Rabu, 27 Juni 2012

Adikku "Dino dan Nina"

“Gak,,, aku gak mau makan. Gak mauuu....” teriak Nina menolak dengan kasar makanan yang diberikan Ibu. “Sayang, kamu seharian udah gak makan. Sekarang kamu harus makan supaya jangan sakit. Kamu harus merelahkan kepergian Dino. Kamu harus percaya pada kenyataan. Kakak kamu udah gak ada, Dia sudah meninggal sayang. Ikhlaskan dia.” Kata Ibu sambil mengelus-elus rambut Nina. “Gak... Kakak belum meninggal. Dia lagi maen sama teman-temannya. Bentar juga dia pulang kok, Aku mau nungguin dia sampai pulang.” 

Yaakkhhh,,,,Itulah Nina. Adikku yang bungsu. Kami terdiri dari 3 bersaudara. Aku, Dino dan Nina. Awalnya kami adalah keluarga yang cukup bahagia dan saling menyayangi. Karena aku sibuk dengan kerjaku di kantor, dan mengingat umurku yang jauh lebih tua, maka aku jarang bermain sama mereka. Aku lebih sering membantu Ibu untuk menyelesaikan tugas rumah.  Dino dan Nina sangat dekat. Kemana-mana mereka selalu berdua. Bahkan saat makan saja, kalau Dino belum pulang kuliah, Nina gak akan mau makan. Begitupun sebaliknya.
Aku sangat senang melihat kedua adikku akur dan saling menyayangi seperti itu. Kadang sesudah pulang dari kerja, Aku sering usilin mereka kalau lagi berduaan, “ciiee,,, kayak yang lagi pacaran aja nih, awas lho pacar-pacar kalian nanti bisa cemburu lihat kedekatan kalian,” “biarin, kalau disuruh milih, antara pacar sama Dede, aku pasti akan lebih milih Dede,” jawab Dino sambil memeluk Nina. Biasanya kalau sudah seperti itu pipi Nina pasti akan memerah karena malu. “Ia deh, aku sayangg banget sama kalian,” kataku sambil merangkul mereka. Ayah dan Ibu kadang ikut terharu kalau sudah melihat momen-momen seperti itu.

Tapi, sayangnya kebahagiaan itu gak bertahan lama. Suatu hari, Nina mengajak Dino untuk pergi ke kebun binatang. Sebenarnya Dino mau ke kampus karena ada rapat panitia penerimaan mahasiswa baru. Tapi, karena ajakan Nina, dia batal ke kampus dan menemani Nina ke kebun binatang. Di tengah perjalanan, gak tahu kenapa, mobil yang dikendarai Dino remnya blong. Dino kebingungan mengendalikan mobilnya. Kemudian,,,,, pprraaakkkkkk!!!!!!!!!!!!!! Mereka kecelakaan. Dino menabrak pohon besar yang berada di pinggir jalan. Mereka mengalami luka yang serius. Mereka berdua sama-sama pingsan. Untung di dalam mobil itu ada kartu nama keluarga. Jadi warga di tempat itu gak kesulitan mencari kami.

“Dinnnooo,,, Ninaaa,,,, kenapa bisa terjadi seperti ini sama kalian,,, Dinooo,,, Ninaaaaa,,,” tangis Ibu sambil menguncang-guncang tubuh mereka berdua setelah sampai di rumah sakit. “Maaf bu, pasiennya harus segera kami bawah ke ruang ICU, ibu mohon tunggu di luar,” kata salah seorang perawat. Aku dan Ayah hanya diam. Seluruh tubuhku terasa kaku. Aku pengen nangis, teriaakk, dann,,, akhhh.... kulihat Ibu jatuh tersungkur dan terus menangis sambil memanggil-manggil nama Dino dan Nina. Perlahan-lahan Aku mendekati dan memeluknya “Bu, sabar ya, kita tunggu hasilnya dari dokter, kita berdoa dalam hati semoga mereka hanya pingsan biasa, dan luka-luka mereka bisa terobati.” Kataku sambil berusaha menenangkan Ibu. Ayah berjalan menjauh dari kami dan menyandarkan diri tak berdaya disalah satu kursi di ruang tunggu. Dia sedang coba berusaha menenangkan diri. 

1 jam, 2 jam, 5 jam sudah kami menunggu tapi belum juga ada kabar dari dokter. Aku makin resah, jangan-jangan terjadi apa-apa sama adikku. Oh Tuhan, tolong Dino dan Nina, aku sangat menyayangi mereka. Aku gak mau mereka kenapa-kenapa. Aku terus berdoa dalam hati. Untuk kesekian kalinya kurangkul Ibu yang gak ada henti-hentinya menangis. Aku jadi kasihan melihat Ibu. Lemah!!!

“Apa kalian keluarga dari Dino dan Nina?” tanya dokter kemudian. “I..ia, gimana keadaan anak saya,” kata Ayah dan Ibu bersamaan. “Sebelumnya, kami mau minta maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mugkin. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dino gak bisa kami selamatkan. Hanya Nina yang masih ada kesempatan untuk tetap bersama kalian.” Tubuhku makin kaku. Aku jatuh tersungkur. Aku gak tahu dan gak ingat apa yang terjadi pada Ayah dan Ibu sebelum semuanya terasa gelap.... Sunyi.... Aku pingsan!!

Setelah kejadian itu. Nina menjadi stres. Dia menyalahkan dirinya kalau dia yang menyebabkan Dino meninggal. Dia beranggapan kalau saja dia tidak mengajak Dino ke kebun binatang, semua ini tidak akan terjadi. Sudah seminggu setelah kepergian Dino, Nina mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Badannya kurus. Lemas. Sudah seperti orang yang tidak terurus. Aku berusaha menggantikan Dino di hati Nina. Tapi Nina malah cuekin aku. Dia selalu nanyain Dino setiap Aku menghampiri dia di kamar. Bahkan novel –novel kesukaannya yang Aku berikan juga gak dipedulikan lagi. Semakin hari, kondisi adikku Nina makin memburuk. Bahkan sekarang lebih memprihatinkan. Dia bahkan sudah tidak percaya pada kenyataan. Dia pasti akan marah besar ketika mendengar orang megatakan kalau Dino sudah meninggal. Aku hanya bisa menangis setiap kali memandangi Nina yang lagi berbicara pada boneka panda hadiah ulang tahun yang diberikan Dino saat dia sweet seventeen beberapa bulan sebelum kecelakaannya. Dia berbicara pada boneka panda itu seolah-olah dia lagi bicara sama Dino.

Sore itu psikiater pribadi kami datang mengecek keadaan Nina untuk kesekian kalinya. Karena psikiater itu mendapati tidak adanya perubahan pada diri Nina tapi malah menjadi tambah parah, dia terpaksa mengatakan bahwa “tidak ada lagi cara lain untuk menyembuhkan Nina kecuali membawa Nina pergi dari rumah itu. Jauhkan dia dari hal-hal yang ada hubungannya dengan Dino atau yang menyangkut dia dan kakaknya itu. Memang butuh proses dan waktu yang cukup lama untuk membawa Nina menjadi normal kembali seperti Nina yang dulu karena ikatan batin sama kakaknya itu sangat kuat. Yang dibutuhkan Nina sekarang adalah motivasi dan kasih sayang dari kalian sebagai orang-orang terdekatnya”. Kata-kata psikiater itu sedikit membawa kelegaan sekaligus kekecewaan kepada aku dan juga orang tuaku. Ada sedikit rasa enggan dari kami untuk berpisah dari Nina. Tapi, demi kesembuhan Nina, kami harus merelakan Nina selama 1 tahun atau bahkan lebih untuk jauh dari kami. Nina akan dibawa psikiater itu ke Amerika untuk menenangkan diri di sana sekalian untuk menyembuhkan rasa trauma dan frustasinya.

Aku dengan berlinang air mata memapah Nina menuju mobil. Hari ini hari terakhir kami bersama Nina. Bukan Aku saja yang merasakan kesedihan ini, tapi orang tuaku juga. Kulihat Ibu bersandar lemah di bahu Ayah dengan penuh air mata. Sangat berat bagi kami. Tapi hanya itu yang bisa kami buat. Nina harus pergi dengan sejuta kebohongan. Tidak gampang kami membujuk Nina untuk keluar dari kamar, dan melepaskan boneka panda pemberian Dino. Satu-satunya cara yang kami lakukan yaitu berbohong padanya. Kami mengatakan pada Nina bahwa dia akan dibawa untuk bertemu Dino. Aku meyakinkan padanya bahwa Dino sedang menunggu kedatangannya. “Yang benar???  Kakak  pasti sudah menyediakan hadiah spesial buat aku. Hmm, pasti hadiahnya kalung. Kakakkan pernah janji buat beli’in aku kalung. Nanti kalau aku sudah ketemu Kakak, akan aku tanyain dia, kenapa dia perginya lama sekali, dan gak pernah ngasih kabar ke aku. Aku pengen crita lama-lama lagi sama Kakak. Aku udah kangen banget ma dia,,” balas Nina dengan polosnya. Kasihan dia. Aku merasa sangat jahat.

Akhirnya perpisahan itupun benar-benar menjadi kenyataan. Aku, Ayah, dan Ibu hanya terpaku memandangi mobil yang membawa Nina pergi, sampai mobil itu sudah tidak kelihatan. “Ninnaaaaaaa,,,,,,,,,” teriakku sambil berlari mengejar mobil itu. Semakin jauh aku mengejar, lututku terasa semakin kaku. Aku tersungkur lemah tak berdaya. Aku berteriak sesuka hatiku. Aku lepas semua kekesalan yang tertahan dihatiku selama ini.

Satu tahun sudah berlalu. Kriiinggg,,,krriinnggg,,,, telepon rumah berbunyi. “Halo?” jawabku. “Halo? Ini sama kak Amanda ya,” balas yang menelpon. “Ia, ini siapa ya?” tanyaku penasaran. “Hayo, coba tebak, aku siapa hayoo,,,” “Ninaa??? Kamu beneran Nina kan???” teriakku kegirangan karena Aku ingat banget kebiasaan Nina yang suka sekali ngerjain orang pake tebak-tebakan. “Ia kak, ini Nina” jawabnya singkat. Tanpa sadar Aku menitikkan air mata. mulutku terasa berat untuk berbicara. Baru kali ini dia manggil Aku dengan sebutan ‘Kakak’, dia biasa panggil Aku “Amanda” aja. “kak Amanda masih di sana kan?” tanyanya lagi. Aku masih terdiam. Aku menyerahkan teleponnya sama Ibu. “Halo? Ini Ibu sayang,” kata Ibu pelan. Aku gak tahu apa yang dibicarakan Ibu sama Nina. Aku masuk ke kamar. Aku sepertinya belum percaya kalau Nina manggil Aku kakak. Aku sepertinya tidak tenang. Aku kembali ke ruang tamu. Kulihat Ayah sekarang yang sedang berbicara dengan Nina. Aku mendekati Ayah, “Yah, boleh gak Aku ngomong sama Nina sebentar,” kataku dengan polos. “Boleh dong, Nina nih kakakmu mau bicara,” kata Ayah kemudian dan meyerahkan gagang telepon itu sama Aku. “Nin, aku boleh manggil kamu Dede?” tanyaku memberanikan diri, tapi dengan suara pelan. “Lho, kok kakak malah nanya, boleh dong kak, Aku kan adiknya kakak,” jawab Nina smangat. Aku kembali terdiam. Nina nerusin pembicaraannya, “kak, maafin aku ya, kalau selama ini aku selalu menganggap kakak gak ada, bahkan disaat kak Dino sudah gak ada pun aku masih cuekin dan gak mau nerima kakak, aku nyesal kak, padahal yang sayang sama aku bukan hanya kak Dino doang, ada kak Amanda, Ayah dan Ibu. Makasih ya, sudah jadi kakak yang baik buat aku selama ini. Aku sayang kak Amanda.” Aku mendengar suara Nina putus-putus. Sepertinya dia menangis. Aku ikut terharu. “iya De, maafin Kak Amanda juga ya, selama ini kakak terlalu sibuk dengan kerja kakak sehingga kakak jarang bermain bersama kamu, mulai sekarang kakak janji akan jadi kakak yang selalu ada disaat adiknya membutuhkan, kakak akan menjadi kakak yang baik seperti kakak Dino kamu.” “Kak Amanda….” Suaranya terhenti, sepertinya dia sedang berusaha menahan tangis. Aku membiarkan dia. Lama kami berdua saling membisu. “Dede, gimana keadaan kamu sekarang?” tanyaku setelah lama berdiam. “Aku sekarang baik-baik saja kak, aku juga udah nerima semua kenyataan. Aku sadar kak bahwa setiap pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan. Begitupun aku sama Kak Dino. Walaupun berat tapi aku sudah bisa menerima itu semua.  Makasih ya, aku seperti ini juga karena kalian. Sekali lagi makasih banyak ya kak, untuk semuanya.” Kata-kata Nina  membuat Aku legah sekaligus terharu. “Ia Dede, kamu baik-baik ya disitu, jangan nakal,” jawabku sambil tersenyum bahagia. Walaupun kami tidak saling lihat tapi Aku merasa kalau Nina juga sedang tersenyum mendengar kata-kataku.

Hhmmm,,,, Aku menarik nafas legah. Ternyata benar, semua akan terasa indah pada waktunya. Itu yang kurasakan sekarang. Thanks God!! Bisikku dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design