Hei,
apa kabar kamu? Aku harap kamu baik-baik saja. Jangan seperti aku yang masih
terjebak dalam paragraf yang sama. Sampai saat ini aku belum menemukan titik untuk
mengakhiri rasa ini. Tiba-tiba saja aku menjadi orang yang tega melepasmu. Aku
tidak terus menggenggam tanganmu. Tidak menahanmu seperti sebelum-sebelumnya,
malah membiarkanmu pergi begitu saja. Tidak lagi melakukan apa-apa agar kau
tetap disini bersamaku.
Kau
tahu, ada satu rahasiaku yang harus aku bisikkan padamu. Aku tidak menahanmu
pergi bukan berarti tidak ada lagi cinta. Sesungguhnya, semua masih utuh. Sangat
utuh. Hanya saja aku berpikir bahwa lebih baik melepas daripada memaksakan
terus bersama.
Saat
itu, kita sama-sama berada pada titik jenuh. Kita (mungkin hanya aku) merasakan
hubungan yang hampa meski aku sangat yakin bahwa ketulusanmu tak tertandingi.
Ketidakpastian membuatku terjaga dengan hubungan yang kita pertahankan. Agama yang
beda dan suku yang sama membuatku seperti sebuah kapas yang jatuh ke air. Hanya
bisa diombang ambingkan gelombang. Pasrah. Tak punya arah.
Aku
terpukul dengan dua hal itu dan membuatku tak punya nyali untuk tetap melekat
pada hatimu. Sekarang, semua kenangan kita menjadi sesuatu yang sering datang
kembali dikepalaku. Terutama saat aku mengunjungi tempat-tempat yang pernah
kita datangi dulu. Aku sedih, karena tak lagi menemukan ‘kita’ di sana. Senja
dan hujan, ikut menambah perinya luka dalam dada. Dan setiap kali aku mulai
terbuai dalam ingatan tentangmu, selalu saja ada genangan kecil dari kelopak
mata yang memaksaku untuk menhilangkanmu sejenak dari kepalaku.
Satu
hal termanis dari jatuh cinta padamu, yaitu ketika kita saling bertatapan dalam
waktu yang bersamaan dan kita saling senyum. Sederhana memang, namun entah mengapa,
senyum yang kau berikan saat momen dimana mata kita saling bertumbuan itu lebih
menghipnotisku daripada seribu senyum lainnya yang pernah aku dapatkan.
Kau
tahu, aku masih disini dan terus saja memikirkanmu. Aku sekarat!