Aku pernah dengan sekuat hati mencintai seseorang. Mencintai setiap suka-dukanya. Mencintai setiap ada-kurangnya. Mencintai tawa-tangisnya. Mencintai segala hal tentang dia. Menjadikannya teman berbagi untuk segala rencana yang ingin kuwujudkan bersamanya nanti. Setiap hari, setiap saat aku mencintainya. Aku menjaga hatinya dengan sungguh-sungguh. Dan aku telah menetapkan hatiku padanya, tak ingin yang lain.
Aku menulis banyak tentang dia. Aku goreskan setiap degup jantungku padanya lewat tulisan-tulisan sederhana. Aku merangkai kata-kata yang indah untuknya setiap kali rindu ini melanda. Aku menyebut namanya dalam setiap doa malamku. Aku berharap, Tuhanku dan semesta menyatukan kami pada akhirnya.
Dia yang kumaksud dia adalah yang dengan tenang meyakinkanku perihal jarak dan waktu bukanlah penghalang rindu. Aku memahami segala kesibukannya. Dia pun bertaruh demi mewujudkan kedekatan dan membunuh jarak. Meski mungkin ia merasa jenuh dan lelah, tapi ia tetap memberikan senyum termanisnya dan tak pernah sedikitpun mengeluh. Kami bersepakat untuk tetap semangat bertahan demi hari yang indah di masa depan. Katanya, semua butuh perjuangan, dan ketakutan adalah hal yang harus kita kalahkan. Begitu katanya.
Tapi sial. Keadaan memang tak bisa kutebak. Demi Tuhan, aku tak pernah membayangkan akan ada akhir yang semenyakitkan ini. Aku tak pernah menduga semua akan menjadi kacau seperti ini. Aku tak pernah sadar, bahwa aku akan menyakitinya sedalam ini. Memang, saat aku berjuang, tertatih-tatih dengan perasaan emosi dan batin yang tidak damai. Dia tidak ada. Dia tidak ada menenangkanku. Padahal aku sangat mengharapkan suaranya untuk meneduhkan kacaunya perasaanku. Tapi dia tidak ada, dia sibuk, dan kali itu aku tidak bisa memahami kesibukannya yang melupakanku. Namun setelah semuanya kacau, dia datang kembali, meminta satu kesempatan. Satu saja kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi naas, aku malah membalas dengan pengakuan yang membuatnya makin terluka.
Semua yang kami bangun dengan sepenuh jiwa, hancur dan berantakan dalam sekejap. Satu luka yang ia goreskan pada hatiku telah ku balas dengan seribu luka yang amat dalam. Kejam!
Seharusnya, hujan membuat daun itu menjadi tumbuh kuat dan koko bahkan pada ranting yang lemah sekalipun. Namun hujan kali ini, memisahkan daun itu dari rantingnya, lalu membiarkan angin membawanya berlalu. Jauh, sangat jauh hingga mungkin tak bisa tergapai lagi.
0 komentar:
Posting Komentar