Mual
itu ketika baru dua hari berstatus mantan, kamu melihat dia bergadengan mesra
dengan orang lain. Mual banget, kan? Sakit sih, semacam ada perasaan kesal
pengen jambak rambutnya, pengen tusuk-tusuk mukanya yang sok ganteng itu dengan
jarum. Aku memalingkan wajah dan pura-pura tidak melihat. Tapi, tiba-tiba ada
yang memanggilku.
“Hei,
Nat. Ternyata kamu di sini juga?”
Spontan
aku menghentikan langkah, mengatur nafas dengan baik. Berusaha menenangkan hati
dan pikiran kemudian berbalik dengan senyum terpalsu yang kubuat dengan susah
paya.
“Oh
hai Darlan. Iya, aku mau beli novel terbarunya Boy Candra.”
“Udah
ketemu?”
“Udah
nih. Aku duluan ya..”
“Eh,
sebentar. Kamu gak mau kenalan sama teman baruku?”
Jedarrr.
Seperti tersambar petir, rasanya badanku kesetrum semua. Bahkan aku sudah tidak
punya tenaga untuk berdiri.
“Kok
diam, Nat..?”
Pertanyaannya
membuatku sedikit mendapatkan kesadaranku kembali.
“Hai,
kenalin, aku Tiara, pacarnya Darlan.”
Gubrak.
Gak bohong, kali ini aku beneran pusing. Aku mual. Aku lemes. Rasanya sedikit
lagi aku akan mati. “Oh Tuhan, kuatkan hamba-Mu menghadapi kenyataan pahit
ini”. Doaku dalam hati.
Brruuukkk.
Aku terjatuh. Seseorang menabrakku. Aku berusaha membuka
mata dan aku melihat seorang pangeran. Aku berusaha melihat dengan jelas, dia
mengulurkan tangannya padaku, wajahnya makin kabur. Aku berusaha meraih
tangannya tapi tiba-tiba semua terasa gelap dan aku sudah tak sadarkan diri.
*****
“Kamu
sudah sadar?” suara lembut itu terdengar tepat dihadapanku. Aku membuka mata
perlahan-lahan dan oh my God, siapa
lelaki tampan ini? Wajahnya bercahaya seperti pangeran dari kayangan.
“Nat,
kamu sudah sadar?” suara sumbang itu langsung mengembalikan ingatanku pada
kejadian beberapa menit yang lalu. Aku benci suara itu dan sekarang ia belagak
sok perhatian terhadap aku. Ia mendekatiku dan menampilkan wajah panik dengan
pertanyaan yang buat perutku mual, “apa tidak sebaiknya kita ke rumah sakit
saja, Nat?”
Pengen sekali aku teriak dihadapannya bahwa sesungguhnya yang butuh
dokter saat ini adalah dia. Dia itu yang sakit otak. Apa coba maksud dia datang
ke toko buku langgananku dengan mambawa pacar barunya. Apa dia mau menunjukkan
bahwa pacarnya yang sekarang hebat, karena berhasil membujuk dia agar bisa
bersama ke toko buku? Selama aku mengenal dia, Darlan adalah seorang manusia di
bumi ini yang anti dengan toko buku. Mendengar namanya saja mungkin ia akan
sekarat. Tapi siang ini, setan apa yang membawanya ke sini dan meremukkan
hatiku separa ini?
Aku
berusaha berdamai dengan hatiku yang ingin sekali meludahi wajah munafik itu.
Cukup sudah adegan memalukan yang aku ciptakan tadi. Aku harus bisa menguasai
diri agar bisa mengambil sikap yang baik. Aku tidak akan menunjukkan
kelemahanku lagi. Aku harus terima kenyataan bahwa ia telah menemukan pacar
baru, walau baru dua hari kami putus. Karena begitulah cinta, bukan? Ia datang
seperti pencuri dan hilang seperti hantu.
“Kamu
tidak apa-apa? Aku minta maaf, karena terburu-buru aku tidak sengaja
menabrakmu sampai pingsan begini. Aku sangat merasa bersalah. Aku akan menebus
kesalahanku. Apapun yang kamu minta aku turuti, sekali lagi aku minta maaf.”
Suara
itu menetralkan hatiku. Aku menatap baik-baik laki-laki yang sedang merasa
bersalah di depanku saat ini. Dia baik. Dia tampan. Dan dia bertanggung jawab.
Itu kesan pertama yang kudapatkan dari sepersekian menit bersama lelaki ini.
“Saya
Nata, kamu benar-benar ingin menebus kesalahanmu dengan apapun yang ku minta?”
tanyaku sambil mengulurkan tangan bermaksud menyalami dia sambil memperkenalkan
nama.
Ia
menerima salamanku sambil menjawab, “Saya Jerome. Iya, Nat. Apapun itu...” diikuti
senyum yang tulus menurut penglihatan dan analisaku. Ia dia benar-benar
tersenyum dengan tulus.
“Hei
bro. Kamu gak usah repot-repot sampe segitunya. Nata ini emang suka pusing,
jadi gausah ngerasa bersalah gitu. Kalau kamu buru-buru kamu pergi aja, Nata
gak apa-apa kok”. Manusia sumbang di sampingku tiba-tiba ikut bicara
seolah-olah dia punya hak atas diriku untuk bicara seperti itu
“Darlan,
bukannya kamu harus nganterin Tiara nyari buku. Ngapain ngurusin orang di sini.
Kasian pacarmu sudah menunggu dari tadi. Tiara, sori ya atas insiden tadi. Aku
Nata, temannya Darlan dari kecil, jadi kalau kamu mau cari tahu tentang
kekonyolan dia waktu kecil kamu boleh tanya aku. But, slamat ya, kamu wanita
pertama yang berhasil membawa Darlan ke toko buku, karena tempat yang paling
dibenci oleh Darlan seumur aku kenal dia adalah toko buku. Tapi hari ini, aku lihat
dia sangat menikmati sejuknya toko buku. Kamu hebat, Ra..”
Gak
tahu darimana kata-kata itu mengalir dengan sendirinya dari mulutku. Berkat
Jerome aku lebih dari sehat saat ini. Sehat hati, dan sehat pikiran.
“Beneran,
Nat? Serius Darlan gak suka toko buku? Tapi dia loh yang ngajakin aku ke sini,
aku juga malas sebenarnya, tapi karna dia ngajakin untuk jalan-jalan sebentar
ke toko buku, ya udah aku manut aja,”
“Darlan
niat untuk jalan-jalan ke toko buku? Apa aku gak salah dengar? Seseorang yang
sangat membenci toko buku menggunakan alasan ‘jalan-jalan’ untuk ke toko buku?
Menurutku, itu gak masuk akal banget. Untuk tugas kuliahpun dia meminta aku
untuk carikan di toko buku. Dan sekarang dia malah mengajak Tiara untuk jalan-jalan
ke toko buku? Apa dunia secepat itu terbalik ya?”
Aku geli sekaligus prihatin mendengar
perubahan drastis dari seorang Darlan, baru dua hari sejak kami sepakat untuk
putus karena kami merasa sudah tak saling cocok, dan kami memutuskan hubungan
untuk tidak pacaran lagi dengan baik-baik, diapun mengiyakan walau dengan
sedikit berat hati, tapi kami sepakat untuk tetap bersahabat. Lalu kenapa
sekarang dia seperti ini? Dia rela berbohong hanya untuk menunjukkan pacar
barunya padaku. Aku yakin, dia sengaja ajak Tiara ke toko buku untuk bertemu
denganku, atau lebih tepatnya dia ingin menunjukkan padaku bahwa tak perlu
waktu lama untuk mencari penggantiku. Dia ingin meyakinkanku bahwa ia telah
mendapatkan wanita yang lebih baik dariku. Sedangkan aku, masih tertatih-tatih
pasca putus dengannya.
“Nat,
kok jadi ngelamun? Kamu tahu gak aku dah semingguan loh pacaran sama Darlan,
tapi gak pernah dia cerita kalau dia itu anti toko buku, malah dia ngajakin aku
jalan-jalan ke sini. Dia juga sering ceritain kamu, kalau kamu itu sahabatnya
dari kecil dan penggila novel Boy Chandra,”
Sisa
kata-kata Tiara aku gak dengar dengan jelas karena aku mendadak shock dengan kalimat ‘udah semingguan
pacaran’. Tanpa sadar aku mengucapkan kalimat itu dengan suara yang hampir
tidak keluar, tapi cukup ditangkap oleh pendengaran Tiara.
“Loh,
emangnya Darlan gak bilang, Nat? Katanya kamu sudah tahu kalau kami pacaran,”
Tiara sedang sangat bahagia sehingga ia tidak bisa membaca perubahan raut
wajahku. Entah dia pura-pura bego atau memang bego.
Aku
memalingkan wajah ke arah Darlan, meminta penjelasan atas apa yang barusan aku
dengar, namun ia sibuk dengan handphone-nya
dan seolah-olah ia tidak tahu menahu tentang apa yang kami bicarakan.
“Nat,
kalau gak keberatan aku antar kamu pulang sekarang ya, kamu harus istirahat,”
Jerome membangunkanku dari mimpi buruk, dia membangunkanku sebelum aku pingsan untuk yang kedua kalinya.
“Kamu kelihatan kurang sehat, aku antar pulang saja ya..” sambungnya lagi.
Sekuat
apapun aku berjuang melawan rasa sakit, tetap saja aku lemah. Tetap saja aku
sekarat apalagi dilukai sedalam ini. Kami putus dengan baik-baik dua hari yang
lalu. Dia menyalahkan aku yang kurang memperhatikan dia. Dia menyalahkan aku
karena aku lebih suka ke toko buku daripada nongkrong bareng dia di kafe. Dia
menyalahkan aku karena aku lebih memilih kerja tugas daripada temani dia nonton
film horor, sedangkan aku tidak suka film horor. Alasan-alasan itu yang membuat
kami sepakat untuk berpisah. Dan alasan utama kami adalah bahwa kenyataannya
kami lebih cocok sahabatan daripada pacaran. Karena selama kami jadi sahabat,
kami selalu menikmati kebersamaan kami tanpa menyalahkan satu sama lain. Dan
jujur rasa sayangku padanya sangat besar, entah itu rasa sayang sebagai sahabat
atau pacar, yang jelas aku sangat menyayanginya, itulah sebabnya aku sangat
terpukul dengan perlakuannya padaku saat ini.
“Sebenarnya
apa yang kamu inginkan dariku, Lan? Apakah persahabatan dan cinta yang pernah
tumbuh diantara kita semunafik ini?” tiba-tiba saja air mataku jatuh, aku
menyesal pernah begitu menyayangi laki-laki ini.
“Nat,
kamu gak apa-apa?” Tiara kaget melihat mataku yang berkaca-kaca.
“Wajahmu
pucat, biar aku antarkan pulang,” Jerome langsung memegang lenganku dan
berusaha menyandarkanku pada badannya.
Tak
ada lagi kata yang mampu keluar dari mulutku. Aku membiarkan Jerome memapahku
keluar dari toko buku disaksikan Tiara yang mematung, mungkin dia baru
menyadari bahwa ada sesuatu antara aku dan kekasih barunya itu.
******
Sejak
itu aku sering berkomunikasi dengan Jerome. Dan makin akrab satu dengan lain.
Diapun baru patah hati. Seminggu sebelum insiden tabrak menabrak itu, ia baru
saja putus dengan pacarnya yang ketahuan diam-diam menjalin hubungan dengan
adik sepupunya.
Mungkin
ini bisa dibilang kebetulan, bahwa dua orang yang dikhiati oleh pasangannya
bertemu dan saling memberi semangat. Mungkin juga karena kami merasakan luka
yang sama sehingga kami bisa saling menyembuhkan. Aku menjadi obat untuk luka
masa lalunya, begitupun sebaliknya ia menjadi obat untuk luka masa laluku. Dan
mungkin orang akan beranggapan bahwa kami sedang saling memanfaatkan, namun kenyataannya
kami sedang membiarkan hati kami menemukan kenyamanannya sendiri.
Sudah
sebulan lebih kami saling menjaga sebagai orang yang pernah disakiti. Ia mulai
terang-terangan mengatakan padaku bahwa ada perasaan asing yang ia rasakan
ketika jauh dariku. Dalam mimpinya aku selalu hadir. Bahkan, aku mulai menghiasi
pikirannya siang dan malam. Aku tersenyum malu-malu mendengar semua
pengakuannya, karena sejujurnya aku pun merasakan perasaan itu. Bahwa ia juga
selalu muncul dalam mimpi dan pikiranku. Selama dengannya aku benar-benar
merasakan kenyamanan.
Ditengah
kenyamananku bersama Jerome, Darlan kembali mengganggu kehidupanku. Baik itu
lewat telpon atau mendatangiku langsung di kampus, ia terus memaksaku untuk
meluangkan waktu bersama dia di kafe favoritnya. Jerome yang melihat sikap Darlan yang tidak
bosan-bosan mengganggu kehidupanku, akhirnya mengijinkanku untuk
memenuhi keinginan Darlan. Itulah sebabnya, sore ini Jerome mengantarku untuk
bertemu Darlan di tempat yang sudah kami sepakati untuk bertemu.
“Akhirnya,
kamu datang juga, Nat” ternyata dia sudah duluan di kafe ini. Satu lagi
perubahan yang terjadi pada makluk ini, bahwa dia bisa datang lebih awal dari
jam pertemuan yang sudah kami sepakati, karena dia sebenarnya dijuluki raja
terlambat.
“Iya,
ada apa ngajak ketemuan? Tiara mana?” jawabku tanpa basa-basi.
“Come on, Nat. Gak usah terburu-buru.
Kita minum dulu, makan dulu, berbagi kabar dulu, kamu gak kangen sama sahabatmu
yang paling tampan ini?
Sumpah,
aku pengen muntah dengar jawabannya yang seolah-olah menganggap bahwa pertemuan
ini adalah reunian dua orang sahabat yang sudah terpisah jarak dan waktu
bertahun-tahun.
“Aku
gak ada waktu untuk basa-basi dengan sahabat yang sudah mencampakku demi
seseorang yang lebih baik dariku,”
“Nat,
pliss. Aku ngajakin kamu ke sini bukan untuk membahas masa lalu tapi aku
mengajak kamu ke sini itu untuk menghapus masa lalu dan kita kembali
menciptakan masa depan yang lebih baik. Aku kenal kamu dari kecil, Nat, aku
tahu bahwa rasa sayang kamu padaku itu sangat besar, aku tahu kamu tidak akan
pernah bisa benar-benar membenciku, walaupun ada Jerome, tapi dilubuk hati kamu
yang paling dalam, masih ada aku di sana yang tidak akan tergantikan oleh
siapapun. Hanya aku yang bisa membuatmu bahagia, hanya aku, Nat. Aku menyadari
kelalaianku di masa lalu, itulah sebabnya aku mengajak kamu ke sini untuk
memperbaiki semua kehancuran yang sudah kubuat, aku minta maaf telah
menghancurkan persahabatan kita dengan cara yang pengecut. Aku minta maaf dan
aku mohon tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku masih
sangat mencintai kamu Nat, rasa cintaku padamu lebih besar dari rasa yang
dimiliki Jerome terhadapmu.”
“Lan,
kamu tahu gak kalau cinta juga punya masa berlaku? Dan cintaku padamu itu udah
kedaluarsa. Udah habis masa berlakunya. Jadi simpan rasa sok tahumu itu tentang
perasaanku seperti apa. Iya, memang kamu sangat mengenalku, tapi itu dulu,
sebelum kamu mencampakkanku. Saat ini, di mataku kamu tak lebih dari seorang
pecundang. Kamu sadar gak yang kamu lakuin itu nyakitin aku banget? Kamu
selingkuh, Lan. Kamu selingkuhin aku. Kenyataan bahwa berakhirnya hubungan kita
bukan karena ketidakcocokan melainkan karena kamu sudah menemukan Tiara yang
jauh lebih baik dari aku itu sakit banget, Lan. Lebih sakit dari semua rasa
sakit yang ada di dunia ini. Aku tidak peduli rasa sayang siapa yang lebih besar
antara kamu dan Jerome, namun kenyataannya bahwa kamu mencampakkanku demi
seorang yang baru kamu kenal itu yang membuatku muak dan menyesal pernah begitu
sayang sama lelaki seperti kamu....”
“Hubungan
aku sama Tiara itu kecelakaan, Nat..” ia langsung memotong pembicaraanku.
“Demi
Tuhan, Nat. Aku sama sekali tidak mencintai Tiara. Aku jadian sama dia itu
bukan karena niatku untuk selingkuhin kamu. Aku jadian sama dia juga bukan
seperti waktu aku nembak kamu. Di kafe ini, Edgar hanya nyeletuk kalau aku
ingin jadi pacarnya Tiara, dan spontan saat itu Tiara langsung mengiayakan dan
udah aku jadi pacarnya dia. Hanya seperti itu, Nat, ceritanya. Aku gak bohong.
Aku berniat untuk putus dengan dia setelah hari pertama ia terima cintaku, tapi
karena aku kesal sama kamu yang selalu sibuk setiap kali aku ajak nonton dan
gak pernah mau aku ajak main ke kafe ini, aku jadikan Tiara sebagai pelampiasan
kekesalanku. Setiap aku ajak nonton kamu gak mau aku ajak Tiara, setiap aku
ajak ke kafe ini kamu gak mau, aku ajak Tiara. Aku sadar aku jahat. Aku
mempermainkan cinta kalian. Tapi aku gak ada pilihan saat itu, Nat. Tiara
mengisi kesepianku, saat kamu mengabaikanku.”
“Cukup,
Lan. Kita udahi pembicaraan ini. Semua tidak ada gunanya dijelaskan lagi
panjang lebar. Intinya sekarang kamu sudah punya Tiara dan aku sudah punya
Jerome. Kita urus masa depan kita masing-masing,” aku gak punya tenaga untuk
mendengar lebih banyak lagi penjelasan dari Darlan.
“Aku
belum selesai ngomong, Nat. Kamu bisa tutup telinga kalau kamu gak mau lagi
dengar penjelasanku. Yang penting kamu tetap duduk disitu dan biarkan aku
menjelaskan semuanya.”
Aku
menarik napas panjang, dan menghembusnya perlahan-lahan. Dalam hati aku terus menyebut nama Jerome.
“Tentang
berakhirnya hubungan kita. Aku hanya ngetes kamu, Nat. Aku hanya ngetes
seberapa banyak kamu mempertahankan hubungan kita. Tapi kamu langsung
memutuskan untuk kita berhenti pacaran dan jadi sahabat saja. Kamu kira aku gak
sakit, Nat? Segampang itu kamu menyerah mempertahankan hati yang sudah kamu
genggam dengan erat? Itu yang buatku benci sehingga aku mengajak Tiara
mendatangi toko buku, demi hanya untuk menunjukkan padamu bahwa aku telah
mendapatkan penggantimu. Benar dugaanmu bahwa tujuanku ke toko buku adalah
untuk menunjukkan padamu bahwa aku telah berhasil menemukan penggantimu. Aku
ingin membuatmu menyesal, aku ingin menghukummu karena sikapmu yang tak bisa
mempertahankan hubungan kita.”
“Belum
selesai pertemuannya?” suara Jerome mengagetkan aku juga Darlan.
Tanpa
disuru Jerome langsung duduk di sampingku, “Darlan, kamu ngajakin Nata ke sini
cuma untuk mandangin meja yang kosong? Setidaknya sebelum kalian bicara,
minumlah sesuatu yang menyejukkan tenggorokan,” Jerome langsung memanggil
pelayan kafe dan memesan minuman untuk kami bertiga.
Lagi-lagi
Jerome jadi penyelamat. Aku tidak bimbang dengan hatiku. Mendengar semua
penjelasan Darlanpun tidak mengurangi sedikitpun rasa sayangku pada Jerome,
karena apa? Karena selama Darlan komat kamit menjelaskan hubungan kami yang
sudah hancur berantakan, dalam hati aku terus menyebut nama Jerome.
“Lan,
kamu gak keberatan kan aku duduk di sini? Aku hanya takut, gadisku pingsan lagi
seperti waktu pertama kali kita ketemu. Kalian boleh lanjut bicara, anggap saja
aku gak ada di sini.” Jerome memecah kekakuan yang tercipta antara aku dan
Darlan.
“Nat,
aku sudah putus dengan Tiara. Ia sadar bahwa dihatiku hanya ada kamu, dan ia
sekarang membenciku karena Edgar telah menceritakan padanya apa yang sebenarnya
terjadi dan bahwa aku sedikitpun tak menaru hati padanya. Sekarang semua
tergantung kamu. Seperti yang aku bilang tadi, bahwa rasa sayangku padamu lebih
besar dari rasa sayang yang dimiliki Jerome untukmu. Kalau kamu memberiku
kesempatan, aku akan memperbaiki semua kehancuran yang sudah kubuat. Aku janji,
Nat. Aku janji.” Darlan benar-benar tidak memperdulikan Jerome. Ia tetap
melanjutkan pembicaraannya tanpa terganggu oleh kehadiran Jerome.
Aku
melirik Jerome, ia sibuk main COC di hp-nya, tapi aku yakin, ia sedang memasang
telinga pada pembicaraan kami. Huuuhhh aku gugup. Banyak yang ingin kuledakkan
di depan Darlan, tapi semua seperti terbungkus rapat dalam mulut, susah untuk
keluar. Aku meneguk sedikit ice lemon tea yang sudah dipesan oleh Jerome,
mengatur napas dalam-dalam dan berusaha berbicara dengan tenang.
“Terimalah
dengan lapang. Kalau dengan melepasmu dia bisa kembali tersenyum, biarkanlah
dia berlalu. Sebab denganmu mungkin yang dia dapatkan hanyalah rasa pilu.
Biarlah ia kembali terbang mengembara menemukan apa yang benar-benar dia cari.
Barangkali denganmu hanyalah sebatas pelengkap kisah hidup yang dia lalui.
Bukankah pada beberapa hal, manusia hanya dijadikan tempat untuk persinggahan?
Dan kini saatnya dia pergi. Maka berilah kesempatan baginya untuk melebarkan
sayap. Apa gunanya kamu terus memaksa tubuhnya untuk tetap tinggal, sementara
pikiran dan perasaannya sudah melayang kemana-mana. BOY CHADRA, dalam buku
JATUH DAN CINTA”
Aku
mematung. Darimana Jerome menghafal dengan sangat baik kata-kata itu. Baru
seminggu yang lalu dia meminjam novelnya Boy Chadra yang judulnya ‘Jatuh dan
Cinta’ dan sekarang kata-kata itu mengalir dengan sangat baik dari seorang yang
sedang asyik bermain COC.
“Jangan
menatapku terlalu lama, Nat. Nanti cintanya nambah loh,” aku makin salah
tingkah. Karena tebakan Jerome benar, bertambah lagi satu rasa cintaku padanya,
karena kata-kata luar biasa milik Boy Chadra yang diucapkannya tadi.
Dalam
hati aku bersyukur atas kedatangan Jerome. Setidaknya aku bisa menetralkan hati
menghadapi Darlan.
“Darlan, kita
pernah menjadi dua orang yang saling menyayangi dengan tulus. 2 tahun sudah
kita berganti status dari sahabat menjadi pacar. Banyak hal yang kita lalui,
mungkin rasa bosan membuat kita terantuk. Sayangnya, saat terantuk kita bukan
dibangunkan oleh orang yang sama. Kamu dibangunkan oleh Tiara, dan naasnya
Tiara tak cukup kuat menggenggam tanganmu hingga kamu terjatuh dan lupa jalan
pulang. Mari kita melihat kenyataan saat ini, bahwa cinta kita sebagai sepasang
kekasih telah lama berakhir. Takdir mempertemukan kita dengan seseorang yang berbeda.
Maka jadikan masa lalu itu sebagai pedoman untuk kita membangun hubungan dengan
siapa saja ke depan, hingga luka yang sama tak menyayat banyak hati. Sebagai
sahabat, kamu masih punya tempat teristimewa dalam hatiku, karena dari awal
kita memang diikat oleh persahabatan, hanya saja takdir tak mengijinkan kita
melangkah lebih, mengkhianati persahabatan yang kita mulai dengan tulus.”
“Aku
nyesel Nat, aku benar-benar menyesal telah menyia-nyiakanmu sebagai kekasih
terbaikku selama ini. Jer, kamu ijinan atau tidak aku akan kembali hadir lagi dalam kehidupan gadismu untuk memperbaiki kesalahan masa laluku walau
hanya sebatas sahabat. Dan satu yang aku minta kamu maklumi
sebagai lelaki sejati, jangan memaksaku untuk menghilangkan rasa sayangku yang
lebih besar darimu ini terhadap Nata, tapi seiring berjalannya waktu aku akan
berusaha tahu diri dan menetralkan kembali perasaannku pada Nata, layaknya
seorang sahabat. Terima kasih sudah meluangkan waktu mendengar semua kegalauan
yang kusimpan dengan rapi selama ini. Dan terima kasih juga Jer, kamu mengikuti
gadismu ke sini, kalau tidak, aku akan menculik Nata, dan membawanya pergi ke
negeri dimana tidak ada kamu di sana.”
Jerome hanya merespon kata-kata Darlan dengan senyum yang aku sendiri tidak tahu maksudnya. Tapi aku rasa kami akan baik-baik saja ke depan, karena kami sudah berbicara dari hati ke hati dan tidak ada lagi yang tersembunyi, yang jelas hatiku sudah mantap pada Jerome.