pernah ketemu lagi, apalagi jalan-jalan bareng, aku kangen jalan sama
kamu”
Mimpi? Apa aku sedang mimpi? Kangen?
Kau kangen? Kau bercanda? Kau mengajak ku jalan? Apa yang kau pikirkan? Mau
buat aku ge’er? Dan ya, kalau memang itu maksudmu. Selamat anda berhasil. Aku
benar-benar ge’er dan saat ini, bunga-bunga hatiku mulai bermekaran.
“Din, kok bengong? Pokoknya nanti malam
aku jemput, dan aku gak mau dengar kata penolakan dari kamu, oke?”
Belum sempat aku menjawab, wajahmu
sudah mendekatiku, apa yang mau kau lakukan? Menciumku? Oh tidak, jangan
sekarang, jangan di sini. Kau semakin dekat. Oh my God! Kau dengar degup
jantungku? Tidak! Aku gugup, benar-benar gugup. Aku kangen pelukanmu yang dulu,
walaupun pelukan sebagai teman, tapi aku kangen, kangen banget saat kau
mengacak rambutku, saat kau mencubit hidungku. Semua yang kau lakukan dulu
semua bergemuruh di dadaku saat ini, aku benar-benar kangen kamu.
“Love you, Din”
Degg!! Dalam ketidakberdayaanku, kau
membisikkan sesuatu di telingaku. Apa aku gak salah dengar? Kata apa yang kau
ucap barusan? Apakah barusan itu kau sedang menyatakan perasaanmu? Ah, sejak
kapan kau jadi tukang gombal?
“jangan lupa nanti malam ya, Din?”
Belum sempat aku berucap, kau sudah berlalu sambil berteriak seperti itu. Aku
merasa seperti patung bernyawa saat ini. Apa yang buat kau jadi berubah
seperti ini, teman?
*******
Kalau ditanya siapa orang paling
bahagia malam ini, pasti aku orang pertama yang mengancungkan jari. Sumpah! Aku
bahagia sekali malam ini. Kau benar-benar perlakukan aku seperti putri. Sikapmu
berubah, benar-benar berubah. Dulu setiap kali kau jemput aku di rumah, kalimat
pertama yang kau ucapkan pasti “slamat malam” tapi, kali ini kau malah berucap
“kamu cantik sekali malam ini, Din” itu perubahanmu yang pertama. Dulu kalau
sudah di atas motor, kau tidak pernah bertanya apa aku udah siap berangkat atau
belum, tapi kali ini “Din, sudah siap berangkat?” kau mulai peduli sama
keselamatanku. Itu perubahanmu yang kedua. Dan masih banyak lagi
perubahan-perubahan lain yang buat aku sadar bahwa kau sedang tidak memperlakukanku
sebagai teman.
Perlahan-lahan mataku mulai terbuka,
seperti luruh dalam riak pesona yang mengulum debar tanpa mampu memaparkan
dalam logika di kepala. Aku hanya bisa terdiam, terpaku pada rasa dan asa yang
meluas seperti samudra, nyaris tak mampu lagi menggenggam apa yang telah
menjadi pijakan pada koridor waktu yang berjalan di belakang, yang ada adalah
sosok baru yang aku sendiri tak sempat mengenalinya. Kasihmu telah berubah
menjadi biru seutuhnya, warna yang terlahir dari ketulusan di dada, dan rembulan itu menjadi saksi cinta kita.
Aku berterima kasih pada sang waktu yang kembali
menghantarmu padaku, bukan sebagai teman, sahabat, namun pangeran yang akan
mempersunting aku dengan sejuta cinta.
0 komentar:
Posting Komentar