Jumat, 01 Maret 2013

Dermaga Baru

Aku duduk sambil memangku sebuah tas, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang seperti setrikaan. Dulu aku sering jogging ke tempat ini setiap minggu subuh, kira-kira pukul 05:00. Bersama teman-teman kami menyusuri jalan yang lumayan jauh dari rumahku sambil berlarian kecil-kecil diiringi canda tawa. Teman-temanku punya wujud dengan sifat masing-masing yang aneh. Ada si kecil Adi yang biasa di panggil Abil alias Adi Billy. Ada juga si hitam manis Mike yang punya nama samaran Jipeng. Si playboy Lius yang terkenal dengan nama Chiko. Ada lagi si ceking Obet yang namanya diplesetankan oleh teman-temannya menjadi Kombet. Ada juga Roffi, tetanggaku yang selalu mengantar aku ke sekolah, yang sudah ku anggap sebagai Kakak. Ada Melfi alias Figo, cowok tinggi yang memiliki pita suara bagus.  Satu lagi, Jefry yang sering memanggilku dengan sebutan “kuok” dan aku pun memanggilnya dengan sebutan “sincan” karena suaranya sedikit mirip sincan (menurut aku). Dan masih banyak cowok-cowok tampan lain yang tak bisa ku sebutkan namanya satu per satu. Bukan hanya cowok-cowok saja, aku juga punya teman-teman cewek yang jadi teman setiaku waktu Jogging. Ada Dewi my best friend sekaligus sista terbaik. Ada juga kak Dorkas dan Serli dua orang saudara yang sering temani aku pulang sekolah sekaligus tetanggaku. Si cerewet Kiki yang sebenarnya lebih pantas jadi adik, tapi untuk kali ini dia masuk dalam daftar temanku karena dia juga pernah temani aku jogging. Terakhir si tomboy Mely. Mungkin baginya, aku ibarat baigon-tiga roda. Dia kalau jogging selalu bawa pacarnya. Alhasil aku yang berperan jadi penjaga nyamuk. 

Aku tersenyum mengingat masa bersama teman-temanku itu. Mereka yang sudah memberi warna di hidupku. Mereka yang telah membuat aku berarti. Mereka yang sangat aku sayangi. Sebentar lagi aku akan tinggalkan mereka. Nama mereka akan selalu ada di hatiku walaupun raga mereka tak ku lihat lagi. Mereka tetap teman-teman terbaik yang pernah mengisi hari-hariku. Walaupun terkadang mereka sedikit nyebelin, tapi mereka ngangenin. Aku pasti rindu saat-saat itu. 

“Ei, ngelamun aja,” Suara kakak mengagetkan aku dari lamunan indah. Entah sudah berapa lama dia berdiri di hadapanku. Sungguh ajaib karena aku sama sekali tak menyadari kehadirannya. Tidurkah aku barusan? 

“Eh, hehe. Kak Fery mana?” tanyaku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. 

“Itu di sana, ayo kesana ada temanmu juga yang nanti satu kapal sama kalian.” Kata kakak sambil meraih tas yang dipangkuanku. 

Aku tak tanya lagi siapa orang yang dimaksud kakak, karena dari sini aku sudah lihat sosok yang tidak asing lagi bagiku itu. Namanya Yudi, tapi sering dipanggil Smith. 

“Kamu mau kemana?” tanyaku ketika tiba di samping Smith.

 “Jakarta,” jawabnya, singkat. 

Itulah dia, orangnya sedikit cuek. Aku jadi tak tetarik ngobrol sama dia. Aku memilih diam memandangi orang-orang yang masih sibuk kesana-kemari. Barang-barang berserahkan kemana-mana. Saat-saat seperti ini butuh ekstrak hati-hati yang tinggi, kalau lengah dan tidak memperhatikan barang-barang bawaan, bisa jadi barang milik pribadi akan dibawa orang. Dalam keadaan seperti ini pencurian dan barang tertukar sama barang orang lain sulit dibedakan. Jadi lebih baik menjaga barang pribadi untuk menghindari hal-hal tidak menyenangkan. 

Lama juga kami menunggu kapal yang akan membawa aku ke tanah rantauan. Bagian bumi yang belum pernah ku pijaki selain lihat di Televisi. Aku hanya berharap kota itu mau menerima aku sebagai sahabatnya ketika tiba di sana nanti. Detik-detik kepergian itu mulai terasa. Aku berusaha menahan semua yang tertahan di hatiku sedari tadi. Aku sepertinya enggan untuk meninggalkan kota yang telah membesarkanku ini. Aku tak berani menatap mereka. Mereka yang telah membesarkanku sampai aku seperti sekarang ini. Mereka yang mendidikku menjadi anak yang baik. Mereka yang dengan jerih payah menerjang panas terik mencari uang untuk menghidupi serta membiayai sekolah dan bentar lagi akan membiayai kuliahku juga. Mereka yang ku panggil Kakak. Terlintas dibenakku wajah wanita yang selama ini aku kagumi. Beliau seorang pemberani, pantang menyerah, pekerja keras, tak pernah mengeluh walau hujan badai, panas terik matahari membakar kulitnya. Perjuangannya untuk mencari nafkah yang semata-mata hanya untuk kebahagiaan aku nantinya. Satu sosok yang tidak ada sosok manapun di dunia ini yang bisa menandingi ketulusan dan pengorbanannya. Sakit penyakit yang datang silih berganti tak juga menggetarkan beliau untuk menyerah pada hidup. Kokokan ayam jantan dan kicauan burung serta sinar sang surya selalu membangkitkan semangatnya. Tak terasa air mata telah membanjiri pipiku. Beliau tak bisa mengantar kepergianku ke tana rantauan, namun aku yakin doa tulus seorang ibu selalu menyertai anaknya. Diam-diam aku bersyukur sama Tuhan, telah memberikan sosok yang begitu sempurna dalam hidupku. Sosok indah yang ku panggil “Mama” Beliau inspirasi dan sumber semangatku. 

Toooommm….. Tooommmm…. Ttooommmm…. Suara stom kapal Au mengagetkan aku dari lamunanku. Aku mengusap air mata dan meraih koper serta tas kemudian menghampiri Fery dan Ningsi (saudara perempuanku yang sama-sama akan kuliah bersama aku dan Fery di Yogyakarta) serta Yudi alias Smith yang sudah berbaris dekat pintu masuk menuju ruang tunggu. Kami harus bersabar beberapa menit menunggu penumpang kapal turun semua. Setelah itu baru kami diperbolehkan untuk naik ke atas. 

Saat yang kutakutkan kini tiba. Aku harus berpisah dengan mereka semua, orang-orang yang aku sayangi, deru ombak di saat menyambut sang mentari pagi akan selalu aku rindukan. Semua yang ada di sini tak akan pernah aku lupakan. Saudara-saudaraku hanya bisa melihat aku dari bawah sana. Sebentar lagi aku akan pergi. Semua terasa sesak di dada. Tangis tak dapatku tahan lagi. Aku beranjak keluar dan berdiri di bagian dek kapal untuk bisa melihat mereka lebih dekat. Saat aku sampai di luar, betapa kagetnya aku karena di sana ada Smith yang lagi menatap sang kekasih hatinya yang jauh di bawa sana, tatapannya kosong, hatinya mungkin berantakan seperti yang aku rasakan sekarang. Perpisahan memang adalah hal yang paling menyakitkan apalagi yang kita tinggalkan itu adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidup kita. Akupun berdiri di sampingnya memandang orang-orang yang sangat berharga di bawa sana, mereka semua menatapku seakan mereka juga enggan melepas kepergianku. Tangiskupun menjadi. Kapal mulai beranjak, aku tak kuasa menahan kesedihanku hingga aku tersungkur, sekaligus menyembunyikan diri dari pandangan mereka. Kalau berlama-lama memandang mereka tentu aku akan semakin sakit. Aku duduk bersandar di bagian dek kapal sambil mengusap air mataku. Tak peduli dengan pandangan orang-orang yang melihatku. Kualihkan pandanganku kepada sosok yang disampingku. Rupanya dia masih menangis juga. Diam-diam aku memperhatikannya, bertahun-tahun aku ingin sekali melihat cowok menangis secara natural (maksudnya menangis tanpa dibuat-buat kayak di film-film itu). Dan baru kali ini aku melihatnya. Seorang yang aku sangka orang yang super cuek dan tidak gampang meneteskan air mata, ternyata bisa mengeluarkan air mata juga, itulah cinta, orang setegar apapun tapi kalau sudah terjebak dalam cinta, air mata akan menjadi sahabat setianya. Satu hal yang aku petik dari apa yang kulihat barusan, bahwa sebenarnya seorang cowok tidak pantas mengeluarkan air mata, namun ternyata Cinta mengharuskan. 

“Perpisahan butuh air mata,  karena Cinta dan air mata itu sepaket.” Oleh karena itu, jangan malu untuk mengeluarkan air mata untuk orang yang kalian cintai, karena dalam perpisahan air mata adalah lambang ketulusan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design