Rambut
panjang, hitam lembut. Kulit sawo matang dengan alis tertatah rapi. Bentuk hidung
pas-pasan, tidak mancung juga tidak pesek. Senyum manis, bibir indah merah
delima. Riani, begitu kudengar orang-orang memanggil namanya. Nama yang indah
bukan? Ya. Gadis manis yang menjajahkan kue di samping sekolahku itu namanya
Riani Aditya.
Diam-diam
aku mengagumi gadis itu. Walau ada beberapa komentar menggelikan yang kudengar
dari teman-teman cewek di sekolah, “hih, cantik cantik kok jualan kue pisang...“ Aku
tertawa dalam hati, lalu bergumam sendiri, “anak sekolah kok, bego!”
Ya.
Aku menganggap bego semua orang yang menganggap rendah pekerjaan Riani. Hello?
Jaman sekarang apa masih ada anak yang mau membantu orang tua untuk berjualan
kue atau sejenisnya? Masih ada? Sadar atau tidak, jaman sekarang jamannya anak
yang jadi majikan dan ibu-bapak jadi ‘pembantu’.
Diakui
atau tidak, namun itulah realita hidup jaman
now. Kasih sayang dan cinta yang besar dari orang tua seringkali dimanfaat
anak untuk memeras orang tua dengan kejam. Kebutuhan mereka harus jadi yang pertama.
Kecantikan dan kegantengan mereka itu yang diutamakan. Masalah moral. Masalah menghargai.
Masalah kasih, cinta dan keharmonisan itu masalah nomor sekian, atau bahkan
tidak termasuk dalam daftar hidup untuk dilakukan.
“Aku
tamatan SMP, Kak. Aku masih bantu ibu jualan kue, untuk kumpulin modal buat
lanjut ke SMA tahun depan. Aku juga pengen bersekolah di sini, Kak,” Begitu jawab
Riani, saat aku memberanikan diri mengorek privasi-nya. Luar biasa, bukan? Mulia
sekali perbuatan anak ini. Kalau boleh jujur, aku sangat iri dengan kebaikan
hatinya, sekaligus malu pada diri sendiri, menyadari bahwa aku laki-laki yang
masih suka merengek dan suka minta ini-itu pada orang tua.
Riani,
aku berdoa untukmu. Untuk cita-cita muliamu, aku percaya tahun depan kita akan
sama-sama mengenakan seragam yang sama. Walau mungkin nanti kamu akan jadi adik
kelasku, namun pelajaran hidup yang sudah kamu jalani membuatmu selangkah lebih
maju daripada aku.
Riani,
mengapa setiap kali menyebut namamu, atau sekedar mengingat wajahmu, hatiku
berdebar-debar? Kira-kira mengapa hatiku seperti itu, Riani?
Riani,
tahun depan kalau kita sudah menggunakan seragam yang sama, aku ingin
membisikan sesuatu padamu. Sesuatu itu yang mendorongku untuk terus ada
didekatmu sekarang. Semoga kamu tidak merasa aneh, karena tiba-tiba ada makluk
asing yang menawarkan diri membantumu jualan. Itu semua kulakukan karena dada
ini sesak, Riani! Dada ini sesak, jika sehari saja tidak melihatmu. Semoga kamu memahami
getaran ini, Riani.
0 komentar:
Posting Komentar