Tanggal 1 April seorang anak lahir di dunia. Tepatnya anak
pembawa sial. Ya, itulah julukan buat aku. Semua keluargaku menganggap aku anak
yang sial. Bagaimana tidak, semenjak kelahiran aku keluargaku jadi berantakan.
Aku terbangun mendengar suara yang berisik di lantai dasar.
"Nih pasti ayah dan ibu berantem lagi gara-gara aku,"
gumamku sambil menyibak selimut yang menutupi badan. Aku duduk, meraih guling
yang berada di samping dan meletakkan di pangkuanku.
"Bu,jemput Alya dari kamarnya untuk sarapan." Suara
serak-serak dan sedikit bass itu aku kenal banget. Itu suara ayah.
"Loh kok aku sih, bapak aja yang jemput aku masih siap-siap
nih." suara cempreng ala Gina alias Jengkelin itu adalah suara ibu.
"Emang itu tugas kamu. Ngapain kamu ngelahirin anak buta
kayak dia, jadinya ngerepotin orangkan?"
"Bapak nyalahin aku, gitu? Bagus ya! Biii.. jemput si buta
sialan itu untuk sarapan." Teriak ibu dengan penuh amarah.
"Iya Nyak.." Balas bibi menghambur menuju kamarku.
Ini bukan
kali pertama ayah dan ibu berantem. Aku dipapah bibi menuju meja makan.
"Heh buta, kamu bikin repot orang aja ya. Ma, kasih makan
ni anak kamu yang buta, aku mau berangkat kerja dulu." Kata ayah sambil
meninggalkan meja makan.
"Kok aku sih, bapak kan yang lagi di meja makan, sekalian
aja kasih makan tuh anak." balas ibu dari kamar. Tapi ayah sepertinya tak
menghiraukan perkataan ibu, ayah terus berlalu.
"Bi, kasih makan nih buta sialan, jangan ngerepotin orang
pagi-pagi. Aku mau berangkat kerja," kata ibu setelah keluar dari kamar.
"Loh, nyonya gak sarapan? Tadi tuan gak sarapan juga."
Bibi sepertinya perhatian sekali.
"Hilang selera makan aku bi, siapa juga yang mau sarapan
semeja sama orang buta, mending aku makan di luar aja," kata ibu dan
langsung pergi.
Kata-kata ibu seperti duri yang melilit di hatiku. Sakit banget.
Segitu bencinyakah seorang ibu terhadap anak cacat yang adalah darah dagingnya
sendiri? Kenapa aku di biarkan lahir kalau akhirnya akan dapat perlakuan
seperti ini? Belum sembuh rasa sakit ini, aku dikagetkan lagi dengan suara
bentakan kak Bimo,"Udah dengar kamu? Telingamu gak ikutan cacat kan? Heh,
dengar ya. Ini semua gara-gara kamu. Kamu yang mengakibatkan pertengkaran ini.
Kamu memang pembawa sial. Dulu keluarga ini sangat harmonis dan kami selalu ada
waktu untuk bersama. Tapi semenjak kamu ada, aku jadi diterlantarkan. Aku udah
gak pernah dapat perhatian dari ayah dan ibu. Sampai kapanpun aku gak akan
pernah nganggap kamu sebagai adik. Aku gak sudi punya adik buta kayak kamu. Aku
benci kamu!!!" Kata Bimo sambil menampar meja makan.
Spontan aku
kaget. Dengan susah paya aku berusaha memanggil dengan lirih,
"Bang..."
"Budek ya! Aku bukan abang kamu." teriak kak Bimo
tepat di kupingku.
Walaupun aku gak bisa melihat ekspresinya, dari bentakan dan kata-katanya,
aku tahu betapa bencinya dia sama aku. Oh Tuhan, apa salahku? Dosakah aku jika
aku buta, hingga semua tak ada yang peduli padaku? Aku hanya bisa tertunduk dan
terisak dalam hati.
Sebenarnya tidak mengherankan jika mereka tak menganggapku dalam
keluarga ini. Ayah, seorang direktur di perusahaan ternama di Jakarta. Beliau
adalah orang nomor satu yang terkenal pintar, tegas dan bertanggung jawab. Ibu
sendiri adalah seorang wanita karir yang tak kalah hebatnya dengan ayah. Beliau
adalah desain terhebat dan bulan kemarin beliau baru saja menyandang status Queen
Designer. Sedangkan Bimo, abangku satu-satunya adalah seorang yang sangat
populer di sekolahnya. Selain memiliki tampang baby face yang berhasil
memikat banyak wanita, ia juga jago olahraga dan selalu mendapat peringkat
terbaik dalam mata pelajarannya. Tidak heran jika ayah dan ibu sangat
menyayangi dia. Namun, beberapa hari belakangan ini sepertinya dia juga kurang
mendapat perhatian dari ayah dan ibu yang sudah pasti penyebabnya adalah aku.
Yakh, Aku. Bisa apa aku? Aku hanya seorang anak buta, anak pembawa sial yang
kerjanya ngerepotin orang. Wajar kalau mereka membenci aku, karena aku sama
sekali tidak berguna. Aku hanya menciptakan keributan setiap hari. Aku
mengacaukan keharmonisan keluargaku. Pantaskah aku disebut bagian dari keluarga
yang perfect dan selalu disanjung ini?
Sepuluh tahun kepedihan ini aku pendam. Rasa sakit ini aku
simpan dalam hati. Aku hanya berharap suatu saat nanti aku dapat diterima di
keluarga ini. Hari ini akan menjadi hari terkahirku mendengar suara adu mulut
ayah dan ibu yang sudah menjadi santapan rutinku setiap pagi, merasakan
nikmatnya masakan bibi, mendengar ocehan kak Bimo yang selalu menjadi hidangan
penutup yang sangat menyakitkan yang semakin hari semakin menumpuk dan tertahan
di hatiku. Kenangan ini tidak akan pernah aku lupakan selama di desa nanti.
Keributan tiap pagi dan kata-kata pedas sang abang yang selalu menyakitkanku
akan aku rindukan. Orangtua termasuk abang membuangku ke Kalimantan. Ya,
“membuang”. Kata itu tidak sengaja aku dengar dari pembicaraan ayah, ibu dan
abang. Mereka merasa aku adalah anak pembawa sial yang harus dibuang dan
disingkirkan dari kehidupan mereka. Tapi kalau dengan kepergianku suasana rumah
dan hubungan ayah dan ibu kembali membaik aku tidak keberatan meninggalkan
mereka, yang penting mereka bahagia.
Hari ini aku resmi menjadi orang Kalimantan, lebih tepatnya
“anak desa” tempat kakek dan nenek yang adalah ibu dan ayah dari Ibuku.
Sedangkan ibu dan ayah dari Ayah sudah lama meninggal. Selama lahir aku belum
pernah diperkenalkan sama kakek dan nenek yang akan menjadi pengasuhku.
Sehingga waktu aku tahu rencana mereka yang mau membawaku ke Kalimantan,
reaksiku biasa saja. Toh, aku akan tetap menjadi anak yang tidak berguna. Baik di
Jakarta dan di Kalimantan sama saja, bedanya hanya berpindah tempat.
Aku pikir semua orang bakal jahat dan menganggap aku sial, aku
pikir kakek dan nenek ini akan membenci aku juga sama seperti ayah, ibu dan kak
Bimo. Ternyata tidak. Masih ada yang menyayangi aku. Kakek dan nenek di desa
ini sangat menyayangi aku walaupun aku buta. Bukan hanya mereka saja,
teman-teman di desa juga baik. Mereka tidak memandang kekurangan yang aku
miliki dan mereka juga tidak menganggap aku sebagai anak pembawa sial. Bahkan
mereka mengajari aku banyak hal. Di tempat ini aku mulai merasakan hidup yang
sebenarnya. Aku benar-benar merasa bahagia. Aku mendapatkan kasih sayang yang
tidak pernah aku dapatkan selama di Jakarta
di tengah-tengah keluargaku sendiri. Di Jakarta hanya kesepian dan tekanan
batin yang aku rasakan. Pagi-pagi harus terbangun dengan teriakan ayah dan ibu
yang semakin hari kuanggap sebagai alarm tanpa baterai. Namun di desa ini aku
merasakan suasana yang sangat berbeda. Pagi-pagi suara kokokan ayam jantan dan
kicauan burung yang membangunkanku dari mimpi-mimpi indahku semalam. Suara itu
membawa makna tersendiri dalam hatiku, ada rasa syukur yang aku rasakan. Setiap
kali mendengar kokokan ayam dan kicauan burung itu, aku akan terbangun, meraih
tongkat, menuju ke jendela kamarku, membuka jendela dan menyambut sang surya
yang menghantarkan cahaya kehidupan. Walaupun aku tak bisa melihat eloknya sang
mentari pagi, lewat cahayanya yang terpancar mengenai wajahku, aku dapat
merasakan kehangatan dan keindahannya, lewat cahaya itu pulah aku selipkan
doaku kepada Sang Pencipta. “Terima kasih Tuhan buat nafas hidup yang masih
Engkau percayakan padaku”. Syukuri akan sebuah nafas yang Tuhan masih
percayakan merupakan satu hal yang sering aku lakukan semenjak di desa. Itu semua
aku pelajari dari nenek. Kata nenek, dengan mensyukuri hal yang kecil maka
Tuhan akan memberikan sesuatu yang besar dalam hidup kita. “Makanya Neng,
bersyukur itu perlu dan wajib kita lakukan. Maka Tuhan akan tersenyum dari atas
sana, karena Tuhan sayang dan akan selalu memelihara setiap umat yang selalu
bersyukur pada-Nya,” kata nenek waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di
rumah mereka ini.
Kakek dan nenek sudah layaknya ayah dan ibuku. Wanita dan pria
paruh baya yang baik hati ini adalah petani yang dikenal dengan julukan juragan
karet. Mereka mempunyai berhektar-hektar kebun karet, sehingga mereka bisa
bertahan hidup sampai sekarang. Karena ladang mereka yang begitu banyak bisa
menghasilkan lapangan kerja buat para pengangguran di desa. Banyak pemuda-pemuda
atau bapak-bapak yang bekerja mengolah kebun karet milik kakek dan nenek, upah
yang mereka dapatkan juga sesuai dengan hasil kerja mereka. Di desa kakek dan
nenek merupakan satu-satunya keluarga berada kalau dibandingkan dengan
keluarga-keluarga lain, sehingga banyak petani-petani lain yang selalu meminta
bantuan atau pinjaman uang dari mereka. Kakek dan nenek senang membantu orang
yang dalam kesulitan dan tidak pernah mengancam atau memaksa kepada siapapun
untuk mengembalikan uang pinjaman. Kapan mereka punya uang untuk mengembalikan
baru mereka mengembalikan. Kakek dan nenek tahu persis kehidupan warga di
desanya. Karena kebaikan, keramahan, kerendah hatian, dan ketegasan kakek dan
nenek, orang-orang di desa itu sangat menghormati mereka.
Selain juragan karet, kakek menjabat sebagai kepala desa di desa
ini, karena kebaikan dan keramahan serta niatnya yang selalu menolong orang,
desa mereka tenang dan damai. Orang-orang yang hidup di dalamnya pun saling
mengasihi dan saling membantu. Kasih sayang mereka semualah yang membuat aku
bertahan hidup sampai sekarang ini. Di tengah kesederhanaan mereka, ternyata
mereka mempunyai hati yang sangat mulia. Nasihat dan didikan mereka benar-benar
membuat aku merasakan bahwa orang cacat kayak aku bisa menikmati hidup
juga.
“Neng, Tuhan sayang sama semua umat-Nya. Baik itu miskin atau
kaya, tua atau muda, cacat atau normal Tuhan sayang semuanya, dan Tuhan lebih
sayang lagi sama orang yang melakukan semua firman-Nya dan selalu turut pada
kehendak-Nya. Makanya kamu jangan merasa putus asa dan merasa gak berguna hanya
karena orangtua dan kak Bimo tidak peduli sama kamu. Masih ada Tuhan dan kami
semua yang sayang sama kamu,” nasihat kakek saat aku mogok makan karena sudah
sebulan di desa ayah dan ibu bahkan kak Bimo tidak pernah memberi kabar ke aku.
Bahkan setiap kali aku menelpon selalu di reject sama
mereka. Itu yang buat aku marah dan putus asa. Aku pengen mati saja saat itu
karena aku merasa hidup juga tidak ada gunanya. Untung ada kakek dan nenek yang
tak henti-hentinya bujuk aku dengan kata-kata bijaknya sampai aku luluh seperti
sekarang ini. Kakek dan nenek memang selalu punya kata-kata bijaksana yang
selalu mereka berikan saat aku galau dan putus asa. Aku bersyukur banget
memiliki dua sosok ini. “Terima kasih Tuhan,” gumamku setiap kali merasakan
kebaikan dan kasih sayang mereka.
Selama di desa, ayah, ibu dan abang tidak pernah sekalipun
menanyakan kabarku, apalagi berkunjung sekedar melihat keadaanku. Mereka sepertinya
benar-benar telah menghapus aku dari hidup mereka. Tega sekali. Sempat terbesit
dipikiranku untuk mengakhiri hidup saja, karena aku tidak berharga sama sekali.
Keluargaku membuang dan tidak mempedulikan aku. Jika pembunuhan bukan dosa dan
bukan tindak kriminal yang mengakibatkan mendekam di bui, mungkin orangtua
ataupun abang Bimo sudah membunuhku sejak aku lahir dulu. Aku merasa dunia ini
tidak adil bagiku. Tapi, lagi-lagi aku beruntung karena Tuhan masih mengasihi
aku, dengan mengirim malaikat seperti kakek, nenek, Rangga, Selvi dan Andin
sebagai keluarga sekaligus sahabat yang selalu memberi motivasi dan selalu ada
untukku. Mereka yang membuat aku tetap mensyukuri hidup ini, karena setiap
kekurangan yang ada pasti terselip kelebihan yang begitu dahsyat, aku yakin
Tuhan pasti punya rencana terindah dalam hidupku.
Setiap hari aku mulai belajar bermain gitar, dilatih sama
Rangga. Aku sangat salut sama ciptaan Tuhan yang satu ini, dia sangat sabar
melatih aku. Melatih orang yang bisa melihat saja susah, apalagi melatih orang
seperti aku yang hanya mengandalkan feeling saja.
Awalnya aku sempat putus asa dan meminta berhenti saja berlatih karena aku
merasa, orang buta kayak aku gak akan bisa bermain gitar dengan baik. Tapi
dasarnya Rangga melatih dengan tulus, dia malah memberi aku semangat untuk
tetap berlatih dengan rajin.
“Alya, buta bukanlah alasan kamu berhenti berlatih main gitar.
Menurut aku, kamu punya bakat main gitar yang luar biasa. Apalagi suara kamu
bagus, kalau kamu nyanyi diiringi lentikan jari yang menari-nari di atas senar,
itu sungguh sangat sempurna.”
Mendengar kata-kata Rangga, aku jadi termotivasi. Aku tak tahu
rupa insan yang berada di sampingku saat ini. Apakah dia punya wajah yang
tampan? Jelek? Rambutnya panjang atau pendek? Gendutkah dia? Ah semua itu tidak
penting, hati yang baik dan ketulusannyalah yang buat aku luluh setiap kali
mendengar suara dan desah nafasnya. Dia benar-benar malaikat yang Tuhan kirim
untuk menyelamatkan aku dari kegalauan tingkat dewa. Aku gak akan mengecewakan
Rangga. Setiap hari aku terus belajar memetik setiap senar gitar dengan baik,
awalnya aku mempelajari kunci-kunci dasar seperti kunci G, C, dan D hingga
semakin hari aku mulai menguasai beberapa kunci yang lebih sulit lagi. Aku
hanya mengandalkan insting untuk menghasilkan bunyi yang indah. Berkat
ketabahan Rangga dan kemauanku untuk berlatih aku sekarang bisa memainkan gitar
dengan baik.
“Serius amat sih non.” Selvi mengagetkan aku yang lagi serius
memainkan gitar, sekedar mencoba setiap kunci yag diajarkan Rangga beberapa
hari yang lalu.
“Alya, kamu sekarang hebat ya main gitar. Aku aja,
bertahun-tahun diajarin Rangga, sampai sekarang belum benar-benar bisa.
Kadang-kadang kunci G masih ketuker sama kunci C, kamu hebat bisa mempelajari
setiap kunci dengan baik tanpa melihat senarnya. Aku bangga sama kamu,” kata
Andin memelukku dari belakang dengan menyilangkan kedua tangannya di
leherku.
“Eh kalian, sejak kapan disini? Kalian lihat ya tadi aku main.”
Kataku malu-malu.
“Sejak kamu mulai memainkan gitarnya. Kami nikmatin banget loh,
lagu apa sih yang barusan kamu mainkan? Perasaan aku gak pernah ngajarin kamu
lagu yang tadi deh..” Rangga mulai mendekat dan meraih gitar yang kupegang.
“Serius ni bagus? Jangan-jangan kalian cuma mau nyenengin aku
doang. Jujur aja deh kalo bunyinya berantakan,”
“Ya ampun Al, beneran kamu mainnya bagus banget, aku masih penasaran lagu yang kamu mainin tadi, belajar dari siapa sih?” Rupanya Rangga penasaran berat.
“Ya ampun Al, beneran kamu mainnya bagus banget, aku masih penasaran lagu yang kamu mainin tadi, belajar dari siapa sih?” Rupanya Rangga penasaran berat.
“Kamu penasaran ya Ga, hehee” kataku sembari tersenyum.
“Iya Al, musiknya bagus banget, sayang kamu gak ikut nyanyi,”
kata Rangga sambil memainkan gitar ngikutin irama yang barusan aku mainkan.
Rangga memang hebat kalau soal gitar, buktinya cuma sesaat dengar aku main, dia
langsung bisa praktekkan, seperti yang dia lakuin sekarang.
“Aku belum hafal liriknya Ga, lagunya aja barusan tadi aku
dengar di radio, aku cuma iseng nyobain berdasarkan kunci-kunci yang kamu
ajarin, ya tepatnya sih aku cuma gunakan insting untuk
setiap iramanya. Jadi gak usah deh kalian muji-muji aku, udah tahu kok kalau
aku mainnya berantakan.” Kataku dengan sedikit malu-malu.
“Serius Al? Musiknya barusan kamu dengar dan kamu langsung
praktekkan?” teriak Rangga, Selvi dan Andin bersamaan. “Eh biasa aja kali,
kenapa udah kayak paduan suara gitu?” balasku yang bingung mendengar keheboan
mereka.
“Ampun deh Al, kamu hebat banget. Sumpah. Baru kali ini aku
ketemu orang kayak kamu yang cuma denger lagunya sesaat dan udah langsung bisa
praktekkan. Apalagi lagu itu lagu yang asing, dua jempol deh buat kamu,” Andin
berapi-api.
“Setuju. Aku kagum banget sama kamu Al, kamu benar-benar hebat.
Aku bangga punya temen kayak kamu, aku tambah deh dua jempol.” Selvi tidak mau
kalah.
“Yang dibilang Selvi sama Andin benar Al. Ternyata feeling-ku gak
salah, kamu memang punya bakat jadi pemain gitar yang hebat. Lagu yang baru
kamu dengar aja udah sebagus itu kamu mainin apalagi lagu-lagu yang udah biasa
kamu dengar. Aku salut sama kamu. Ternyata kamu benar-benar niat latihan selama
ini. Aku gak sia-sia ngajarin kamu Al.” Rangga ikut bicara.
Aku kaget banget mendengar pujian dari mereka. Tanpa sadar air
mata sudah membasahi pipiku. Aku bahagia banget. Baru kali ini aku mendapat
pujian seperti ini.
“Loh kok malah nangis Al? Aku salah ngomong ya?” Tanya Rangga.
Selvi dan Andin mendekat kearahku.
“Gak kok Ga, kalian gak salah apa-apa. Aku hanya terharu. Baru
kali ini aku dapat pujian yang betubi-tubi. Aku senang banget, aku gak nyangka
orang buta kayak aku masih bisa dapat pujian seperti itu. Makasih ya, kalian
memang sahabat terbaikku.” Kataku tanpa bisa menghentikan aliran dari kelopak
mata yang terus memaksa untuk keluar.
“Alya, setiap orang berhak mendapat pujian, termasuk kamu. Kami
sama sekali gak melihat kekurangan dari diri kamu kok, karena kamu gak pernah menyerah.
Kamu selalu lakukan setiap kegiatan yang kami lakukan, itu artinya kamu masih
sama kayak kami, malah kamu punya kelebihan yang bagi aku gak mungkin aku
miliki. Kekurangan yang kamu miliki sama sekali bukan penghalang untuk kamu
terus maju, ibarat kata Syahrini nih, kamu memang anak yang “sesuatu banget,
cetar badai membahana" pokoknya..” kata Andin sambil menggenggam
jariku.
“Al, kalo kamu masih mau terus berusaha dan terus belajar,
percaya deh kamu bukan hanya saja mendengar pujian dari kami, tapi dari
orang-orang di luar sana.” Kata Rangga.
Seketika aku tersadar, kudapati diriku yang tak sendiri lagi.
Bagi kakek, nenek dan teman-teman di desa ini, aku layaknya sebuah pelangi
dengan warna-warni yang indah. Pelangi yang melambangkan kehidupan. Namun bagi
ayah, ibu dan kak Bimo aku mungkin pelangi yang tidak memiliki warna. Satupun
tidak! Tetapi seperti apapun anggapan mereka terhadap aku, cinta dan kasih
sayang mereka masih ada untukku, jauh di lubuk hati mereka. Aku
yakin!
0 komentar:
Posting Komentar