Kamis, 07 November 2013

Bintang Sang Rembulan



“Din.. Dindaaa….” 

Aku terus berjalan, seolah tak mendengar apa-apa. 

“Dinda, tunggu!”

Aku tak menoleh, tidak sedikit pun. Kali ini aku berusaha mempercepat langkahku. Kenapa baru sekarang kau datang dan memanggilku. Lalu kenapa juga aku harus menghindarimu? Kita kan cuma teman. Ya, teman. Aku masih ingat sekali kata-katamu dulu, 3 tahun yang lalu sebelum kau pergi meninggalkan kota ini, kata-kata yang tak ku tahu kenapa kau mengucapkan itu padaku. Apakah kau tahu perasaanku? Katamu, kita teman, dan selamanya akan jadi teman, itu katamu yang berhasil buat aku seperti orang bego. Belum mengutarakan perasaanku saja kau sudah berkata seperti itu, apalagi kalau sampai aku menyatakan perasaanku. Mungkin kau akan mempermalukanku. Ya wajar, kau dan aku beda. Kau bekerja di sini hanya untuk menunjukkan kepada orang tuamu bahwa kau bisa mandiri, tapi aku bekerja karena memang akulah satu-satunya tulang punggung keluarga. 

“Dinda…” 

Bodoh. Kenapa kau memanggilku sekencang itu? Lihat, bahkan kau berlari mengejarku. Apakah aku begitu penting hingga kau tinggalkan pekerjaanmu dan mengejarku? Ya, mungkin kau lagi membutuhkan teman saat ini. Entah apa yang menahan langkahku, aku mendadak berhenti dan menoleh. Kau menghampiriku dengan senyum. Senyum? Kau tersenyum padaku? Tidakkah kau marah karena sikap acuhku barusan? 

“Kamu kenapa sih buru-buru? Kamu gak dengar aku panggil dari tadi?” katamu setelah berhasil berdiri di hadapanku.

“Maaf, aku gak dengar,” 

Bohong. Kenapa aku harus bohong? Kenapa tidak berterus terang? 

“Gitu ya, eh, nanti malam aku jemput ya, kita jalan-jalan keliling Jogja, semenjak aku pulang dari Surabaya kita udah gak pernah ketemu lagi, apalagi jalan-jalan bareng, aku kangen jalan sama kamu” 

Mimpi? Apa aku sedang mimpi? Kangen? Kau kangen? Kau bercanda? Kau mengajak ku jalan? Apa yang kau pikirkan? Mau buat aku ge’er? Dan ya, kalau memang itu maksudmu. Selamat anda berhasil. Aku benar-benar ge’er dan saat ini, bunga-bunga hatiku mulai bermekaran. 

“Din, kok bengong? Pokoknya nanti malam aku jemput, dan aku gak mau dengar kata penolakan dari kamu, oke?” 

Belum sempat aku menjawab, wajahmu sudah mendekatiku, apa yang mau kau lakukan? Menciumku? Oh tidak, jangan sekarang, jangan di sini. Kau semakin dekat. Oh my God! Kau dengar degup jantungku? Tidak! Aku gugup, benar-benar gugup. Aku kangen pelukanmu yang dulu, walaupun pelukan sebagai teman, tapi aku kangen, kangen banget saat kau mengacak rambutku, saat kau mencubit hidungku. Semua yang kau lakukan dulu semua bergemuruh di dadaku saat ini, aku benar-benar kangen kamu. 

“Love you, Din” 

Degg!! Dalam ketidakberdayaanku, kau membisikkan sesuatu di telingaku. Apa aku gak salah dengar? Kata apa yang kau ucap barusan? Apakah barusan itu kau sedang menyatakan perasaanmu? Ah, sejak kapan kau jadi tukang gombal?

“jangan lupa nanti malam ya, Din?” 

Belum sempat aku berucap, kau sudah berlalu sambil berteriak seperti itu. Aku merasa seperti patung bernyawa saat ini. Apa yang buat kau jadi berubah seperti ini, teman? 

*******

Kalau ditanya siapa orang paling bahagia malam ini, pasti aku orang pertama yang mengancungkan jari. Sumpah! Aku bahagia sekali malam ini. Kau benar-benar perlakukan aku seperti putri. Sikapmu berubah, benar-benar berubah. Dulu setiap kali kau jemput aku di rumah, kalimat pertama yang kau ucapkan pasti “slamat malam” tapi, kali ini kau malah berucap “kamu cantik sekali malam ini, Din” itu perubahanmu yang pertama. Dulu kalau sudah di atas motor, kau tidak pernah bertanya apa aku udah siap berangkat atau belum, tapi kali ini “Din, sudah siap berangkat?” kau mulai peduli sama keselamatanku. Itu perubahanmu yang kedua. Dan masih banyak lagi perubahan-perubahan lain yang buat aku sadar bahwa kau sedang tidak memperlakukanku sebagai teman.

Perlahan-lahan mataku mulai terbuka, seperti luruh dalam riak pesona yang mengulum debar tanpa mampu memaparkan dalam logika di kepala. Aku hanya bisa terdiam, terpaku pada rasa dan asa yang meluas seperti samudra, nyaris tak mampu lagi menggenggam apa yang telah menjadi pijakan pada koridor waktu yang berjalan di belakang, yang ada adalah sosok baru yang aku sendiri tak sempat mengenalinya. Kasihmu telah berubah menjadi biru seutuhnya, warna yang terlahir dari ketulusan di dada, dan rembulan itu menjadi saksi cinta kita.

Aku berterima kasih pada sang waktu yang kembali menghantarmu padaku, bukan sebagai teman, sahabat, namun pangeran yang akan mempersunting aku dengan sejuta cinta.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design