Pada
hari itu, aku seolah orang yang tidak mencintaimu. Aku menjadi orang yang sangat
tega melepasmu. Tidak ingin lagi menggenggam lenganmu atau memeluk tubuhmu. Tidak
ingin lagi melakukan apa-apa agar kamu tetap di sini, bahkan bertemu denganmu
pun menjadi sesuatu yang tidak kuinginkan lagi.
Seperti
daun yang jatuh, lalu diterbangkan angin. Disaat seperti itu, ia tak lagi punya
kuasa melawan angin, ia akan terhempas dimana saja angin menghempasnya. Demikian
aku saat ini. Aku benar-benar tak kuasa pada diriku sendiri. Aku malu pada ketidaktahudirianku.
Aku malu pada kelancanganku. Aku lupa bahwa aku belum memilikimu sepenuhnya. Dan
satu hal lagi yang aku lupa, aku tak
punya hak sedikitpun untuk mengorek privasi-mu. Betapa bodohnya aku telah
melakukan semua itu semua.
Tapi
apa daya, ditengah jalan pergiku, waktu malah membawa kembali kenangan-kenangan
itu. Kenangan manis beberapa bulan lalu tepat di hari ulang tahunku berhasil
membuat satu tetes air jatuh dari mataku. Kemudian serentetan canda, tawa,
perhatian dan sayangmu yang sudah kurasakan dengan tulus ikut menguasai
pikiranku tanpa bisa kuhentikan.
Aku
terjebak dalam amarah yang kuciptakan sendiri. Dan air mata ini? Ah peduli
setan. Biarkan saja mengalir. Karena aku sendiri yang memulai semua ini. Jadi biar
saja air mata ini terus mengalir. Sampai habis. Dan kemudian. Mati!