Mbel, temen gue lagi jatuh cinta nih. Tiap hari wajahnya berseri-seri, semangatnya ngalah-ngalahin orang yang lagi demo. Bukan semangat ngerjain skripsi, bukan pula semangat traktirin gue makan, Mbel. Tapi semangat critain cowok yang sekarang lagi bersemayam indah dalam hatinya.
Gue akhirnya paham jatuh cinta itu seperti apa, Mbel. Usia tidaklah menjadi penghalang. Meski usia mereka terpaut jauh, namun itu tidak mengurangi rasa sayang mereka satu sama lain. Jarak yang juga mendaftarkan diri untuk menjadi pengganggu hubungan mereka dikalahkan dengan telak oleh besarnya cinta dan rasa saling percaya kedua insan itu.
Gue seneng liat dia seneng. Karena setidaknya dia gak ngerepotin gue dengan kerempongannya. Jangan salah, temen gue yang satu ini memegang prestasi orang terempong sedunia, jadi kalau ingin jalan bareng dia, jangan lupa bawa stok kesabaran sebanyak-banyaknya. Ya, usahakan harus banyak. Gak usa penasaran, Mbel. Karena gue gak bakal ceritain kerempongannya di sini, ntar kalo di baca sama dia, gue bisa dikutuk jadi gorila. Oh tidak, itu mengerikan skali.
Kembali ke te-ka-pe. Ya, selama dia jatuh cinta, kerempongannya berkurang 80%. Namun jangan dikira penderitaan gue selesai. Tidak! Muncul masalah baru.
Kali ini yang jadi korbannya adalah kuping gue. Iya, dari proses dia kenalan sama cowok itu, dari siapa yang terjun bebas dari Solo ke Jogja, sampai pada tahap pendekatan, siapa yang nekad minum air comberan dan ngemil bunga mawar agar cintanya gak di tolak, hingga berujung pada proses penembakan, seperti pelurunya diimpor dari mana, senapannya di rancang oleh siapa. Gue tahu semuanya. Gue benar-benar update informasi tentang dia. Kalo gue jadi wartawan, mungkin nama gue langsung naikdaun bisa jadi naikpohon saking lengkapnya informasi yang gue dapetin. Sayangnya, dia bukan public figure dan gue gak punya bakat untuk jadi wartawan.
Semua tempat yang kami tongkrongin menjadi saksi bisu curhatan dia. Dan dari semua tempat itu, gue yakin tempat yang paling bosan menampung berat badan kami dan mungkin merasa en'ek dengerin suara kami adalah burjo depan kosan gue, karena saking seringnya kami nangkring di situ.
Itu semua terasa semenjak ada setumpukan kapas di burjo itu setiap kali kami ke sana. Awalnya gue bingung, kenapa di burjo ada benda seperti itu. Mungkinkah selain menjual makanan, burjo itu memproduksi kapas? Entahlah. Namun, ketika gue prediksi lebih jauh, gue amati, gue teliti dengan cerdas, akhirnya gue nemuin jawabannya. Ternyata kapas itu digunakan untuk menyumbat kupingnya setiap kali kami bertamu ke tempat itu.
Sungguh terhina sekali nasib kami, sampai sebuah burjo pun harus menyumbat kupingnya demi terhindar dari suara-suara sumbang. Padahal itu curhatan hati loh, bukan curhatan si Olga Syaputra.
Tapi untunglah gue orangnya baik hati, suka menolong, dan rajin menabung (ehm!). Gue gak jahat seperti burjo itu. Dengerin dia curhat setiap hari memang ada rasa bosan. Namun, rasa bosan itu dikalahkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Bukan kepo loh. Kepo itu milik si alay dan gue bukan makhluk alay. Gue cuma penasaran apa yang membuat dia tiba-tiba tersenyum sendiri, membuat dia tiba-tiba ngobrol sendirian sama handphone sambil tersenyum senang. Gue juga pengen liat wajah ceria itu setiap hari. Itulah mengapa gue selalu ingin jadi pendengar setia.
Buat temen gue si rempong, jangan pernah wajah ceria itu terganti cemberut apalagi dihiasi air mata. Jangan! Gue gak ingin lihat itu lagi. Karena gue pernah ikutan gila waktu lo patah hati. Gue ikutan stres waktu lo galau. Gue ikut panik kala di atas motor lo triak seperti orang depresi.
Tinggalkan masa lalu lo, jadikan itu pengalaman dan kenangan.
Waktu sekarang, saat ini adalah waktu bahagia, lo! Nikmatilah!
Semoga cinta kalian berakhir di pelaminan.
Untuk mereka yang saat ini jatuh di jurang yang bernama Cinta, jangan seorang pun menolong mereka untuk keluar dari jurang itu, biarkan mereka hidup di dalam sana sampai malaikat menjemput mereka.
Kalian, bahagialah!!!!
Kalian, bahagialah!!!!