Aku duduk sambil
memangku sebuah tas, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang seperti
setrikaan. Dulu aku sering jogging ke
tempat ini setiap minggu subuh, kira-kira pukul 05:00. Bersama teman-teman kami
menyusuri jalan yang lumayan jauh dari rumahku sambil berlarian kecil-kecil
diiringi canda tawa. Teman-temanku punya wujud dengan sifat masing-masing yang
aneh. Ada si kecil Adi yang biasa di panggil Abil alias Adi Billy. Ada juga si
hitam manis Mike yang punya nama samaran Jipeng. Si playboy Lius yang terkenal dengan nama Chiko. Ada lagi si ceking
Obet yang namanya diplesetankan oleh teman-temannya menjadi Kombet. Ada juga
Roffi, tetanggaku yang selalu mengantar aku ke sekolah, yang sudah ku anggap
sebagai Kakak. Ada Melfi alias Figo, cowok tinggi yang memiliki pita suara
bagus. Satu lagi, Jefry yang sering memanggilku dengan sebutan “kuok” dan
aku pun memanggilnya dengan sebutan “sincan” karena suaranya sedikit mirip
sincan (menurut aku). Dan masih banyak cowok-cowok tampan lain yang tak bisa ku
sebutkan namanya satu per satu. Bukan hanya cowok-cowok saja, aku juga punya
teman-teman cewek yang jadi teman setiaku waktu Jogging. Ada Dewi my best
friend sekaligus sista terbaik. Ada juga kak Dorkas dan Serli dua orang
saudara yang sering temani aku pulang sekolah sekaligus tetanggaku. Si cerewet
Kiki yang sebenarnya lebih pantas jadi adik, tapi untuk kali ini dia masuk
dalam daftar temanku karena dia juga pernah temani aku jogging. Terakhir si tomboy Mely. Mungkin baginya, aku ibarat
baigon-tiga roda. Dia kalau jogging
selalu bawa pacarnya. Alhasil aku yang berperan jadi penjaga nyamuk.
Aku tersenyum
mengingat masa bersama teman-temanku itu. Mereka yang sudah memberi warna di
hidupku. Mereka yang telah membuat aku berarti. Mereka yang sangat aku sayangi.
Sebentar lagi aku akan tinggalkan mereka. Nama mereka akan selalu ada di hatiku
walaupun raga mereka tak ku lihat lagi. Mereka tetap teman-teman terbaik yang
pernah mengisi hari-hariku. Walaupun terkadang mereka sedikit nyebelin, tapi
mereka ngangenin. Aku pasti rindu saat-saat itu.
“Ei, ngelamun aja,”
Suara kakak mengagetkan aku dari lamunan indah. Entah sudah berapa lama dia
berdiri di hadapanku. Sungguh ajaib karena aku sama sekali tak menyadari
kehadirannya. Tidurkah aku barusan?
“Eh, hehe. Kak Fery
mana?” tanyaku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
“Itu di sana, ayo
kesana ada temanmu juga yang nanti satu kapal sama kalian.” Kata kakak sambil
meraih tas yang dipangkuanku.
Aku tak tanya lagi
siapa orang yang dimaksud kakak, karena dari sini aku sudah lihat sosok yang
tidak asing lagi bagiku itu. Namanya Yudi, tapi sering dipanggil Smith.
“Kamu mau kemana?”
tanyaku ketika tiba di samping Smith.
“Jakarta,”
jawabnya, singkat.
Itulah dia,
orangnya sedikit cuek. Aku jadi tak tetarik ngobrol sama dia. Aku memilih diam
memandangi orang-orang yang masih sibuk kesana-kemari. Barang-barang
berserahkan kemana-mana. Saat-saat seperti ini butuh ekstrak hati-hati yang
tinggi, kalau lengah dan tidak memperhatikan barang-barang bawaan, bisa jadi
barang milik pribadi akan dibawa orang. Dalam keadaan seperti ini pencurian dan
barang tertukar sama barang orang lain sulit dibedakan. Jadi lebih baik menjaga
barang pribadi untuk menghindari hal-hal tidak menyenangkan.
Lama juga kami
menunggu kapal yang akan membawa aku ke tanah rantauan. Bagian bumi yang belum
pernah ku pijaki selain lihat di Televisi. Aku hanya berharap kota itu mau
menerima aku sebagai sahabatnya ketika tiba di sana nanti. Detik-detik
kepergian itu mulai terasa. Aku berusaha menahan semua yang tertahan di hatiku
sedari tadi. Aku sepertinya enggan untuk meninggalkan kota yang telah
membesarkanku ini. Aku tak berani menatap mereka. Mereka yang telah membesarkanku
sampai aku seperti sekarang ini. Mereka yang mendidikku menjadi anak yang baik.
Mereka yang dengan jerih payah menerjang panas terik mencari uang untuk
menghidupi serta membiayai sekolah dan bentar lagi akan membiayai kuliahku
juga. Mereka yang ku panggil Kakak. Terlintas dibenakku wajah wanita yang
selama ini aku kagumi. Beliau seorang pemberani, pantang menyerah, pekerja
keras, tak pernah mengeluh walau hujan badai, panas terik matahari membakar
kulitnya. Perjuangannya untuk mencari nafkah yang semata-mata hanya untuk
kebahagiaan aku nantinya. Satu sosok yang tidak ada sosok manapun di dunia ini
yang bisa menandingi ketulusan dan pengorbanannya. Sakit penyakit yang datang
silih berganti tak juga menggetarkan beliau untuk menyerah pada hidup. Kokokan
ayam jantan dan kicauan burung serta sinar sang surya selalu membangkitkan
semangatnya. Tak terasa air mata telah membanjiri pipiku. Beliau tak bisa
mengantar kepergianku ke tana rantauan, namun aku yakin doa tulus seorang ibu
selalu menyertai anaknya. Diam-diam aku bersyukur sama Tuhan, telah memberikan
sosok yang begitu sempurna dalam hidupku. Sosok indah yang ku panggil “Mama”
Beliau inspirasi dan sumber semangatku.
Toooommm…..
Tooommmm…. Ttooommmm…. Suara stom kapal Au mengagetkan aku dari lamunanku. Aku
mengusap air mata dan meraih koper serta tas kemudian menghampiri Fery dan
Ningsi (saudara perempuanku yang sama-sama akan kuliah bersama aku dan Fery di
Yogyakarta) serta Yudi alias Smith yang sudah berbaris dekat pintu masuk menuju
ruang tunggu. Kami harus bersabar beberapa menit menunggu penumpang kapal turun
semua. Setelah itu baru kami diperbolehkan untuk naik ke atas.
Saat yang
kutakutkan kini tiba. Aku harus berpisah dengan mereka semua, orang-orang yang
aku sayangi, deru ombak di saat menyambut sang mentari pagi akan selalu aku
rindukan. Semua yang ada di sini tak akan pernah aku lupakan. Saudara-saudaraku
hanya bisa melihat aku dari bawah sana. Sebentar lagi aku akan pergi. Semua
terasa sesak di dada. Tangis tak dapatku tahan lagi. Aku beranjak keluar dan
berdiri di bagian dek kapal untuk bisa melihat mereka lebih dekat. Saat aku
sampai di luar, betapa kagetnya aku karena di sana ada Smith yang lagi menatap
sang kekasih hatinya yang jauh di bawa sana, tatapannya kosong, hatinya mungkin
berantakan seperti yang aku rasakan sekarang. Perpisahan memang adalah hal yang
paling menyakitkan apalagi yang kita tinggalkan itu adalah orang-orang yang
sangat berarti dalam hidup kita. Akupun berdiri di sampingnya memandang
orang-orang yang sangat berharga di bawa sana, mereka semua menatapku seakan
mereka juga enggan melepas kepergianku. Tangiskupun menjadi. Kapal mulai
beranjak, aku tak kuasa menahan kesedihanku hingga aku tersungkur, sekaligus
menyembunyikan diri dari pandangan mereka. Kalau berlama-lama memandang mereka
tentu aku akan semakin sakit. Aku duduk bersandar di bagian dek kapal sambil
mengusap air mataku. Tak peduli dengan pandangan orang-orang yang melihatku.
Kualihkan pandanganku kepada sosok yang disampingku. Rupanya dia masih menangis
juga. Diam-diam aku memperhatikannya, bertahun-tahun aku ingin sekali melihat
cowok menangis secara natural (maksudnya menangis tanpa dibuat-buat kayak di
film-film itu). Dan baru kali ini aku melihatnya. Seorang yang aku sangka orang
yang super cuek dan tidak gampang meneteskan air mata, ternyata bisa
mengeluarkan air mata juga, itulah cinta, orang setegar apapun tapi kalau sudah
terjebak dalam cinta, air mata akan menjadi sahabat setianya. Satu hal yang aku
petik dari apa yang kulihat barusan, bahwa sebenarnya seorang cowok tidak
pantas mengeluarkan air mata, namun ternyata Cinta mengharuskan.
“Perpisahan
butuh air mata, karena Cinta dan air mata itu sepaket.” Oleh karena itu,
jangan malu untuk mengeluarkan air mata untuk orang yang kalian cintai, karena
dalam perpisahan air mata adalah lambang ketulusan.