Sabtu, 15 Juni 2013

Habis cerah, terbitlah mendung

Kejadian malam tadi tak akan mudah keluar dari memoriku. Akan tersimpan rapih dan tertatah indah di laci otakku.

Awalnya kita tertawa, Kau menertawakan kekonyolanku. Kau dan aku begitu gembira, hingga semut-semut itu berhenti hilir mudik dan berbaris rapih menonton kita. ya, kita. Kita yang sedang jatuh cinta. Kita yang merasa bahwa kaulah sang pangeran itu dan aku adalah sang putri. Kau menggenggam jemariku dengan erat seakan tak igin ada satu setan dua binatangpun yang memisahkan kita, kau berucap, "aku sayang kamu," lalu kau kecup keningku. Aku hanya membalas dengan senyuman, namun kau tak puas, senyum yang tak berarti. Itu pikirmu. Tanpa tahu bahwa saat aku tersenyum itu aku sedang memohon pada-Nya "Tuhan, semoga dialah tulang rusukku,"
Kau terus meragukan aku. Tanpa kau sadari bahwa dalam hati kecilku pun merasakan hal yang sama, yaitu keraguan. kenapa? karena aku sayang. Aku cinta. tapi, aku hanya bisa tersenyum dan lagi-lagi aku hanya menjawab dalam hati.

Ditengah-tengah kebahagiaan kita menikmati indahnya kebersamaan, aku terkejut setengah tak percaya mendengar kau mengucapkan kalimat itu. Bukan kalimat perpisahan. Tapi bisa disebut sebagai umpatan. Kalimat yang hanya terdiri dari dua kata itu bagai dua buah belati yang melayang dan hinggap tepat mengenai ulu hatiku. Sakit. Sangat sakit mendengar kau mengucapkan dua kata yang sangat-sangat tidak pantas kau ucapkan pada orang yang kau sayang.

Aku marah, benar-benar marah saat ini. Keraguanku terbukti, aku takut mendekatimu sekarang. Kau jahat. Mungkin menurut kau, dua kata itu merupakan mainan bibir yang seenaknya kau teriakkan. Tapi bagiku, dua kata itu bukan mainan bibir, itu adalah dua kata keramat yang seharusnya tak kau keluarkan.

Malam makin liar menggigit. "Kita putus!" hanya kata itu yang bersahabat dengan piluku dan mampu keluar dari mulut. AKu memintamu untuk mengantarku pulang. Namun, kau terus mengucapkan kata maaf. Kau bersikeras tak ingin putus. Mungkin kau benar-benar menyesal. Mungkin benar katamu bahwa kau tak sengaja mengucapkan dua kata keramat itu. Tapi aku sudah terlanjur marah, benci dan kecewa. Aku sudah tak mempercayaimu lagi. Maaf, raga ini kian merengkuh dan tak bisa lagi kembali bersandar pada sosok indah sepertimu. Bunyi derai gerimis yang menyapu atap terdengar makin membakar telingaku. Aku tidak bisa pulang sekarang. Awanpun menangis, mungkin ia sedang turut merasakan gejolak amarah dan kekecewaan yang aku rasakan. Entah! Yang aku tahu, bintang dan awan tak pernah bersahabat. Hingga aku menutup malam dengan kekesalan dan kekecewaan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Gembel Ceria Template by Ipietoon Cute Blog Design